Chapter 20. Rencana Iklan

1799 Words
"Woy!" panggil Arkian. "Apa?" tanya Bara yang sedikit menggeser kursi agak dekat pintu. Tujuannya supaya dia masih mendengar apa yang terjadi dalam rumah. Ditepuk lengan karena ada nyamuk yang hendak menggigit. Maklum, jika hujan tak turun di musim hujan, nyamuk memang sangat merajalela seperti kurang kasih sayang. Tadi saja leher Bara bentol dibuatnya. "Bantu mikir. Gimana caranya aku bisa nemuin calon istri dalam hitungan hari. 'Kan enggak lucu kalau aku bikin pengumuman di pinggir jalan. Bahaya, kalau tiba-tiba ada perempuan nuntut cerai suaminya di tengah jalan cuman karena mau daftar. Apalagi calonnya kayak aku," pinta Arkian lalu menggaruk bagian belakang kepalanya. Aril menggerak-gerakan jemari kaki. "Arki, kamu kalau mau minta tolong jangan sekalian minta dihujat. Orang jadi bingung antara mau nolongin apa mau ngehujat. Perempuan di dunia ini juga punya akal sehat. Meski situ ganteng, tetap saja artis Korea jauh lebih ganteng. Apalagi ini sudah kepedean, pemilih pula. Males!" sindir Aril. "Iya kalau gitu kasih masukan, dong? Di sini ada tiga kepala masa enggak ada satu pun yang punya ide?" Arkian tak sabar ingin bisa membawa anaknya kembali pulang. Masalahnya mengasuh Dikara sendiri sudah menjadi amanat istrinya sebelum meninggalkan. Jelas Arkian merasa bersalah kalau menitipkan putranya pada mertua untuk waktu lama. Terdengar suara pintu terbuka. Ketiga pria itu menengok ke arah pintu. Keluar Rusmi dari sana membawa sepiring ulen goreng. Makanan dari nasi ketan yang ditumbuk dan diberi parutan kelapa itu enak jika dicolek pada sambal terasi dan itu salah satu makanan kesukaan Arkian. "Makasih banyak, Bu," ucap Arkian. "Sudah dengar dari Den Bara katanya Den Arki mau ke sini. Tadi Ibu pesen ulen dari Bu Yuli. Den Arki suka banget ulen Bu Yuli, 'kan?" tawar Rusmi. "Suka banget, Bu. Sudah lama aku enggak makan ini. Kemarin mau nitip ke Raya lupa dan lupa lagi. Waduh, ini pasti sambal buatan Ibu, ya?" Mata Arkian berpaling ke arah sisi piring ulen. Sambalnya terlihat masih belum terlalu halus saat diulek. Ini tipe sambal kesukaan Arkian. Rasanya agak manis dan harus terasi khas. "Ya sudah, dimakan, Den. Kelihatan kurus ini. Makannya banyak, enggak? Ibu khawatir ini. Namanya sudah Ibu asuh dari masih orok. Lihat anak sendiri kurusan sedih." Rusmi mengusap kepala Arkian. "Jangan terlalu khawatir. Arki baik-baik saja. Ibu tidur saja, sudah malam. Biar nanti semua ini Arki yang beresin dan cuci." "Jangan kayak gitu. Kayak di siapa saja. Sok makan yang banyak, Den. Biar Ibu enggak khawatir lagi. Eh, mana Dikara?" "Lagi di rumah Bu Sofi. Katanya mau nginep di sana. Makanya Arkian ke sini saja sekalian jenguk Bapak. Habis Raya enggak bilang kalau Bapak sakit." "Sakit biasa darah tinggi. Kayak enggak kenal Mang Hendar saja, Den." Setelah itu Rusmi pamitan hendak tidur lebih dulu. Dua bujang dan satu duda itu akhirnya kembali ke obrolan. "Coba pakai aplikasi kencan saja, Ar. 'Kan banyak macemnya. Siapa tahu dapat yang keturunan luar. Biar ngerasain punya anak bule," saran Aril. "Takut, ah! Banyak juga yang daftar itu buat nipu. Tahu Si Pian? Dia ikutan aplikasi itu, ketemuan sama cewek. Selama pacaran ngasih duit. Sampai dilamar saja ngasih empat puluh juta. Tahunya itu cewek sudah punya suami dan nipu sama suaminya. Sudah dapat empat puluh juta langsung kabur," tolak Arkian. "Enggak semua manusia bakalan apes, Ar. Lagian kamu nanyain jodoh sama aku dan Aril. Kita berdua saja belum nikah, ada-ada saja!" protes Bara. "Iya, bener! Yang ada mendingan kita cari calon buat kita sendiri, Ar. Kita juga mau punya keturunan." Aril ikutan sewot. "Kalian ini beneran teman apa bukan, sih? Masalahnya orang tua kalian enggak maksa kalian buru-buru nikah. Sedang aku? Kalau enggak diturutin, hak asuh anakku terancam diambil. Ini semua demi Dikara!" omel Arkian. "Coba pasang iklan pencarian jodoh, Ar. Di koran atau di media sosial. Eh, bukannya follower toko kamu banyak. Sampai tiga puluh rebu. Masa dari tiga puluh rebu itu enggak ada satu pun cewek single?" saran Aril. Arkian lama terdiam. Follower itu pun rata-rata akun aktif. "Iya juga, ya? Tapi malu ah, masa nyari jodoh sampai segitunya." "Yang penting cepet, Ar. Sudah jangan banyak mikir. Manfaatin saja. Kalau perlu besok sudah bikin pengumuman di sana," tegas Aril. Bara mengangguk. "Idenya Aril tuh bagus, Ar. Paket saja dia anterin sampai tujuan, apalagi jodohmu," komentar Bara. Aril menendang kaki Bara. "Aku ini manajer, bukan kurir. Tugasku bukan nganter paket, tapi ngawasin mereka!" ralat Aril. "Kalau kamu enggak awasin, paket juga enggak akan sampai dengan selamat, 'kan?" Bara menimpali. "Yang lagi diomongin sekarang itu masalah jodohku, bukan paket!" potong Arkian. Aril menepuk lengan Arkian. "Intinya pasang dulu iklan dan seleksi satu per satu yang daftar. Nanti kita bantuin, deh! Sekalian aku mau pendekatan sama Teteh Sufi yang cantik." Aril mengusap kening. "Bentar. Aku mau telpon dulu desainer feednya." Arkian mengambil ponsel dan langsung mencari nomor orang desain yang dia kenal. Tak lama telponnya diangkat. "Kang Idoy, aku mau pesen banner buat feed bisa? Kalau bisa sih selesai besok." "Bisa. Kalau bisa besok rotinya kirim ke rumah buat aku foto, ya?" tawar Idoy. "Bukan buat roti, Kang. Ini buat aku cari istri." "Hah?" Idoy terlihat terkejut. Biasanya Arkian hanya memesan feed untuk jualan roti dan biasanya gambar dalam feed itu diambil dari hasil jepretan tim Idoy. "Yang benar, Ar?" "Beneran, Kang. Aku ingin nyari calon istri. Sudah ingin nikah lagi. Cuman karena nyari calon susah, aku buka saja iklan pencarian," jelas Arkian. "Mau kamu aku fotoin atau kamu kirim foto sendiri?" "Aku kirim foto saja biar cepat. Tunggu, Kang." "Baik, aku tunggu, Ar." Setelah menelpon Idoy, Arkian simpan kembali ponsel di atas meja. "Aneh enggak, sih?" tanya Arkian begitu mendengar respon Idoy. "Aneh, sih. Tapi mau gimana lagi? Namanya juga darurat. Siapa tahu masuk berita dan viral," celetuk Bara. Aril menggaruk leher. Pria itu berdiri. "Mau nyari keripik ke warung, ah. Sekalian minum teh dingin," pamit lelaki itu. "Buruan balik lagi, kita susun dulu kriterai calonnya!" tegas Arkian. "Tenang saja, Ar. Selama gajinya jelas sih, aku pasti kembali ke sana. Tunggu saja Aril, ya? Jangan kangen, bahaya. Soalnya Aril enggak ada obat." Pria itu melambai ke arah teman-temannya yang sudah mengacungkan tinju ke arah pria itu. Kini Aril berjalan masuk dalam gang. Dia mencari warung terdekat. Aril tahu tempat ini karena memang sering main ke rumah Raya dulu. Tempat ini pun tak begitu banyak berubah, masih persis seperti dulu. Belok ke kanan, Aril bertemu kuburan. Bukan kuburan besar. Kalau dihitung kira-kira ada sepuluh kuburan dewasa dan tiga kuburan bayi. Kuburan ini konon ada sebelum kampungnya dibangun. Malah ada satu pohon flamboyan yang terlihat sangat tua. Kalau lewat sini mendadak bulu kuduk berdiri. Mana lampunya berkelip-kelip manja. Aril jadi membayangkan akan melihat hantu putih bertali di depan sana. Selesai melewati kuburan, akhirnya Aril masuk ke dalam perkampungan lagi. Ada sebuah lapang sepak bola dan di sana ada warung yang di depannya ada meja dan bangku tempat nongkrong bapak-bapak. Begitu tiba di warung asap rokok mengepul. Aril berdiri di depan warung dan memilih ciki serta keripik yang akan dia beli. Namun, matanya terpaku pada gelas yang tengah diminum bapak-bapak yang bermain catur. "Ibu jual bandrek?" tanya Aril memastikan dia tak salah sangka. "Iya. Mau?" tawar pemilik warung. Minuman jahe dengan gula merah dan kelapa parut itu memang menjadi favorit. "Aku mau tiga, Bu. Bungkus pakai plastik saja. Soalnya rumahnya jauh dekat masjid," pinta Aril. "Dekat masjid? Rumahnya Pak Hendar?" terka pemilik warung. "Iya, Bu. Lagi main ke sana. Soalnya Raya lagi di rumah temannya. Mau jagain Pak Hendar yang lagi sakit," jelas Aril. "Pakai gelas saja. Biar nanti dianter ke sana. Dikirain siapa. Ini Uwanya Raya yang dulu di Tasik," ungkap pemilik warung. Kalau dilihat-lihat wajah pemilik warung memang beda dengan terakhir Aril beli ke sini. "Ouh, pantesan kenapa yang punya beda. Ternyata memang alih pemilik?" "Iya, pemilik yang dulu suaminya meninggal jadi ikut anaknya. Ini dijual dan Uwa yang beli. Sekalian dimanfaatkan," jelas pemilik warung. Aril duduk di bangku warung sambil menunggu bandreknya disajikan. Pria itu sesekali memperhatikan permainan catur Bapak-bapak. Aril sampai sekarang saja tak tahu bagaimana caranya main catur. Dia memang tak suka berpikir, apalagi mikirin cicilan mobil. "Bu, sabun batangnya, ya?" pinta seorang wanita yang datang sambil membawa selembar uang sepuluh ribu. "Mau yang mana Neng Yasmin?" tanya pemilik warung, beranjak sejenak dan meninggalkan racikan bandreknya. "Merk biasanya saja, Bu. Ini uangnya." Pemilik warung tak lama memberikan sabun dan kembalian. Yasmin tadinya hendak kembali ke kosan. Namun, dia malah melihat Aril ada di sana. "Selamat malam, Pak," sapa Yasmin. Aril mendongak. Dia cukup kaget dengan wajah wanita itu yang sekilas mirip dengan Laras. "Kamu yang di kantor? Bagian data?" terka Aril. "Benar, Pak. Senang ketemu sama Bapak di sini," ucap Yasmin sambil tersenyum. "Iya," jawab Aril dingin seperti biasa. "Bapak rumahnya di sekitar sini?" tanya Yasmin penasaran. "Bukan. Lagi ke rumah teman," jawab Aril. "Ouh iya, yang kerja di toko roti? Kebetulan waktu itu ketemu di gang sini. Katanya temannya Bapak." Aril mengangguk. Dia tatap wanita itu. "Memang enggak terlalu mirip, tapi lumayan kayak Laras. Kira-kira Arki mau enggak, ya?" batin Aril. "Kalau gitu saya undur diri dulu, Pak," pamit Yasmin. Sepeninggal perempuan itu, Aril dipanggil pemilik warung. "Mau dibawain?" "Enggak usah, Bu. Biar dibawa saya saja ke sana. Nanti teman saya anterin gelasnya ke sini." Aril ambil nampan berisi tiga gelas bandrek lalu dibawa ke rumah Raya. Tiba di sana, Aril simpan nampan di atas meja. "Hei, kalian tahu enggak. Aku masa ketemu sama perempuan mirip sama Laras," ungkap Aril. "Mirip gimana?" tanya Arkian penasaran. "Wajahnya," timpal Aril. Pria itu kembali duduk di bangku panjang. Arkian dan Bara saling tatap. "Mirip wajah banyak, Ril. Masalahnya tuh perilaku. Kalau orangnya cuman mirip perilaku enggak, buat apa." Arkian mengambil gelas kopi dan meminumnya. "Kayak bandrek ini. Ngapain beli padahal ada kopi," tunjuk Bara. "Kalau enggak mau, biar aku kasih ke Bu Rusmi sama Pak Hendar." Aril ambil dua gelas minuman itu dan membawanya ke dalam. Bara dan Arkian saling tatap. "Emang beneran mirip, ya?" tanya Bara pada Arkian. Arkian hanya menggeleng. "Sudah malam kadang mata teman kamu itu siwer," ledek pria itu. Keduanya tertawa. Tak lama Aril kembali. Pria itu kembali duduk. "Aku bakalan cari tahu tentang perempuan itu. Kalau emang cocok, nanti aku ketemuin kalian, deh. Takutnya dia sudah punya pacar atau suami. Bahaya juga, nanti Arkian dicap jadi pebinor. Enggak cocok!" "Emang ketemu di mana?" tanya Arkian. "Bawahan aku di ekspedisi. Dia kayaknya juga kenal sama Raya. Rumahnya juga di sini. Sekilas emang mirip, loh. Apalagi dari pinggir. Aku saja sampai kaget ketemu dia dulu." "Wah, kalau berhari-hari masih kelihatan mirip berarti emang mirip sih," komentar Bara. "Tetap saja, kita ikhtiar dulu buat cari yang lain. Aku enggak mau suka sama orang cuman karena mirip sama Laras. Artinya sama saja aku enggak bisa menerima dia apa adanya. Kamu benar, takutnya malah aku kecewa karena sikap dia beda dengan Laras," tambah Arkian. Bara dan Aril kali ini setuju dengan pemikiran Arkian. "Ya sudah, kita ikhtiar dengan iklan itu. Mudah-mudahan feed iklannya cepat selesai."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD