Chapter 1. Hidup Baru

1014 Words
"Aku terima nikah dan kawinnya, Larasati Amanda binti Zulkarnain dengan mas kawin mas lima gram dibayar tunai," ucap Arkian sambil memegang tangan wali Laras. Hari itu menjadi hari paling bahagia bagi pria itu. "Sah!" timpal para saksi. Semua orang yang ada di sana mengucapkan doa untuk kedua pengantin yang akan mengarungi bahtera rumah tangga. Laras dibawa ke meja akad. Wanita itu mengenakan kebaya putih dan rok batik dengan siger perak dan kembang goyang tersemat di rambut. Roncean melati dan sedap malam terurai dari belakang rambut ke bahu dan menjuntai ke bagian depan tubuh Laras. Arkian merasa beruntung. Ia menikahi seorang wanita cantik dan ayu idaman para pria di kampusnya. Setelah mengucap doa di ubun-ubun Laras, Arkian memasangkan cincin di tangan istrinya dan giliran Laras yang memasangkan cincin di jari manis Arkian. "Selamet, Bro. Cie yang malamnya menggelora," ledek Aril, sahabat Arkian sejak SMP. Kedua pengantin kini duduk di kursi pelaminan untuk menyalami tamu. "Enggak gitu juga. Mana kado?" tagih Arkian. "Iya, entar dikirim sama Kang Paket, ya? Pokoknya tunggu saja. Itu juga kalau aku inget," timpal Aril. "Jadi ke sini cuman ucapin selamat sama numpang makan doang, nih?" omel Arkian. Aril hanya nyengir lalu ganti menyalami Laras. "Teh, kalau dia nyebelin maklum saja, ya? Harus banyak sabar." Arkian menepuk lengan Aril. "Jangan sembarangan kalau ngomong!" protes pria itu. Lekas Aril turun dari panggung pelaminan dan giliran Bara, sahabat Arkian lainnya yang mengucapkan selamat. Di samping Bara ada seorang wanita dengan rambut hitam panjang dan lurus. Ia tak terlalu pendek pun tak tinggi, mungil dan lucu. Usianya lebih muda dari Arkian. Namanya, Raya. Dia adik kelas Arkian dan memang dekat dengan pria itu karena pernah bertetangga waktu kecil dulu. "Kenapa baru dateng, Dek?" tanya Arkian mengusap rambut Raya. Gadis itu hanya menunduk sambil tersenyum. Raya memang tak banyak bicara. "Selamat atas pernikahannya, Kak Arki," ucap Raya dengan malu-malu. Ia berikan kado pada pasangan itu. "Makasih banyak, Raya. Makasih sudah mau datang," ucap Arki. "Foto dulu sama aku, Ya. Buat kenang-kenangan," ajak Laras. Raya mengangguk. Ia tempatkan dirinya di samping Laras dan berfoto bersama. Hari demi hari berlalu. Setelah menikah dengan Laras, usaha Arkian semakin maju. Dia mulai sibuk di toko walau sudah banyak karyawan yang membantu. Siang itu Laras menelpon dan Arkian tak menjawab telponnya. Ia malah memperhatikan satu per satu roti di display. "Kayaknya yang ini ke belakangin, deh. Ukurannya kelihatan lebih kecil. Sudah kalian timbang, 'kan?" tanya Arkian. "Sudah, Pak. Kayaknya kurang ngembang. Apa mau ditarik saja?" tanya Raya. "Tarik saja, Dek. Enggak enak diliat pelanggan. Nanti mereka pada enggak mau beli. Simpen sekalian yang ada di ujung sana. Aku sudah pilihin yang enggak pas dijual," pinta Arki. Raya mengangguk. Ia lekas mengambil nampan dan memasukan roti gagal tadi ke atasnya. Saat berbalik, Raya melihat ponsel Arkian yang menyala. "Pak, Teh Laras nelpon itu," ungkap Raya. Arkian sejenak langsung berbalik mengitari display utama dan membawa ponsel di meja kasir. "Ada apa, Ras?" tanya Arki. "Mas, aku lagi di klinik. Soalnya enggak tahu kenapa mules banget. Kamu bisa susul enggak?" pinta Laras. Seketika wajah Arkian memucat. "Kamu ke sana sama siapa?" tanya Arki. "Sendiri, naik taksi. Abis aku telponin enggak kamu angkat. Cepet susul, ya?" pinta Laras. Suaranya agak serak dan ada sekat di antara kata. Arki jadi semakin khawatir. Dia lekas mengambil jaket. "Dek! Tolong tungguin toko, ya?" pinta Arkian pada Raya lalu berlari meninggalkan toko. Detak jantungnya semakin cepat dan tak karuan. Bahkan ia merasakan tangan menjadi dingin. Dengan petunjuk dari Google maps Arki pergi ke klinik di mana Laras memeriksakan diri. Dia memarkirkan mobil dan lekas lari ke dalam. Di bagian pendaftaran, Arki langsung menayakan Laras. "Sus, istri saya eh Larasati Amanda di mana, ya?" tanya Arkian. "Istrinya datang ke sini, Pak?" tanya Suster. "Iya, Sus. Tadi telpon saya katanya ke sini naik taksi." Arkian melihat di barisan orang yang tengah duduk menunggu. "Tapi enggak ada di sana," tunjuk Arkian ke kursi tunggu. "Mungkin masih di ruang pemeriksaan, Pak. Tunggu saja, ya?" saran Suster. Arkian mengangguk. Ia berjalan perlahan. Napasnya sudah ngos-ngosan. Duduk di ruang tunggu, Arki menyandarkan punggung di kursi tunggu. Tak lama pintu ruang pemeriksaan terbuka. Arki melihat Laras keluar dari sana. Pria itu bangkit dan mendatangi istrinya. "Ras, kamu gimana? Kata dokter kenapa?" tanya Arkian. "Baik-baik saja, kok. Cuman salah makan. Oh iya, tadi aku tes gitu, Mas." Laras merogoh sakunya. Ia memperlihatkan alat tesnya pada Arki. Melihat dua garis di indikatornya, Arki terlihat kaget. "Ini sungguhan, Ras?" tanya Arki. Laras mengangguk. "Ini kita mau punya anak? Kita, Ras?" Arkian masih belum percaya. Terlihat wajah senangnya memancarkan cahaya. Mendadak tubuhnya terasa hangat kembali. Arkian memegang tangan Laras. "Makasih banyak, Ras. Makasih banyak, Istriku." Arkian memeluk tubuh Laras dengan erat. Dia tertawa senang sampai dikecup kening istrinya. "Mas, malu depan orang. Mereka lihatin kita, nih," protes Laras. Arkian memeluk Laras dari belakang sambil menghadap ke arah orang-orang yang masih menunggu. "Halo pengunjung klinik. Hari ini saya traktir camilan, ya? Istri saya hamil!" seru Arkian. "Selamat!" ucap para pengunjung. Arkian menuntun Laras untuk duduk di kursi tunggu. "Kamu tunggu di sini, ya? Aku mau beli camilan dulu. Pokoknya tunggu," pinta Arkian. Saking senangnya ia berlari keluar dari klinik. Tak jauh dari klinik itu, ada sebuah mini market. Di sana Arkian membeli banyak makanan dan minuman. Saking banyaknya sampai perlu tiga tas belanja untuk membawa belanjaan. Tak lama ia berlari kembali ke klinik. "Bapak-bapak dan ibu-ibu, ini seperti yang saya janjikan, ya? Biar saya bagikan," ucap Arkian. "Ya Allah, Mas. Kamu seneng banget, ya?" Selesai bagi-bagi di klinik, Arki membawa Laras pulang. Di jalan dia tak hentinya mengusap perut Laras. "Mas, konsentrasi sama jalan. Nanti celaka, loh. Kita mau punya anak ini," nasihat Laras. Arkian mengangguk sambil tersenyum. Melihat ada anak jalanan, ia menepikan mobil. Arkian turun dan memberikan mereka uang. "Om mau punya dedek bayi. Doain, ya? Semoga ibu sama Dedeknya sehat," pinta Arkian setelah membagikan uang. "Aamiin," timpal anak-anak itu. Lalu Arkian kembali ke mobil. Laras tersenyum melihat tingkah suaminya. "Kamu seneng banget ya, Mas?" tanya Laras. Arkia mengangguk. "Banget, Sayang. Aku rasanya terharu banget. Kita mau punya anak," jawab Arkian. Hampir menetes air dari matanya. Ia sangat terharu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD