JUST A PRANK

1178 Words
Ada perasaan bahagia saat Mauren melajukan mobil menuju sebuah bandara. Akhirnya, kekasih yang sudah lama tak ia jumpa, kembali pulang ke Indonesia. Perjumpaan dengan sang kekasih spontan membuyarkan rasa lelah. Benar, seharian itu Mauren disibukkan dengan seabrek beban kerja. Meski begitu, rasa letih tak membuat Mauren enggan menjemput sang kekasih ke bandara. ****** Mauren melangkah cepat. Menuju area tunggu bandara. Manik matanya mengedar. Mencari sosok pria yang sudah empat tahun tak ia jumpa. Berpacaran jarak jauh? Yah, itulah yang mereka putuskan saat kali terakhir bertemu. Drrt drrt! Di sela wanita cantik itu menjejalkan retina, mencari sosok Brian di sana, ponsel dari dalam tas jinjing berwarna merah muda bergetar. Menampakkan nama Brian di dalam layar. Spontan senyum merekah indah bak bunga di taman. “Hallo, sayang?” Mauren menyapa. Nada bicara wanita itu terdengar riang. “Hai, Mauren.” Seseorang menyahut, namun suara itu bukan suara Brian. Melainkan, suara seorang wanita. Sialan! Siapa yang berani menggunakan ponsel kekasihku? Mauren membatin geram. Mengumpat dalam-dalam. “Kau siapa?” Mauren memekikkan suara. Gurat curiga tak henti memenuhi garis di wajah. “Katakan kau siapa?” Mauren kembali bertanya. Nada bicaranya terus menggebu. Menandakan tidak sabar. Tiba-tiba gelak tawa terdengar dari seberang. “Hahaha..” “Sial! Apa wanita ini tidak waras?” Mauren bergumam. Menjauhkan ponsel dari telinga. Memastikan jika ia tak salah mengangkat panggilan masuk ke dalam ponselnya. *Kekasihku Brian* Benar, itu nomor ponsel Brian. Mauren tak salah. Tak lama kemudian, seseorang menepuk pundak Mauren dari arah belakang. Mauren menoleh. Tepukan berat itu amat mengejutkan. “Kau?” Mauren memelototkan mata. Tak dapat menahan reaksi kesal. Brian baru saja tiba. Didampingi seorang wanita. Apa wanita itu yang tadi menyahut dari ujung telepon? Siapakah dia? “Sayang? Hei! Mengapa wajahmu seketerkejut itu? Lihatlah, wajahmu itu lucu sekali,” Brian menyapa. Tak henti menertawakan wanita di depannya. Mauren menggenggam ponsel dengan erat. Gerakan tangan wanita itu hampir meremas kuat. Lirikan matanya menghunus tajam pada sosok wanita yang tiba bersama Brian. Brian mengikuti arah pandang Mauren. Menghentikan tatapan horor Mauren pada Priscilla. “Hei! Hei, tenanglah sayang. Dia temanku, namanya Priscilla. Dia teman kuliahku di Inggris, kami memutuskan untuk kembali ke Indonesia bersama,” Brian meraih pundak Mauren. Mendekatkan wanita itu pada tubuhnya. Mauren menoleh sekilas. Dahinya berkerut. Sorot mata wanita itu menyirat banyak tanda tanya. “Apa yang kau lakukan, Brian? Apa kau sengaja melakukan ini padaku? Kau sengaja melakukan prank kepadaku?” Brian meratakan bibir. Tak lagi mengulum senyum jahil. “Prank? Ah, iya! Maafkan aku sayang. Aku hanya berniat mengerjaimu saja. Aku tak menyangka kau benar-benar terkejut seperti itu,” Brian berucap. Tak ada gurat penyesalan. Bagaimana pun, ia cukup senang akan prank yang sukses ia lakukan. “Ini tidak lucu, Brian! Aku kira kau berselingkuh! Selama ini kau jarang berkabar denganku. Sekalinya kau kembali ke Indonesia, kau datang bersama seorang wanita!” Mauren memekik. Menghujam d**a Brian dengan kepalan tangan. “Ck, tentu tidak sayang. Untuk apa aku berselingkuh di belakangmu? Kau tahu sendiri, aku sangat mencintaimu,” Brian menyahut. Memeluk tubuh Mauren. Merapatkan ke dalam dekap. Mengusap pelan punggung sang kekasih. “Maafkan aku, ya?” Brian melepas dekapan. Menyentuh puncak rambut hitam milik Mauren. Sementara itu, Priscilla berkacak pinggang. Tak dapat menahan kesal. “Sudah, sudah! Kalian pikir ini panggung sandiwara? Aku tak pulang ke Indonesia untuk menyaksikan kemesraan kalian,” Priscilla berucap. Membuyarkan dua insan yang sedang melepas kerinduan. Mauren menghembus napas panjang. Selama empat tahun Brian berada di Inggris, Mauren tak pernah tahu jika kekasihnya itu memiliki teman dekat bernama Priscilla. Sungguh rasa janggal menghujam d**a. Mauren tak bisa percaya, jika mereka sebatas berteman saja. ****** “Sayang, apa kau ingin aku yang menyetir?” Brian menawarkan. Sesaat usai memasukkan koper miliknya dan Priscilla ke dalam bagasi belakang. Mauren melirik Priscilla. Wanita itu berdiri di sisi pintu jok belakang. Mengapa aku juga harus mengantarnya pulang? batin Mauren terheran. “Sayang?” Brian kembali berseru. Merendahkan kepala. Menengok wajah Mauren yang lebih rendah dua puluh empat centi darinya. “Eh, Hh! Tidak, biar aku saja yang menyetir. Kau pasti lelah, duduklah saja,” Mauren menyahut. Menolak tawaran Brian untuk menggantikan posisi duduk pada sisi kemudi. Mereka bertiga masuk ke dalam mobil bersamaan. Brian duduk di samping kemudi. Sementara Priscilla, mendudukkan diri tepat di belakang Mauren. Mobil mulai melaju perlahan. Meninggalkan area parkir bandara. Angka digital pada dasbor mobil menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Jalanan mulai lengang. Mauren dengan konstan mempercepat laju kendaraan. Wanita itu memang mahir mengemudi. Bahkan, ia bak pembalap wanita. Di sela Mauren sibuk mengemudi, dua insan lain asyik bergurau. Melempar candaan. Dan, sialnya mereka berdua sempat berbalas kalimat godaan. Mauren mendecik lirih. Apa Brian sengaja mengerjaiku lagi? Haruskah dengan membuatku cemburu seperti itu? Bagi Mauren, sudah cukup mereka dipisahkan oleh jarak. Mauren tak lagi ingin ada penghalang saat mereka kembali dipertemukan. Sungguh, benak Mauren tak pernah membayangkan jika Brian berselingkuh. Namun, penolakan Brian untuk pulang ke Indonesia di sela libur semester kuliah, membuat Mauren menaruh curiga. Mungkinkah karena Brian sibuk dengan wanita lain di belahan bumi sana? Mauren sungguh tak tahu. Hanya ada perasaan cemburu yang terus menderu. “Brian!” Mauren berseru lantang. Membuat dua orang yang sedari tadi asyik berbincang, terdiam. “Ada apa, sayang?” “Bisakah kalian berhenti melontarkan candaan dengan nada menggoda seperti itu? Kau jangan membuatku kesal!” Brian membeku. Niatnya mengerjai Mauren benar-benar sukses. Wanita itu berhasil dibuatnya cemburu. Namun, Brian takkan berhenti. Ia harus mengerjai sang kekasih hingga hari ulang tahun wanita itu tiba. Hening sesaat. “Oh iya, sayang. Kau tidak apa-apa kan mengantar Priscilla ke rumahnya dulu?” Brian kembali mengeluarkan suara. Gurat kesal masih tercetak di wajah. Seharusnya kau bertanya sedari tadi! Maka, tak akan kuijinkan wanita itu menumpang di mobilku. Mauren membatin. Tak henti menggerutu. “Sayang?” “Iya, aku akan mengantarnya,” Mauren menyahut terpaksa. “Mauren, tahukah kau? Brian sempat berkata ingin putus denganmu,” Priscilla berceletuk tiba-tiba. Menghentikan obrolan singkat antara Brian dan Mauren sebelumnya. Wajah Mauren memucat pasi, begitu pula dengan Brian. Apa yang sedang Priscilla katakan? Aku tak pernah mengatakan hal itu. Jika begini, rencanaku untuk mengerjai Mauren menjadi berlebihan. Aku tak ingin Mauren salah paham. Brian membatin. Menoleh sinis pada Priscilla, “Apa yang kau katakan?” bibirnya berucap lirih kemudian. Tak terasa pedal gas terinjak dalam. Kecepatan meninggi hampir penuh. Mauren melampiaskan kekesalan dengan berkendara tanpa ragu. Membahu jalanan yang sepi malam itu. Mauren menyetir sembari terus melirik ke arah spion tengah. Saat pandangannya kembali berfokus ke depan, tiba-tiba Mauren mengerem mendadak. Mauren tak lagi dapat mengendalikan kemudi. Mobil yang ia kendarai terplanting hebat. Tak dapat menghindari pengendara motor yang tiba-tiba melintas di depannya. Bunyi benturan spontan terdengar nyaring. Bunyi itu menghunus tajam ke gendang telinga ketiga penumpang di dalam mobil. Cahaya putih seketika berpendar di depan mata. Serpihan kaca mulai terpercik ke dalam kulit mereka yang terbuka. Tak terhalang oleh busana. Darah mengucur pada beberapa bagian tubuh dari ketiganya. Kecelakaan nahas baru saja menimpa mobil keluaran terbaru. Pengemudi wanita itu terkulai lemas. Jatuh pingsan. Tak sadarkan diri. Hal terakhir yang Mauren ingat, hanyalah seutas senyum culas yang diedarkan oleh Priscilla kepadanya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD