VINCENT FORD ABERNATHY tidak terlihat senang.
Kakak nomor dua dari tiga bersaudara itu terlihat murka. Seperti bos mafia yang tidak tahu ampun, dia menutup loker seseorang dengan bantingan yang sangat keras hingga beberapa orang di sekitarnya meringis dan terlonjak kaget. Banyak murid yang merasa hidupnya dalam bahaya dan mencium bau perkelahian yang akan segera terjadi. Mereka langsung menyingkir, minggir dari arah jalan Vincent yang cepat. Langkahnya besar, tangannya dikepalkan di dua sisi tubuhnya. Seseorang bahkan sudah mengeluarkan ponsel mereka untuk merekam kejadian bodoh dan memalukan ini.
Aku mengumpat di dalam hati. Bumi yang aku minta untuk segera menelan aku hidup-hidup tidak juga cepat mengabulkan permintaanku. Aku tidak tahu harus berbuat apa selain mendorong tubuh Tiberius dengan punggung dan berharap kali ini aku memiliki kekuatan yang cukup untuk membuatnya terdorong. Beruntung, teriakan dari Vinny membuat Tiberius sempat terkesiap, tak menyangka akan ada yang berani meneriakkan namanya selantang itu di koridor sekolah yang notabene adalah milik Tiberius sendiri.
Begitu tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang, aku langsung melompat ke samping. Aku menelan ludah saat melihat Vinny semakin dekat dan semakin dekat. Dengan tergesa, aku menghampiri Vinny terlebih dahulu, menahan dadanya agar tidak melangkah maju lagi.
“Okay, Vinny. Easy there,” ucapku dengan napas yang tercekat. Akan sangat memalukan jika Vinny mengajak ribut Tiberius di tengah koridor sekolah begini. Parahnya lagi, bukan hanya satu orang tadi yang mengeluarkan ponselnya dan berniat merekam apa pun yang akan terjadi sebentar lagi, beberapa tangan usil juga ikut mengeluarkan ponsel mereka dan berniat jahat. “Tenang, tenang.”
Vinny melirik aku dengan dengki, mungkin kesal karena aku menggunakan nama panggilan menggemaskan yang keluarga kami pakai untuknya. Vinny, kependekan dari Vincent. Vally, kependekan dari Valentino. Jika aku tidak mengingat kalau sekarang sedang ada masalah yang lebih genting, aku pasti akan membalas tatapannya dan menantang dia yang sudah mempertanyakan kelakuanku.
Memannya kenapa Vinny? Apa yang salah dengan nama panggilan begitu? Vinny terdengar lucu dan menggemaskan ‘kok. Terdengar seperti nama panggilan yang manis. Dasar lelaki dan rasa maskulinnya.
“Tenang? Apa yang terjadi barusan?” tanyanya, tidak melanjutkan rasa dengki karena aku memanggilnya dengan sebutan nama panggilan kesayangan dariku. “Dia berani macam-macam denganmu?”
“Bukan begitu,” aku berkata lirih. “Dia itu . . .”
Aku mencari kata yang tepat. Apa yang bisa aku katakan untuk menggambarkan hubungan antara aku dan Tiberius? Apa yan harus aku katakan pada Vinny, kalau dari awal tahun sekolah memang kelakuannya sudah begitu!
Bukannya Vinny atau Vally tidak tahu kalau Tiberius sering mengganggu aku dan siapa pun yang berteman denganku—hingga mereka akhirnya memilih untuk menjauhi aku. Tapi, sebatas yang mereka tahu, itu hanya permusuhan biasa. Sebuah argumen tidak bahaya antara perempuan dan lelaki. Yang mereka tahu, Tiberius dan aku hanya berkelahi tanpa memberikan efek yang terlalu dalam.
Hari ini, mungkin pertama kalinya Vinny melihat ulah Tiberius yang kelewatan. Sungguh, sebenarnya aku memang marah besar akibat ulah Tiberius tadi. Dia memang kelewatan hari ini. Beraninya dia melakukan itu di lorong sekolah, dengan mata para murid yang memandang dengan gratis dan bebas. Kalau tidak ada Vinny, mungkin aku yang akan menghabisisnya.
Bedanya, jika aku masih mengenal ampun, kalau Vinny mungkin akan membuat Tiberius hanya tinggal sebuah nama saja.
“Tampan? Tinggi? Menarik? Magnet banyak wanita?” sambung Tiberius dengan tidak tahu malu. Aku ingin memukul kepalanya hingga berdarah-darah.
Vinny berdecak kesal dan maju satu langkah. Aku dengan sigap menahannya lagi, merasakan otot dadanya mengeras. “Whoa, I can handle this.”
“Handle . . . handle . . . bagian mana kau bilang kau bisa mengatasi ini?” Vinny membalas perkataanku, tapi matanya tetap tertuju pada Tiberius yang dengan santainya, masih menyeringai aku dan Vinny. Aku ingin menarik bibir itu hingga copot.
“OK, dengar. Kau ingat pertandingan beberapa minggu lagi?” bisik aku tepat di telinganya. Tentu saja aku juga harus jinjit akibat tinggi badanku yang masih di bawah rata-rata ini. “Kau tidak ingin membuat masalah dan menggagalkan semua usaha yang sudah kau lakukan belakangan ini ‘kan?”
Vinny seperti baru tersambar petir dan tersadar dari marahnya. Aku mengangguk, mengiyakan pandangannya yang bertanya dari sorot mata apa aku benar baik-baik saja. Ototnya yang tadi menegang mulai lemas kembali, begitu juga deru napasnya. Aku tidak bisa mengatakan hal yang sebaliknya bagi Tiberius.
“Lalu, lelaki ini bagaimana?”
“Biarkan saja dia. Bermasalah dengan dia tidak sepadan dengan apa yang harus kau lalui nantinya. Lagi pula, jika kau berkelahi sekarang, bisa-bisa kau diskors dan tidak bisa mengikuti pertandingan nanti.”
Vinny mendengus dengan kencang. “Aku tidak peduli. Dia sudah bertindak kurang ajar padamu, Vanny. Aku tidak suka itu.”
“Aku juga tidak suka,” jawabku. “Tapi memangnya kau pikir aku akan tinggal diam? Tentu saja tidak. Aku yang akan mengatasi ini, percayalah.”
“Bagaimana bisa aku percaya?”
Aku memutar kedua bola mataku padanya. “Adikmu ini bukan lagi gadis kecil, Vin. Aku bisa mengatasi masalah aku sendiri. Ya masalah hidup atau teman atau tukang runduh, atau apa saja lah.”
“Kau tidak bisa mengatasi semua masalah sendirian.”
“Tentu saja, aku tahu itu.” Balasku lagi. “Untuk itu gunanya aku punya dua kakak laki-laki yang besar dan tinggi dan bisa digunakan sebagai algojo pribadi ‘kan?”
Vinny mencubit pipiku dengan kesal. “Enak saja. Ada bayarannya untuk menjadi pengawal pribadimu!”
Tawa kecil yang lepas dari bibirku harus terhenti karena dengusan tak suka dari Tiberius. Lelaki itu masih berdiri di sana, di depan loker aku, dengan alis terangkat satu—gaya khas yang membuat ketampanannya menjadi lebih super lagi—dan dua tangan dimasukkan kedalam saku. Aku lagi-lagi harus memutar kedua bola mata saking tidak sukanya dengan gaya sengak Tiberius. Yah, bukannya dia tidak pantas ‘sih berlaku seperti itu. Berhubung, ya, dia memang tampan! Aku harus mengakui itu. Tapi memangnya aku mau mengakui secara rela dan lantai pula?
Tidak. Aku tidak akan pernah vokal tentang ketampanan dan keseksian dan kelucuan Tiberius Florakis.
“Apa ini? Reuni keluarga?”
Aku menoleh padanya dan memberikan dia tatapan, “Serius? Kau mau mulai lagi? di depan kakakku?”
Dari banyak omongan orang, dan desas-desus yang sering terjadi—juga tentu saja dari sumber informasi paling berharga dan akurat pribadiku, Theressa—Tiberius itu jago yang namanya berkelahi. Kalau soal aksi dan pukul memukul, dia orang yang harus kau cari. Jika ini orang lain, aku tidak akan terlalu masalah. Toh, Tiberius akan mengalahkan mereka. Masalahnya, ini Vinny. Kakak keduaku. Dia tidak kalah mahir. Bisa-bisa, perkelahian mereka akan terus terjadi tanpa ada yang benar-benar kalah atau mengalah.
“Ada yang ingin kau katakan, rich boy?”
Aku meringis pada sebutan Vinny untuk Tiberius. Itu sebutan yang anak-anak berikan padanya, terutama murid yang tidak suka padanya. Iya, ada yang tidak suka padanya. Aku juga terkejut.
“Tidak. Apa ada yang ingin kau katakan, quarterback?”
“Oh, kau ingin mendengar apa yang ingin aku katakan?” Vinny mulai tersulut api amarah lagi. Aku kembali menekan dadanya, lalu berkata dengan desisan yang keras.
“Ingat. Pertandingan. Dia tidak sebanding dengan hal itu.”
Vinny menarik napas yang dalam, lalu membuangnya. “Kau benar.”
“Jika tidak ada yang ingin kau katakan, maka aku akan pergi.” Kata Tiberius dengan santai. Bahunya terangkat naik, seperti mengatakan kalau dia tidak pantas untuk menghabiskan waktu yang berharganya dengan kami.
Padahal ‘kan dia yang lebih dulu menghampiri dan menggangguku!
“Jangan mendekati Vanessa lagi.” Vinny berseru ketika lelaki di hadapan kami akan melangkah pergi. Langkahnya terhenti, dua tangannya sudah keluar dari saku celana.
“Itu yang ingin kau katakan?” tanyanya sok. “Kalau begitu, maaf, aku tidak bisa memenuhinya.”
Kali ini aku mengumpat tidak dalam hati, namun masih dengan halus dan pelan sehingga aku rasa tidak ada yang mendengar kecuali Vinny. Kakak lelakiku yang tadinya sudah mulai marah kembali itu semakin naik pitam. Urat tangannya mulai terlihat, dan parahnya lagi, aku bisa melihat teman-teman tim dari football datang dari arah pintu masuk sekolah. Tubuh mereka besar-besar semua, tinggi seperti bulldozer. Ada yang membawa tingkat baseball entah dari mana, ada yang memakai helm football mereka, dan ada yang membawa sebuah sarung tinju—entah untuk apa karena setahuku tidak ada kegiatan sekolah tinju meninju di sini!
Melihat bahaya yang akan datang, aku segera bertindak. Sehebatnya Tiberius, tidak mungkin dia bisa melawan tujuh sampai sepuluh orang sekaligus. Aku tidak tahu kenapa aku harus menghentikan ini, seharusnya aku merasa senang karena musuh dan tukang rundung itu akan terbalaskan akhirnya. Tapi aku juga tidak ingin dia berakhir dengan menyedihkan, berdarah-dara di lorong, babak belur. Parahnya lagi, Vinny bisa kena timbal balik dari kejadian ini.
Bagaimana jika dia tidak diperbolehkan ikut pertandingan? Bagaimana jika dia diskors? Bagaimana jika dia dikeluarkan dari sekolah karena sudah memukuli anak pemilik sekolah? Aku tidak akan membiarkan masa depannya hancur berantakan hanya karena seorang Tiberius Florakis.
Aku menarik lengannya ke belakang, menjauh dari lelaki yang malah balas menyeringai kami. “Vinny, tolong, mundur. Ingat apa yang aku katakan, dia tidak sebanding dengan masalah yang akan kau dapat. Ingat pertandingan. Ingat promotor. Ingat sponsor. Ingat beasiswa, Vinny. Ingat semua usaha yang telah kau lakukan.”
“Tapi dia—“
“Tidak masalah. Itu hanya omongan. Ingat, dia anak yang memiliki saham terbesar di sekolah ini,” suaraku memelan, menjadi sebuah bisikan agar tidak ada yang mendengar pembicaraan kami. “Itu bukan tindakan pengecut, bukan juga karena kau takut. Itu tindakan yang rasional dan masuk di akal. Secara logika, itu yang harus kita lakukan. Lagi pula, bukannya aku tidak tahu kau bisa mengalahkan dia, tapi aku kasihan jika harus melihat dia babak belur di lorong sekolah.”
“Aku tidak peduli dnegan semua itu, Van. Dia sudah merendahkan kau.”
“Dan? Memangnya aku peduli dengan apa yang dia katakan?” Sedikit ‘sih. “Tidak akan ada habisnya jika berbicara dengan dia;. Percayalah, aku tahu itu.”
“Tapi bukan berarti dia bisa melakukan itu dengan seenak hati.” Vincent masih tidak ingin mundur. “Aku tahu dia siapa. Aku tahu dia anak orang ang memiliki saham paling besar di sekolah ini. Dia sama saja pemilik sekolah. Dia berkuasa dan memiliki kekuatan penuh. Tapi memangnya aku peduli? Jika dia mengganggu satu Abernathy, dia mencari masalah dengan semua Abernathy.”
Aku ingin mendesah dengan kesal, namun jika aku melakukan itu, Vinny akan merasa tersinggung. Dia sedang membelaku saat ini. Dia sedang membelaku mati-matian. Aku tidak bisa membuatnya merasa seperti aku sedang mengambil sisi Tiberius dibandingkan apa yang dia katakan. Tapi, jika aku tidak mengatakan sesuatu, dia mungkin akan terus mencari masalah dengan lelaki di hadapan kami ini, dan aku tidak ingin itu terjadi.
Para pemain atlit sekolah itu semakin dekat. Wajah mereka mulai terlihat penasaran dan bingung bercampur menjadi satu. Masalahnya, memang kerumunan sudah terjadi di antara kami. Banyak murid yang memili diam untuk melihat perkelahian yang akan terjadi, dan sebagian lagi memilih untuk berhenti dari jalan mereka untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Tetapi, para atlit itu sangat tidak masuk akal tingginya. Bahkan dari sini saja, aku bisa melihat kepala mereka terpampang nyata, lebih tinggi dari pada kepala yang lain.
OK. Sadar Vanessa. Kau harus bisa melerai adu mulut ini.
“Vinny, ayo, kita pergi saja.” Aku berusaha menarik tangannya yang keras dan kuat. “Sekali lagi aku katakan, dia tidak sebanding dengan masalah yang akan kau dapat. Percayalah Vinny, dia tak seburuk yang kau pikirkan. Aku bisa mengatasinya. Dan jika suatu saat aku butuh bantuan, aku akan meminta pertolongan padamu.”
“Janji?”
“Janji.” Aku berkata dengan cepat, berharap Vinny akan luluh. Tapi mata elangnya masih tidak meninggalkan sosok Tiberius yang wajahnya sangat sengak. Matanya yang bisa mendeteksi bola dari jarak jauh itu, kini memandang Tiberius dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Aku pikir aku benar-benar harus menggeret kakakku yang sangat keras kepala itu. namun dari balik kerumunan orang banyak, aku melihat gadis yang sama mungilnya denganku. Rambutnya berwarna cokelat keemasan, jatuh dengan cantiknya mencapai b*******a. Wajahnya bingung, tapi ketika matanya mendapati aku, Tiberius, dan Vinny sedang berhadapan, dia bisa menebak apa yang akan terjadi.
Theressa menghampiri aku dan Vinny, dan meraih tangannya yang satu lagi. “Vin, let’s go.”
Satu kalimat itu membuat konsentrasi Vinny mendadak runtuh. Hal itu membuatku terkejut, tapi aku tidak banyak pikir. Atensiku hanya berpusat pada bagaimana cara membuat Vinny tenang dan melepaskan masalah ini. Dia menoleh pada Theressa. Tubuhnya yang mengeras menjadi luluh.
“Dia sudah mengganggu Vanny,” protesnya. “Aku tidak bisa tinggal diam.”
“Aku tahu itu. Aku juga tidak bisa tinggal diam. Dari semua orang, aku yang paling tidak bisa terima jika sesuatu yang tidak pantas terjadi pada sahabatku. Teman baikku. Tapi,” Theressa semakin mendekat, menutup jarak yang ada di antara tubuhnya dan tubuh besar Vinny. Aku melihat kakakku itu menelan ludah. “Dia tidak sebanding dengan masalah yang akan kau dapat.”
Dia memang benar teman baikku. Sahabatku. Otak kami berada di satu frekuensi yang sama. Walaupun sifat kami jauh berbeda, tapi hati kami satu.
Vinny memutar kedua bola matanya dengan jengkel. “Kau juga?”
“Aku hanya tidak ingin kau mendapat masalah. Begitu juga Vanessa. Begitu juga aku.”
“Kenapa kau?” tanya Vinny heran.
“Karena jika kau bersikeras untuk tetap mencari masalah, aku juga akan ikut.”
Dia membuang napas panjang. Lalu, dengan satu tatapan mematikan, dia menarik aku dan Theressa sekaligus, meninggalkan Tiberius yang masih terlihat datar.
Untung saja, Vinny tidak benar-benar mencari masalah dengan Tiberius. Aku tidak bisa membayangkan masalah apa yang akan terjadi jika dia memprovokasi hal tadi. Dia akan kehilangan segalanya. Mulai dari pertandingan, atau skors, dan kehilangan kesempatan membuat promotor kagum dengan talentanya, lalu kehilangan sponsor. Dan dia harus mengucapkan selamat tinggal pada beasiswa.
“Apa yang sebenarnya terjadi tadi pagi?” tanya Theressa saat jam pulang. Aku membuka lokerku dengan kesal, teringat akan kejadian memalukan yang Tiberius lakukan padaku pagi ini.
“Tiberius. Just being Tiberius.”
Theressa mengumpat kesal. “Anak itu harus diberi pelajaran, sekali saja!”
“Percayalah, aku juga berpikir begitu. Memangnya kau pikir aku tidak ingin membuat dia mati kutu atau semacamnya? Aku pasti akan balas dendam.”
“Balas dendam tidak ada gunanya,” Theressa mengeluh. “Kau harus membuat lelaki itu jerah. Buat dia bertekuk lutut dan tidak bisa berkutik lagi.”
“Bagaimana caranya?”
Theressa mengangkat bahunya. “Tidak tahu. Yang jelas, kita harus membuat lelaki itu menyesal sudah membuat masalah denganmu.”
Aku hanya tertawa, membayangkan hal apa yang bisa aku lakukan untuk membalas Tiberius. Namun pandanganku tertuju pada satu hal. Kotak hitam kecil yang berada di dalam loker. Aku mengerutkan keningku dengan bingung. Siapa yang memberikanku hadiah?
“Bagaimana bisa seseorang membuka lokermu?” bisik Theressa saat aku sudah mengeluarkan kotak itu.
“Aku tidak tahu.”
Rasa tidak enak mulai menjalar di seluruh tubuhku. Masalahnya, bisa jadi ini ulah Tiberius lagi. Aku tidak tahu apa yang bisa dia lakukan. Sejauh apa dia akan bertindah untuk mengusik hidupku. Dengan satu anggukan mangtap dari Theressa yang menunjukkan kalau dia ada untukku, aku membuka kotak itu.
Suara teriakan kami menggema di koridor sekolah, saat sebuah tikus kecil menjijikan penuh darah keluar dari dalam kotak saat aku menjatuhkannya.