Bab 2

886 Words
Ayu sangat mencintai Ayahnya, dulu. Dalam ingatan yang samar-samar, Ayu pernah mengagumi pria itu. Gadis lugu itu pernah menatap ayahnya dengan tatapan memuja, mengagungkan, mencinta dengan setulus hati. Dulu. Saat dia belum mengerti. Saat tangan Ayahnya belum seringan sekarang. Saat ia masih seorang bocah kecil yang menganggap ayah adalah pahlawan. Saat Ayu belum tahu, Ayah tidak pernah memiliki cinta yang sama untuknya. Ayu gadis cilik dengan mata bulat beralis tebal, memiliki seorang adik laki-laki bernama Umar. Ia sangat menyayangi adiknya itu, namun rasa itu perlahan memudar seiring perbedaan perlakuan Ayah terhadap mereka berdua yang semakin tampak nyata. Ayah lebih mencintai Umar, itu jelas terlihat. Ayah lebih memuja Umar, pujian untuk adiknya terdengar sepanjang waktu. Jelas sudah, Ayah memang lebih mengasihi Umar, mencintai anak laki laki itu. Cinta yang begitu didamba oleh Ayu, namun tidak pernah didapatkannya. "Pintar sekali anak Ayah," puji Ayah sambil mengusap kepala Umar. "Besok mau dibelikan apa?" "Es krim." Senyum terpancar dari wajah polos itu. "Mau rasa apa, Sayang?" "Coklat ya, Yah." "Oke, jagoan Ayah." Ayah memeluk dan menciumi pipi gembul Umar. "Besok, ya." Ayu diam, menatap rapor nya sendiri. Umar ranking satu, sedangkan Ayu hanya ranking dua. Ayah tidak menegurnya sama sekali, apalagi memuji. Pun tahun lalu, saat Ayu ranking satu dan Umar ranking dua, tidak ada pujian untuknya seperti Umar sekarang. Saat itu mereka masih kelas 1 SD. Karena hanya terpaut 1 tahun, Ayah mendaftarkan Ayu dan Umar ke sekolah secara bersamaan. Jadi, Ayu satu kelas dengan adiknya. Ayu beranjak, pergi bermain di halaman rumah. Sedih, kecewa, merana. "Sana!" bentaknya saat Umar berlari menghampiri, ingin bermain bersama. "Ikut, Mba," rengeknya. "Ngga boleh!" Ayu melotot, mendorong Umar menjauh dari ayunan kain yang diikatnya di ujung-ujung batang pohon mahoni. "Sana!" sentaknya lagi. Umar tersedu, menangis dan kembali masuk ke dalam rumah. Tidak mengerti, kenapa kakaknya tiba-tiba jahat. Padahal selama ini, mereka biasa bermain bersama. Kakak yang selalu menjaganya, sekarang mulai berubah. Ada sedikit rasa sesal dalam hati Ayu. Bukan, dia tidak membenci adiknya. Hanya iri. Terngiang selalu kalimat yang diucapkan ayahnya, hampir setiap hari: Payah kamu, ga kaya Umar. Ck! Lihat tuh Umar, pintar. Kamu nih, masa ga bisa kaya Umar? Anak Ayah tuh harus pintar, seperti Umar. Selalu yang dibicarakan Ayahnya tentang Umar. Perhatian dan kasih sayang yang didambakan Ayu dimiliki Umar tanpa harus bersusah payah. Bocah kecil itu hanya ingin diakui. Sebuah pengakuan dari Ayah yang dikaguminya. Mungkin karena Umar laki-laki, dan aku seorang perempuan. Begitu pikirnya. Sejak saat itu, Ayu bertekad untuk membuktikan bahwa anak perempuan pun bisa sebaik anak laki-laki. Anak perempuan juga bisa melakukan apa saja. Ayu mulai belajar memaku, menggergaji, mengangkat beban yang berat, melakukan semua yang disuruh ayahnya secepat dan serapi mungkin. Sayangnya, apapun yang ia lakukan, sekeras apapun dia berusaha, tidak pernah cukup untuk Ayah. *** Ayu sekarang berusia 9 tahun, tingginya hampir sama dengan Umar, banyak orang mengira mereka berdua anak kembar. Mungkin karena jarak umur mereka yang tidak terlalu jauh. Umar kecil yang penakut, membuat Ayu ingin selalu melindungi adiknya itu. Suatu sore, saat Ayu dan Umar sedang bermain di halaman, ibu memanggil mereka agar mendekat. "Di sini ada adikmu," kata Ibu waktu itu, mengarahkan tangan Ayu untuk mengusap perutnya yang semakin membesar. "Adik?" Mata Ayu membulat. "Laki-laki atau perempuan?" "Kata dokter, perempuan." "Yeay, asiikk... Aku yang kasih nama ya, Bu." pinta Ayu, melonjak kegirangan. "Umaaar... Kita mau punya adik bayiii...." Kedua bocah itu mengelus perut ibunya bergantian, mengecup dan membelai bayi mungil di dalam sana, adik mereka. Ayu sangat senang ketika tahu akan mendapat adik perempuan, teman bermain nanti. "Lihat, ade gerak-gerak," ucap Ibu, menunjukkan perutnya yang bergelombang ke kanan dan kiri. "Itu apa, Bu?" Mata Ayu membulat. "Mungkin lutut atau sikunya." "Lagi ngapain dia?" "Nendang-nendang, sempit di dalam." "Kapan adik keluar?" "Bulan depan." Ayu menghujani ibunya dengan pertanyaan bertubi-tubi seraya menciumi perut buncit itu, tidak sabar menunggu adiknya lahir. Ayu yang kasih nama, ya, Bu, ujar Ayu dengan tatapan memohon pada ibunya, namanya nanti Nagita, ya, Bu, ucapnya lagi saat melihat ibu menganggukkan kepala, Nagita Slavina,” celoteh Ayu lagi. Ibu hanya tertawa sembari tak henti menganggukan kepala. Ayah saat itu bekerja di salah satu apotek swasta. Meski demikian, Ayu dan adik serta ibunya tidak pernah merasakan kehidupan yang nyaman dan layak. Kadang Ibu harus merebus satu bungkus mie instan dengan kuah yang banyak, agar bisa cukup untuk mereka bertiga. Atau jika uang yang ada hanya bisa membeli satu butir telur untuk digoreng, dibagi dua untuk Ayu dan Umar, maka ibu hanya makan nasi putih dengan garam. Hampir setiap hari Ayah pulang malam dengan alasan lembur, tapi uangnya entah pergi ke mana. Tidak peduli Ibu yang kepayahan mengantar kami pergi sekolah dengan angkutan umum. Pergi mencuci dan menimba air di sungai dengan perutnya yang semakin membulat. Saat kehamilannya menginjak usia 8 bulan, ibu memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Mungkin tidak tahan dengan sifat dan sikap Ayah, yang semakin sering pulang larut malam dengan mulut bau alkohol, lalu mulai mengamuk. Ayah terpaksa mengikuti kemauan ibu. Ada banyak hal yang belum dimengerti oleh Ayu saat itu, kejadian kejadian yang kemudian dia ingat saat dewasa kelak. Saat itu Ayah adalah sosok yang sempurna di mata Ayu. Pelindung dan panutan baginya. Sayang, sosok itu berubah menjadi monster setelah mereka pindah ke tempat kelahiran Ibu. Atau mungkin, Ayah sudah menjadi monster sejak dulu. Ayu hanya terlambat menyadarinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD