3. Satu, Dua, Tiga

1251 Words
“Satu-satu aku sayang Arka. Dua-dua aku cinta Arka. Tiga-tiga Arka punya Neta. Satu dua tiga … Neta pacar Arka.” Hehe. Neta tertawa. Menarik-narik pipi Arka yang terus menerus menepis Neta. “Ih, Arka. Jangan marah dong.” Ya, Neta sedang membujuk pacarnya. Arka yang ngambek gara-gara bawain nasi goreng pesanan Neta, tetapi tidak Neta bukakan pintu rumahnya dengan alasan: Kemarin aku ketiduran. “Maaf, Arka. Nggak lagi-lagi deh ketiduran pas pesen makanan ke kamu.” Yang Arka jawab, “Mending gak usah minta dibeliin ini-itu sekalian.” “Ya ampun, Arka! Gitu banget sama pacar.” Arka mengerling. Neta cemberut. Dia duduk di depan meja Arka, yakni di kelas 12. Ratu di SMA itu singgah di sana menemui pacar gantengnya. “Kita pacaran gak akan lama, Net. Lo jangan bikin gue muak, bisa?” Berhubung kelas itu sepi sebab yang lain bubar istirahat ke kantin. Hanya ada Arka yang sebelumnya Neta kirimkan pesan untuk tunggu di kelas. Arka nurut. “Maka dari itu, Arka. Bikin momen. Orang pacaran kan biasanya si cewek suka dikasih makanan sama cowoknya.” Arka mendengkus mendengarnya. Padahal pacarannya saja cuma karena taruhan, Neta tahu. Jadi, buat apa? “Arka, ih!” Ya Allah, tolong. Arka jengah. Detik di mana Vira singgah. “Eh, sepi?” Teman sekelas Arka, mantannya. Yang Neta tatap dengan tajam sebelum kemudian dia alihkan atensi kepada Arka lagi. Neta tersenyum sambil bilang, “Makasih ya, Arka, nasi gorengnya. Besok-besok main lagi ke rumah. Rumah aku sepi, kan?” Melirik Vira yang juga sudah duduk di bangkunya, diam. Neta lanjutkan, “Suka, deh. Kayak kemarin. Arka hebat mainnya padahal masih SMA.” “Gue nggak ngapa-ngapain--” “Iya lah, kalo ngapa-ngapain nanti aku bunting,” pangkas Neta. Dia terkekeh. “Arka ada-ada aja.” Tolong tahan Arka sekarang. Dia serius tidak suka kepada perempuan itu, Neta, si ratu sekolah yang dibanggakan guru karena sering meraih piala untuk SMA mereka. Sementara Neta sibuk dengan Arka, Vira menunduk. Membaca pesan-pesan semalam dari pacarnya. Arka : Tahan ya, Sayang. Bentar lagi aku bebas dari Neta. Arka : Neta cewek gila! Arka : Serius dia jambak Mama kamu? Gila. Emang cewek gila. Arka : Cuma gara-gara Papanya nginap di rumah kamu, dia marah? Heran deh, kenapa nggak dia aja yang tinggal sama kalian? Arka : Aku gak tau sih gimana hubungan keluarga kalian, tapi Neta emang keterlaluan. Arka : Iya, bukannya bersyukur ada yang mau jadi mamanya. Eh, dia malah menyia-nyiakan … Vira tersenyum. Arka di pihaknya … sejauh mana pun Neta menggoda kekasihnya. *** Hari ini Neta duduk manis di kelasnya setelah kemarin dia rutin datang ke kelas pacar, sekarang Neta tidak mengunjungi Arka, dia sedang menahan emosi akibat semalam papa pulang setelah kemarin Neta usir tanpa sopan. Semalam Neta dipeluk, tapi hati tetap terasa remuk. Semalam Neta dikecup, tetapi cahaya hidupnya masih saja redup. Semalam Neta dinyanyikan, diberi kata-kata hangat yang papanya lantunkan. Namun, yang ada Neta justru merasa sedang dibinasakan secara perlahan. Papa bilang, “Papa sayang Neta, Papa nggak maksud bohongin Neta, tapi Neta tahu yang Neta cekik itu istri Papa, Mamanya Neta …” Juga berkata, “Kamu nomor satu di hidup Papa, Neta. Kamu kesayangan Papa.” Yang Neta jawab, “Kalo gitu … bisa nggak Papa tinggalin cewek sialan itu? Di sini aja, sama Neta, jangan ajak-ajak manusia lain. Cukup Neta sama Papa … dan mendiang Mama. Bisa?” “Neta--” “Nggak bisa, kan? Papa bohong, kenyataan Neta nggak lebih berarti dibanding mereka.” Menelungkupkan wajah di meja, Neta pura-pura tidur saja. Hatinya bergemuruh tak suka ketika membayangi obrolan semalam dengan sang Papa. Hati Neta masih saja sakit, tanda bahwa dia masih hidup di kejamnya dunia. Namun … kenapa, ya? Hati Neta mati begitu dihadapkan dengan orang selain papa. Seolah relungnya penuh terisi tanpa sisa untuk manusia selain orang tuanya. Hati itu penuh. Ya, penuh oleh luka. Membuat Neta lupa bagaimana rasa dari suka cita. “Pokoknya Papa sayang Neta.” “Bohong.” Yang dikecup keningnya. Tidak ada air mata, tetapi mata Neta sukses berkaca. “Neta nggak sayang lagi sama Papa, ya?” Yang Neta eratkan pelukannya, sedang mulut tak mau berkata. “Anjir, anjir. Kak Arka lewat, woi!” “Bangsaat! Makin ganteng aja dia.” “Berisik, woi! Itu ada pacarnya.” “Alah, si Neta mah baik. Satu untuk semua ya, Net?” Neta acungkan jempolnya. Lalu terkekeh. Sudah tak lagi mengenang malam kemarin. Neta ikut bergabung dengan kawan sekelasnya. Melihat punggung Arka yang menjauh sambil berpikir. Dari Neta, untuk Arka: Makasih. Kamu kasih aku mawar. Dan maaf, kalau aku balas dengan bunga sedap malam. *** Hari itu …. Vira : Sayang, aku sebel sama Neta. Vira : Kamu tau kan kalau Mama aku ini janda? Vira : Nggak tau kenapa, janda itu suka dipandang sebelah mata. Vira : Mama aku ini adiknya Mama Neta, tau nggak? Vira : Wajar kan kalau Mama aku sama Papanya Neta deket? Mereka iparan. Tapi ada aja yang mikir sembarangan. Sekilas mengenai kisah orang tua Vira kepadanya. Yang selalu Arka dengarkan curhatan sang mantan. Ah, bukan. Tetapi pacar diam-diam. Eum … kekasih gelap? Ah, nggak deh. Netanya saja yang jadi orang ketiga di hidup Arka. Iya, begitu … baginya. Yang sedang Arka baca pesan-pesan kirimannya. Neta : Arka kalo mau bobok jangan lupa sikat gigi. Neta : Kalo nggak, nanti berlubang loh. Neta : Ada uletnya. Neta : Keropos deh. Neta : Arka, kok cuma diread? Neta : Ah, Arka nggak seru! Neta : Aku ngambek nih. Terus dibaca, tapi tidak dibalas. Arka bahkan simpan ponselnya ke nakas. Lalu keluar kamar, berniat untuk makan malam bersama keluarga. “Tadi di sekolah gimana?” “Ngapain aja?” Pertanyaan susulan dari sang Papa. Arka sudah duduk manis di kursi makan, ada Aira yang makan dengan lahap di sana. Juga orang tua yang selalu menyempatkan untuk bertanya hal serupa di tiap harinya. “Nggak gimana-gimana, Ma.” Jawaban Arka pun selalu begitu. Ditambah Aira yang berkata, “Aira mah belajar aja gitu, beda sama Arka. Dia pacaran mulu. Makanya susah buat rangking satu.” Nampaknya kejadian Arka rangking satu adalah sebuah fatamorgana. Well, sudah terjadi. Satu kali sepanjang sejarah Arka lahir ke bumi. Sampai-sampai syukuran hari itu juga atas usul Aira. Ah, mengenang kembali. Detik di mana papa datang melamar sang Mama. “Masih sama yang itu?” Seolah tahu. “Apa sih, Ma. Nggak kok.” Arka tutupi. Yang Aira bongkar seadanya. “Ganti, Ma. Sekarang pacar Arka lebih badai. Anak kelas dua ya, Arka? Ratunya SMA kita.” “Jangan pacaran dulu deh, Ka.” “Udah terlanjur, Mama,” sahut Aira. “Ikut taruhan dia, mainnya cewek mulu.” “Arka!” Saat di mana Aira memeletkan lidahnya. Mampus! Kembarannya ini suka ngadi-ngadi, sih. Kan Aira ember bocor orangnya. Sekarang Arka menunduk saja. “Denger nggak Papa bilang apa?!” Sedikit membentak. “Iya … lagian pas Arka putusin, ceweknya maksa, nggak mau. Arka juga pengin putus kali, Pa.” Ya, Neta. Semoga dengan begini Arka bisa lepas dari Neta, bebas dari taruhan yang dendanya bisa bikin sekarat orang tua. Malam itu, hari di mana Arka dikuliahkan sepanjang masa oleh papa dan mamanya. Hari di mana Arka tidur jam sebelas malam. Benar, ketika itu (sebelumnya) Arka kirimkan sebuah pesan … untuk Neta: Kita udahan aja, ya? Aku nggak boleh pacaran sama orang tua, ketahuan. Mau fokus belajar dulu. Sori, Ta. *** N O T E: SEGINI DULU. AKAN DILANJUT SETELAH ACC. MASUKIN AJA DULU KE PERPUS DENGAN TEKAN TOMBOL LOVE. TERIMA KASIH.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD