14. (Bukan) Pelampiasan

2626 Words
Bintang merasa begitu bosan. Sudah dua jam dirinya menunggu Adryan, namun dokter ganteng itu tak kunjung selesai karena masih banyak pasien yang harus diperiksanya. Bintang menatap nanar langit-langit atas untuk menghilangkan rasa bosannya. Sesekali ia melamun, entah apa yang dirinya lamunkan. “Bintang,” panggil Adryan. “Bin.” Tak kunjung mendapat balasan. “Bintang!” Adryan sedikit mengeraskan suaranya. “Eh, iya? Kenapa?” Bintang terkesiap kaget. Dirinya terkejut lantaran terbangun dari lamunannya setelah disadarkan Adryan. Bintang juga menggelengkan kepalanya. Kenapa bisa sampai tidak fokus seperti ini? “Apa yang kamu lamunin, Bintang?” tanya Adryan. Adryan duduk di kursi kebesarannya. Bintang tersenyum kecut. “Nggak papa kok. Cuman, sedikit bosan saja,” ujar Bintang jujur. Adryan melepas jas dokternya. Ia pun membereskan tas kerjanya. “Maaf, sudah membuat kamu menunggu lama. Pasien hari ini banyak banget, jadi lumayan menguras waktu.” Adryan merasa sedikit bersalah pada Bintang. Tapi, mau bagaimana lagi, itu semua sudah menjadi tanggung jawab dan tugas dirinya sebagaiseorang dokter. Bintang mengulurkan senyumnya. “Nggak papa, kok. Lagian, itu kan sudah menjadi tugas Dokter Adryan.” Adryan menenteng tas kerjanya. Ia bersiap, lalu mengajak Bintang pulang. Ia sudah berjanji untuk mengantar gadis itu. “Sudah, ayo keluar. Masih kuat jalan, ‘kan? Apa perlu kursi roda?” tawar Adryan membuat Bintang terkekeh. “Saya masih bisa berjalan, Pak Dokter. santai saja.” Bintang menolak halus tawaran Adryan. Meski masih sedikit lemas, tapi dirinya tidak boleh manja. “Jangan panggil Bapak. Saya belum setua itu!” protes Adryan. “Kan Pak Dokter?” sangkal Bintang. “Pokoknya jangan panggil Bapak, oke?” perintah Adryan tak terbantahkan. “Ya sudah, Dokter Adryan?” pungkas Bintang. “Kepanjangan!” protes Adryan lagi. “Subhanallah, ribet banget sih, kek cewek!” kesal Bintang menggerutu. Terdengar kekehan kecil dari bibir Adryan. Senyumnya manis, semanis janji mantan. “Kepanjangan, Bintang. Nggak enak didengernya.” “Kepanjangan ya dipotong!” Lagi-lagi Bintang melampiaskan rasa kesalnya. “Nah, gitu dong. Kalau kesal itu dilampiasin, nggak ditahan sampai sesak. Biar nggak jadi penyakit.” Adryan tahu jika Bintang diam-diam menyimpan emosi yang mendalam. Tapi gadis itu tidak tahu bagaimana cara melampiaskan rasa kesal atau kecewanya itu. Akhirnya, Adryan pun rela menjadi tempat pelampiasan amarah Bintang. Bintang mencebikkan bibirnya kesal. “Udah, nggak usah cemberut terus. Ayo, keluar!” Adryan menarik tangan Bintang. Bintang lalu bangkit dan berjalan beriringan dengan Adryan meninggalkan poli penyakit dalam tempat praktik Adryan. Saat sudah di pintu masuk, Adryan mencegah Bintang untuk ikut bersamanya ke parkiran khusus dokter dan karyawan rumah sakit. Adryan menyuruh Bintang untuk menunggunya di pintu masuk rumah sakit. “Bentar, kamu tunggu di sini dulu. aku mau ambil mobil di parkiran.” Bintang mengangguk patuh. Dirinya tidak ingin berdebat lagi dengan Adryan. Adryan pun berlalu dari hadapan Bintang. Ia berjalan menuju arah parkiran yang lokasinya lumayan jauh dari pintu masuk. Setelah beberapa lama, akhirnya Adryan muncul bersama dengan mobil pajeronya yang mahal. Mobil pun berhenti di hadapan Bintang. Adryan keluar mobil dan menghampiri gadis itu. Sedari kemunculan Adryan, satpam rumah sakit tak henti-hentinya memperhatikan. “Dokter Adryan, itu kekasihnya ya?” tanya satpam rumah sakit yang terlihat begitu kepo. Adryan terkekeh. “Bukan, Pak. Cuman teman,” jawab Adryan. “Wah, sayang sekali, Dok. Padahal serasi.” Adryan tidak meladeni. Dirinya hanya melontarkan senyum pada satpam kepo yang lumayan dekat dengannya itu. Di tempatnya, Bintang menutup wajahnya malu. Adryan yang bisa merasakan keanehan dari Bintang, ia pun mencoba membuat Bintang tidak canggung. Adryan membuka pintu mobil untuk Bintang. “Udah, nggak usah didengerin ya? Nggak usah dimasukin hati. Anggap aja orang kepo.” Adryan berbisik di dekat Bintang. Bintang tersenyum sebagai respon. “Iya.” “Masuk gih,” Bintang pun masuk ke dalam mobil. “Saya duluan ya, Pak,” pamit Adryan pada satpam yang masih memandangi Bintang dengan tatapan penasaran. “Eh, iya, silakan, Dok,” jawa satpam itu gelagapan, karena dirinya kepergok sedang mengamati Bintang sampai segitunya. Tanpa mempedulikan Pak Satpam, Adryan pun ikut menyusul Bintang masuk ke dalam mobil. Setelahnya, mobil pun melaju ke tempat yang dituju pengemudinya. “Bin, cari makan dulu ya? kamu kan belum makan, entar GDA kamu rendah lagi, bahaya!” Adryan mengajak Bintang untuk mampir beli makan, sebelum ia mengantar gadis manis itu pulang. “Terserah Mas Iyan aja. Aku ngikut. Kalau nolak juga pasti kena protes.” Bintang nurut saja apa kata dokternya ini, selagi baik untuk dirinya, kenapa tidak. Adryan memicingkan satu matanya, kemudian ia menatap Bintang sekilas dengan dahi yang berkerut. Keheranan tidak bisa tersamarkan dari ekspresinya. “Mas Iyan?” ujarnya. Bintang mengangguk, “Iya, Mas iyan. simpel dan nggak ribet.. Kali ini nggak boleh protes. Salah sendiri dari tadi protes mulu. Dipanggil Pak Dokter nggak mau, dipanggil Dokter Adryan, kepanjangan namanya, ya udah, itu aja cocok,” Kali ini Adryan terulur untuk mengembangkan pipinya. Senyum lebar yang terpancar, membuatnya semakin menawan. “Ya sudah, terserah kamu saja,” pungkas Adryan. Bintang tidak menanggapi. Ia mengalihkan pandangannya ke arah luar. “Mau makan apa?” tanya Adryan. Bintang tampak berpikir. “Emmm, pengen yang segar-segar aku. Yang berkuah gitu,” ujar Bintang. Adryan terdiam sejenak. “Makan soto babat, mau nggak? Biasanya, kalau ada temen main ke Lamongan, pasti aku ajak mampir buat makan soto babatnya. Kalau kamu nggak mau, ada baksonya juga kok. Tapi kamu wajib cobain sotonya, sih. Menurut aku, sotonya tuh paling enak di Lamongan, daging sama babatnya empuk banget, dan nggak bau. Baksonya juga nggak kalah enak, malah ada tetelannya juga. Nama kedainya apa ya, lupa aku.” Adryan mencoba mengiming-imingi Bintang agar mau makan soto babat langganannya. Jujur saja, sekarang, dirinya juga ingin memakan menu itu. “Bakso tetelan ‘Tejah Lestari’ ya? Aku udah pernah makan baksonya sih, enak banget. Bikin nagih. Tapi untuk soto babatnya aku belum pernah coba. Boleh deh, aku coba sotonya. Jadi penasaran gimana rasanya.” “Iya, bakso tetelan dan soto babat Tejah Lestari. Kalau ke lamongan, wajib nih mampir ke sini. Tempatnya juga enak, bersih dan nyaman. Meski lesehan, tapi semi depot gitu loh. Tempatnya di pinggir sawah. Cocok banget buat yang lagi banyak pikiran tuh. Dijamin langsung fresh.” Adryan jadi semakin bersemangat karena dirinya dan Bintang sefrekuensi. Jarang dirinya bertemu perempuan seperti Bintang. Tidak ribet dan apa adanya. “Berarti makan soto babat nih?” tanya Bintang. “Berangkat!” setelahnya, keheningan kembali tercipta. Adryan melajukan mobilnya menuju tempat makan yang sudah mereka sepakati bersama tadi. Tak lama, mobil sudah sampai di depan Warung bakso Tejah Lestari. Pembeli lumayan ramai, jadi mau tidak mau, mereka harus menunggu sedikit lebih lama lagi. Adryan sudah memesan makan yang dirinya dan Bintang inginkan. Ditambah satu gelas teh hangat untuk dirinya dan satu botol air mineral untuk Bintang. Meski lama menunggu, tapi tidak berasa menjenuhkan. Bintang melihat hamparan sawah dan sejuknya angin sepoi yang menerpa rambut panjangnya. “Seger banget ya, Mas, di sini?” ujar Bintang pada Adryan. “Iya, jadi ngantuk aku,” jawab Adryan dengan mata menyipit menahan kantuk. Bintang menepuk pelan tangan Adryan. “Leh, jangan tidur. Ini tempat makan, bukan salon!” tegur Bintang. Adryan terkekeh. “Iya, iya, Bintang.” “Emmm ... bagus deh.” Bintang kembali mengalihkan pandangan ke arah sawah. “Oh iya, Bin. BTW, kamu kuliah apa kerja?” tanya Adryan. Bintang yang di tanya, langsung mengalihkan fokusnya pada Adryan. “Aku kuliah, tapi kalau ada waktu luang, aku juga nulis,” jawab Bintang. “Nulis apa?” Adryan terlihat semakin antusias dengan kehidupan gadis yang ada di hadapannya ini. “Nulis novel,” ucap Bintang sambil nyengir. Mata Adryan yang semula menyipit mendadak terbuka lebar. “Seriusan? Wah, keren nih. Apa judul ceritanya, mau baca dong. Ada bukunya?” Bintang tersipu. “Nggak ah, nggak PD aku. Jangan dibaca.” Adryan menatap Bintang sinis. “Leh, orang mau baca kok nggak dibolehin. Apa kok judulnya?” desak Adryan agar Bintang mau mengaku. “Iya deh, iya. Judulnya Imamku Dunia Akhirat,” jawab Bintang mengalah. “Itu tentang apa?” Bintang mencebikkan bibirnya. “Nggak mau jawab. Itu namanya spoiler. Nggak seru!” ketus Bintang. Adryan terkekeh. “Ya sudah. Semoga, kamu nanti bisa mendapat imam yang bisa mengajakmu sedunia dan sesurga. Seperti judul novelmu itu.” Doa tulus dari Adryan. Bintang tersenyum. “Aamiin.” Dalam hatinya, terdapat rasa getir yang hinggap. “Kok lama ya?” tanya Bintang. “Sabar, masih rame itu loh,” ujar Adryan sambil menunjuk ke sekelilingnya. “Iya, aku sabar kok. Sesabar hati yang mengharap ikhlas namun tak kunjung tuntas.” Bintang tersenyum getir menahan perih di dalam dadanya. “Eh, kenapa? Mau cerita?” Melihat tatapan Bintang yang sendu, Adryan menyadari kerapuhan di balik mata sayunya. “Boleh, rasanya sesak banget, Mas. Sakit.” Saat Bintang ingin bercerita, tiba-tiba, makanan yang mereka pesan sudah datang. “Makan dulu ya? Kalau udah dingin keburu nggak enak,” pungkas Adryan mengakhiri pembicaraan. Bintang pun hanya bisa mengangguk patuh. Mereka pun akhirnya menyeruput kuah soto, dan menyantapnya hingga tandas. Setelah makanan habis, Bintang menyingkirkan sisa mangkuk kotor ke arah sampingnya. Ia mengelap meja dengan tisu agar pembicaraan menjadi lebih nyaman. Bintang pun memulai sesi curhatnya pada Adryan. “Jadi, aku kenal sama seseorang di grup kepenulisan. Kita dulu satu grup dengan editor yang sama. Nggak tahunya, rumah kita deketan, ‘kan. Semakin lama, hubungan kita juga semakin dekat. Sampai pada akhirnya, kita memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Dia datang buat ketemu sama aku dan keluarga, dan pada pertemuan pertama itu, harapanku dan dia harus pupus, karena kita seamin tapi tak seiman. Aku muslim, dia nasrani. Aku udah coba buat ngejauh, tapi yang namanya sayang banget, pasti susah buat lepas. Kita pun sepakat untuk mencoba, dan bertahan untuk mendapat restu, tapi mamanya dia menentang keras hubungan aku sama dia, Mas. Mamanya mau aku ikut dia dan dibaptis, tapi aku nggak bisa, aku nggak mau, aku maunya dia yang ikut aku. Tapi, kita sama-sama egois dalam mempertahankan keimanan. Aku jadi bingung, aku nggak mungkin kayak gini terus. Tapi aku nbgak tahu gimana cara lepasinnya.” Bintang terlihat frustasi. Tanpa sadar, air matanya sudah menetes membasahi pipi. Adryan mengambil tisu yang ada di hadapannya, lalu memberinya pada Bintang. “Dilap dulu air matanya,’ ujar Adryan perhatian. Bintang menerima tisu itu dan segera menghapus air matanya. Sebenarnya, hati Adryan sedikit sakit mengetahui Bintang sudah memiliki kekasih. Namun tak apa, Adryan hanya ingin melihat Bintang bahagia. Adryan tahu gadis itu rapuh. Adryan janji akan menemani gadis itu dalam kesedihan dan kerapuhannya. “Kamu sayang banget sama laki-laki itu?” tanya Adryan. Bintang mengangguk. “Sayang banget. Bahkan, aku nggak tahu gimana cara melepasnya, Mas. Logika aku menginginkan untuk lepas, tapi hati aku masih bertaut. Hati aku belum siap buat kehilangan dia. Dia adalah laki-laki pertama yang membuatku merasakan dicintai dengan tulus. Sebelumnya, aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang tulus dari laki-laki manapun, termasuk ayah kandungku. Bersamanya, aku merasa begitu berharga. Bersamanya aku bisa menjadi diri aku sendiri. Aku bahagia bersamanya.” Mendengar jawaban dari Bintang, hati Adryan terasa semakin perih. Namun, tak apa. Adryan sadar diri akan posisinya saat ini. “Emmm ... gimana ya, Bintang. Aku tahu gimana sakitnya cinta tak seiman yang kamu alami saat ini. Tapi ya balik lagi, mau secinta apa pun, sesayang apa pun kamu sama dia, kalau sudah agama yang menjadi penghalang, susah, Bintang, Apalagi, keluarga dia juga tidak setuju dengan hubungan kalian. Kalau kekasih kamu itu bisa tegas memilih kamu, mungkin kalian bisa bersatu, tapi kalau dia berat melepas keluarganya, kemungkinan kalian untuk bisa bersama semakin kecil. Kalau dijalanin terus, lama kelamaan salah satu dari kalian, atau keduanya bisa saling menyakiti. Itu pasti, Bintang. Karena nggak mungkin, selamanya hubungan kamu akan terus gantung kayak gini. Kamu juga pasti butuh kepastian. Sampai kapan kalian akan sembunyikan hubungan salah ini?” Adryan mencoba memberi pengertian pada Bintang tanpa ingin melukai hatinya. Bintang mengangguk. “Benar katamu, Mas. Aku juga capek kalau terus-terusan seperti ini. digantung tidak ada kejelasan. Tidak dikasih kepastian, tapi diberi perhatian dan kasih sayang. Aku sendiri juga bingung dengan statusku ini. Tapi balik lagi, kita berdua sama-sama masih sayang, Mas. Aku sendiri juga nggak tahu, gimana cara melepasnya. Aku capek, tapi aku sayang.” Lagi-lagi, air mata Bintang menetes. Adryan tersenyum. “Jangan dipaksa, pelan-pelan saja. Mau aku bantu biar bisa lepas?” tawar Adryan. Bintang menautkan kedua alisnya. “Gimana caranya?” tanya Bintang ragu. “Izinkan aku masuk dalam hidup kamu,” terang Adryan. Bintang menggeleng pelan. “Aku nggak yakin bisa berhasil.” Belum apa-apa, Bintang sudah menyerah. Adryan mencoba tersenyum. “Harus yakin. Pelan-pelan saja, jangan dipaksa. Aku juga akan mencoba membuatmu melupakannya. Kamu juga berhak bahagia, Bintang. Jangan buang-buang air matamu untuk hal yang tidak berguna seperti ini.” “Aku nggak bisa, Mas. Ini sama seperti aku menjadikan kamu seperti pelampiasan. Aku nggak mau kamu sakit. kamu juga tahu, secara terang-terangan aku belum bisa melepasnya.” Bintang jadi merasa bersalah. “Nggak, aku nggak pernah merasa kamu jadiin aku sebagai pelampiasan. Kamu pun nggak perlu langsung melupakannya. Untuk membuatmu lupa dengannya, itu tugasku. Tugas kamu cuman satu, belajar ikhlas dan sabar di setiap harinya.” Bintang menggelengkan kepalanya. Rasanya, seperti tak percaya dengan kata-kata yang Adryan ucapkan. Ternyata, di dunia ini masih ada orang yang sesabar ini. “Aku nggak tahu lagi harus berkata apa, Mas. Terbuat dari apa hatimu? Kenapa kamu sabar banget. Bahkan, kamu juga tahu kan kekuranganku di mana? Aku cuman gadis penyakitan yang kapanpun bisa merepotkan. Aku tidak sempurna layaknya perempuan lain, fisikku lemah. Aku tidak bisa kerja terlalu berat. Intinya, aku banyak kekurangan.” Adryan tersenyum. “Justru itu yang menjadikanmu istimewa di mataku. Kamu beda dengan perempuan lain. Kamu mandiri. Bahkan, sakit saja, kamu bisa datang sendirian. Aku cuman mau bilang sama kamu, dari kisah kamu ini, ada satu poin yang seharusnya bisa kamu jadikan sebagai pelajaran. Manusia itu punya keinginan, manusia juga punya hasrat. Hasrat mutlak yang tidak bisa dihindari adalah rasa suka, rasa kagum, rasa sayang dan rasa ingin memiliki. Seperti kamu yang sangat mencintainya, begitu mendambakannya dan ingin memilikinya, tapi Tuhan tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya. Terkadang, apa yang kita anggap itu terbaik, belum tentu menurut Tuhan itu baik. Saat doamu tak terkabul, bukan Tuhan yang jahat. Justru, cintanya Tuhan pada hamba-Nya, itu tak terbatas. Tuhan tidak memberi apa yang kita inginkan, tetapi Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan.” Bintang tertunduk lesu. Ia malu sekali. Kenapa dirinya bisa berprasangka buruk pada Tuhan saat doa-doanya tak dikabulkan? Rasanya, Bintang ingin memaki dirinya saat ini juga. “Benar, Mas. Aku salah. Aku sudah berprasangka buruk pada Tuhan. Bukankah Tuhan yang mengatur segala jalan Takdirku? Aku malu, Mas. Aku malu.” Adryan kembali mengulurkan senyumnya. “Nggak papa. Belajar untuk ikhlas dan terima kenyataan. Jangan khawatirkan perkara jodoh. Karena jodoh kita, sudah tertulis namanya jauh sebelum kita terlahir di dunia ini. Bukankah sangat egois, jika kita meminta Tuhan untuk memberikan sesuatu yang tidak ditakdirkan untuk kita? Sabar dan tetap dalam ketaatan. Kejarlah Akhiratmu, niscaya dunia akan berada di dalam genggamanmu. Teguhkan keimananmu. Jangan sampai kamu terbujuk rayu kekasihmu. Jangan pernah tinggalkan Tuhanmu. Jangan sampai kamu ikut disucikan. Jika kalian memang ditakdirkan berjodoh, ajak dia mengenal Tuhanmu. Jadikan dua kalimat syahadat sebagai maharmu. Kalau dia menolak, maka lepaskan. Jangan biarkan sebuah lilin yang indah menyala terlalu lama di genggamanmu, karna lambat laun, lilin itu akan melukai jari-jarimu.” Bintang hanya terdiam. Menatap Adryan penuh pengharapan. “Bantu aku, Mas. Yakinkan aku untuk bisa melepasnya.” “Aku tahu ini berat. Aku tahu seberapa sayangnya kamu padanya. Kamu tidak akan mudah melepasnya. Cintamu terlalu dalam, tapi aku akan coba membantumu. Tidak bisa cepat. Butuh waktu yang panjang untukku agar bisa meluluhkan hatimu. Jangan khawatir, setiap manusia diciptakan untuk saling berpasangan. Jika tidak dipertemukan di dunia, pasti akan dipertemukan di akhirat.” Bintang tersenyum. “Insya Allah.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD