cHapter 22. Mantan memang

1787 Words
"Anak kamu umurnya berapa tahun?" tanya Syifa. Wanita yang memakai dress merah itu duduk berhadapan dengan Arkian. Bibirnya merah merona dengan tubuh yang terlihat jenjang akibat kaki dialasi sepatu hak tinggi. "Sekarang tiga tahun jalan. Sebentar lagi mau masuk sekolah. Makanya sudah mulai cari calon istri. Soalnya nanti di sekolah aku pasti enggak bisa nungguin," jelas Arkian. "Anakku sekarang sudah SD. Pasti dia senang banget bisa punya adik. Anak kamu laki-laki apa perempuan?" "Laki-laki, Syif." Syifa tersenyum senang. "Pas banget nanti anakku bisa ajarin dia main sepak bola. Mereka pasti senang main sama-sama. Sama-sama laki-laki pasti hobinya sama." "Aku enggak suka main sepak bola," timpal Arkian. "Ouh ya, aneh saja laki-laki enggak suka sepak bola." Arkian menaikan sebelah alisnya. "Karena? Enggak semua perempuan suka boneka, 'kan? Laki-laki juga sama. Ada yang suka sepak bola, basket. Bedanya aku lebih suka voli," jelas Arkian. "Tapi suka nonton, 'kan?" Arkian menggelengkan kepala. "Enggak. Aku suka nonton voli," tegas Arkian. Syifa malah terkekeh. Padahal Arkian kesal mendengar pernyataannya tadi. "Kapan aku boleh ketemu sama anak kamu? Aku enggak sabar buat bisa ngobrol sama dia. Ih, dia pasti imut banget, ya. Mana masih balita lagi. Anakku juga waktu masih balita lucu banget. Dia itu sudah bisa berhitung dari umur tiga tahun. Sudah bisa tambah-tambahan," cerita Syifa. Arkian menarik bibirnya ke setiap sudut. "Ini tipe ibu-ibu tukang pamer anak, nih. Bahaya, pasti anakku nanti juga dibanding-bandingin sama anak dia," batin Arkian. "Ouh ya, pinter dong anak kamu." "Iya lah. Tetanggaku saja iri. Habis anakku sering ranking satu. Dia juga suka banget jadi wakil sekolah buat lomba. Sering menang juga. Aku bangga banget sama dia. Anak orang lain enggak mungkin kayak gitu. Apalagi anakku enggak ada ayahnya. Meski aku kerja, dia belajar sendiri tekun banget." Syifa semakin semangat bercerita. Bukannya senang mendengarkan Arkian sebenarnya mengetes. Apa iya, wanita ini akan sayang dan mengasuh anaknya dengan baik? Namun, dari cara Syifa bercerita, terlihat sekali dia akan berat sebelah dan itu yang Arkian tidak suka. "Gimana, Ar? Kapan kita bisa jalan bareng?" tanya wanita itu. "Aku mau seleksi dulu. Hari ini sudah datang lima orang yang mau daftar. Nanti aku pertimbangkan dulu." "Ar, perempuan belum punya anak itu mungkin belum bisa jagain anak. Lebih baik sama yang pengalaman saja. Takutnya mental perempuan itu masih labil dan nantinya ngaruh ke anak kamu. Jadi hati-hati, ya?" nasihat Syifa yang sebenarnya terlihat bijak, tetapi dengan maksud tertentu. "Makasih banyak masukannya. Tapi aku lagi sibuk. Banyak kerjaan. Sebenarnya di iklan kemarin aku sudah minta suruh DM saja ke IGku. Nanti biar ketemu di luar. Soalnya kalau di toko kurang nyaman." "Ah, kamu ini kayak ke siapa saja. Kita pernah pacaran loh, Ar. Walau aku nyesel banget minggalin kamu dulu buat Arif. Aku mana tahu sifatnya kayak gitu. Dia sama sekali enggak bertanggungjawab. Laki-laki enggak punya moral. Ibunya jauh lebih nyebelin. Masa bilangnya aku disuruh nikah dulu. Nanti kalau sudah lahiran langsung cerai, anakku mau dibawa. Enak saja dia bilang kayak gitu. Emang dia pikir lahirin anak gampang?" omel Syifa. Arkian menarik napas panjang. "Syifa, mau baik atau buruk mantan kamu lebih baik kamu tutupi. Orang punya mata dan bisa menilai sendiri. Apalagi soal keluarganya. Lagipula kamu yang milih dia, jadi sedikitnya diri kamu sendiri juga salah. Apalagi kalau bilangnya sama orang lain yang enggak ada sangkut pautnya kayak aku. Tentu bukan tempat aku buat ngomentarin." Syifa merapikan rok dressnya. "Iya, sih. Habis aku gendok saja. Mungkin kalau nanti kita balikan, aku jadi enggak perlu jelasin lagi sama kamu. Biar kamu tahu kalau aku tuh enggak kayak orang lain omongin. Katanya aku matre lah. Kalau matre, kenapa aku urus anak aku sendiri?" Tak tahu kenapa Arkian harus berada dalam posisi ini. Dia ingin tertawa, tetapi takut diamuk. "Iya sih. Lagian matre itu wajar. Namanya hidup butuh uang. Tapi tetap matrenya harus realistis. Jangan sampai demi yang lebih, kita korbanin apa yang harusnya enggak dikorbanin," tegas Arkian. Terdengar pintu dibuka. Raya datang membawa segelas teh dan menyimpannya di atas meja. Syifa sempat melirik ke arah wanita itu. "Kamu itu Raya yang dulu kelas satu A, 'kan?" terka Syifa. "Iya, Teh," jawab Raya dengan lembut. "Asli? Kamu kok awet muda, sih? Wajahnya masih sama kayak dulu. Bahkan masih polosan. Padahal kalau dandan cantik, loh," saran Syifa. "Itu muji apa ngehina?" pikir Raya. "Kamu apa kabar, Raya? Masih ngekorin Arkian kamu?" Raya menatap Arkian yang sudah tak tahan untuk tertawa. "Kak Arkian bukan monyet, jadi enggak punya ekor. Lagian nyari kerja susah. Mata aku 'kan minus. Enggak keterima kalau di pabrik," jawab Raya. "Minus? Kok enggak pake kaca mata?" Pertanyaan Syifa semakin aneh saja. Arkian menepuk kening. "Teh, minus itu setidaknya masih bisa ngelihat walau enggak bisa jauh. Lagian kerjaku di sini periksa kualitas roti, masih bisa pakai luv. Bukannya meriksa kemiringan talang air," celetuk Raya sedikit emosi. "Ouh. Ya sudah. Bisa tinggalin aku sama Arkian, kami mau ngobrol sebentar," pinta Syifa. Arkian melihat ke arah jam. Sudah sejam mereka berbincang. Lebih tepatnya sih Arkian mendengarkan Syifa bercerita. "Ya sudah, aku pamit dulu, ya?" izin Raya sambil berjalan ke luar ruangan. Wanita itu mendengkus. "Itu perempuan punya masalah hidup apa, sih? Sok banget!" Ternyata omelan Raya itu terdengar Sufi yang baru keluar dari toilet. "Kenapa?" tanya Sufi. "Biasa. Ada calonnya Kak Arkian. Dih, orangnya nyebelin banget. Belum apa-apa sudah berani ngatur. Aku cuman nganterin teh, terus dia suruh aku keluar," jelas Raya. Sufi malah tertawa. "Emang Pak Arkian mau nikah sama dia?" Raya menggelengkan kepala. "Mana mungkin. Kak Arkian sudah trauma besar sama dia." *** Toko ramai seperti biasa. Sudah jadi makanan orang dapur kalau harus panas-panasan di depan oven. Keluar dari dapur sudah pasti badan lengket penuh keringat. Jadi jangan aneh, kalau pulang kerja Sufi harus mandi. "Raya!" panggil Sufi ketika dia baru keluar kamar mandi. Diselendangkan handuk di belakang leher. Perempuan itu berjalan melompat seperti kelinci. "Ada apa?" tanya Raya. "Pulang bareng, yuk. Sudah malam soalnya aku takut," jawab Sufi. "Mau naik motor aku, enggak?" tawar Gading yang datang dari ruang ganti karyawan. Pria itu sudah memakai tas dan membawa kunci. "Terus Raya gimana? Pak Arkian lagi pergi. Dia enggak ada yang anter," tanya Sufi. Gading menatap Raya berharap perempuan itu mengizinkan. Gading sudah berencana mengutarakan perasaannya hari ini. Terlihat Raya lama berpikir. "Aku pulang naik angkot aja. Kalian berdua. Lagian angkot lagi rame kelihatannya. Enggak usah khawatir," jawab Raya. "Tuh, Raya enggak apa-apa." Gading masih berusaha mengajak Sufi pulang bersama. "Beneran, Raya. Aku khawatir sama kamu." Wajar karena memang ini sudah pukul sepuluh malam dan Raya harus pulang sendiri naik angkot. "Ini bukan pertama kali aku pulang jam segini naik angkot. Sudah kamu pulang bareng Gading saja." Tiba-tiba lampu dari mobil begitu menyorot ke dalam toko yang sudah gelap. Jelas baik Sufi, Raya dan Gading menutup mata akibat silaunya. "Siapa itu?" tanya Sufi. Raya berjalan ke luar. Dia buka pintu toko dan melihat orang yang turun dari mobil. "Kak Aril!" panggil Raya. Aril balas melambaikan tangan. "Tadi Bara yang mau jemput. Tapi karena aku mau ada urusan, jadi sekalian saja aku jemput," tawar Aril. Dia tutup pintu mobil dan menghampiri Raya. "Sudah diberesin semua?" "Sudah, Kak. Karyawan lain sudah pulang. Tinggal dedengkotnya saja ini. Biasa, tiga serangkai. Aku, Sufi sama Gading," jawab Raya. "Sufi? Mana?" Aril menengok ke dalam. Terlihat Sufi masih berdiri menatap ke arah mereka. Raya buka lebar pintu toko. "Sufi, mau pulang bareng, enggak? Biar aku anter sekalian sama Raya." Gading menunduk sedih. Sepertinya rencana dia hari ini gagal. "Tapi Sufi sudah janji mau pulang bareng Gading. Sekalian temenin dia di jalan. Kasihan sendiri," tolak Sufi. Aril menatap Gading. Jelas pria itu merasa kalah. "Ouh, ya enggak apa-apa. Hati-hati di jalan, ya?" pesan Aril. "Makasih, Pak." "Ayo pulang, Ra. Sudah malam banget ini. Nanti aku diamuk sama Bang Bara," canda Aril menutupi rasa kesalnya. Raya tepuk lengan Aril. "Dibilang Raya enggak ada apa-apa sama dia! Kenapa, sih?" protes Raya. Ketiganya lekas keluar toko. Raya kunci pintu toko lalu berjalan masuk ke mobil Aril. Sedang Sufi naik motor bersama Gading. Jelas mata Aril tak mau berpindah dan terus melihat Sufi yang duduk di belakang pria lain. "Mereka sudah kenal lama. Jadi deket. Jangan suka cemburu enggak jelas. Lagian Kak Aril bukan siapa-siapa dia," sindir Raya. "Aku juga tahu, enggak usah diperjelas kayak gitu!" omel Aril. Pria itu langsung menyalakan mesin mobil. Perlahan mobil Aril mundur dan mulai berjalan di aspal. "Mereka deketnya sebatas apa?" tanya Aril masih curigaan. "Kayak aku sama Kak Aril. Dekat, tapi enggak mungkin punya rasa," jawab Raya. "Berarti kalau sama Bara mungkin, dong?" sindir Aril. Raya bergidik. "Sama kalian bertiga enggak mungkin! Ogah," tolak Raya dengan suara keras seperti biasa. Raya sempat melihat ke belakang. Banyak paket di dalam mobil Aril. "Itu apaan? Paket orang kenapa dicolong?" tanya Raya sekenanya. "Itu paket ke komplek rumah aku. Sekalian saja aku anterin. Kasian juga kurir, 'kan?" jawab Aril. Raya ber-oh. Kini Raya kembali menatap ke depan. Jalan terlihat gelap dan lampunya begitu remang-remang. Kalau tidak hati-hati, ban tanpa sengaja menyentuh lubang. "Kenapa nolak Bara?" tanya Aril tiba-tiba. "Dibilang kayak ke kakak sendiri," tegas Raya. "Karena Arkian?" terka Aril begitu mengena hingga Raya terdiam. Aril tetap dengan santai menyetir mobilnya. "Maksud Kak Aril gimana?" Raya terlihat bingung. Aril tersenyum. "Aku terlalu kenal kamu, Arkian dan Bara. Aku mungkin kayak tukang bercanda, cuekan, enggak peka. Sebenarnya aku tahu apa yang kalian rasain. Termasuk soal kamu. Terserah kamu mau marah apa gimana. Tapi sejak lama aku tahu kamu punya rasa sama Arkian. Bukan kayak adik ke kakak sendiri. Lebih dari itu." Raya meremas tas yang ada di pangkuannya. "Enggak, kok," timpal Raya, tetapi dengan suara serak. Wajahnya menunduk. "Aku enggak akan bilang sama siapa-siapa, kok. Aku tahu posisi kamu kayak gimana. Kalau kamu terima Bara, kamu takut enggak bisa lupa Arki. Apalagi pasti kalian sering ketemu. Itu hak kamu, Raya. Cuman hak kamu juga buat ungkapin itu ke Arki. Jangan sampai nyesel dua kali," nasihat Aril. Raya di sini bingung dengan posisinya. "Kak Aril tahunya dari mana?" "Mata kamu enggak bisa bohong. Kamu sudah suka sama Arkian sejak lama. Bahkan sebelum dia pacaran sama Syifa. Perasaan yang lama kayak gitu aku yakin susah lupainnya. Aku setuju sama kamu. Kalau enggak bisa dapetin Arkian, lebih baik cari laki-laki yang enggak ada hubungannya sama dia. Bara masih bisa cari perempuan lain." "Aku tahu diri kok, Kak. Bisa dikuliahin sama Bu Liris saja untung. Enggak mungkin aku bisa sama anaknya. Kayak punguk merindukan bulan, 'kan?" Aril tersenyum. Mobil berbelok ke arah Siliwangi. "Jujur aku lebih milih kamu bisa gantiin Laras. Karena perasaan kamu ke Dika sama sekali enggak ada urusannya sama Arkian. Kamu tulus sayang sama anak itu. Sayangnya, aku enggak bisa ubah perasaan Arkian apalagi ibunya. Makanya aku bilang kayak tadi. Tapi, Ra. Namanya jodoh enggak akan ke mana, kok. Kalau emang Arkian jodoh kamu, pasti balik lagi ke kamu," tegas Aril.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD