Seusai makan di rumah makan sederhana, Langit dan Bintang pun memutuskan untuk pulang karena hari mulai petang. Dalam perjalanan pulang, mereka asyik membicarakan masa depan.
“Sayang, kalau kita udah nikah nanti, kamu mau punya anak berapa?” tanya Langit. Meski tengah fokus menyetir, Langit ingin sekali membahas masa depannya yang cerah bersama sang kekasih. Ia sudah tidak sabar, membayangkan momen itu tiba. Momen di saat Bintang kerepotan mengurus buah cinta mereka. Momen di mana Bintang mengeluh dan mengomel karena kewalahan saat anak-anaknya berebut kasih sayang mamanya. Pasti ekspresi Bintang terlihat sangat lucu dan menggemaskan. Membayangkan itu, bibir Langit tergelitik untuk menyunggingkan senyum.
Bintang melirik Langit sekilas, sebelum mengarahkan fokusnya lagi ke depan. “Aku sih maunya dua. Sesuai anjuran pemerintah, dua anak cukup. Tapi, kalau bisa cowok sama cewek, kan, comel.” Bintang tersenyum membayangkan hal itu benar-benar terjadi padanya suatu saat nanti.
“Berarti, kalau anaknya cewek atau cowok semua, bisa nambah lagi dong, sampai dapet cewek cowok?” sergah Langit cepat.
Bintang memutar bola matanya. Ia pun memprotes ide ngawur Langit. “Enak aja! Itu sih mau kamu."
Langit terkekeh. "Kan, lucu, Yang?"
"Ya, gak gitu juga konsepnya!” gerutu Bintang.
“Kenapa nggak empat aja? Biar rame. Kan, seru kalau punya anak banyak.” Langit menyunggingkan senyumnya lebar-lebar. Belum apa-apa saja, hatinya sudah tergelitik untuk menertawakan Bintang yang pasti akan melakukan aksi protes. Ekspresi sang kekasih yang cengo, membuat Langit semakin gemas.
“Empat? Nggak kurang banyak?” Bintang membeo dengan tatapan polosnya.
Setelahnya, Langit tak bisa membendung tawanya. Lepas begitu saja.
“Kok malah ketawa?" cicit Bintang, kesal mendengar tawa milik Langit.
“Ya, aku maunya empat pokoknya. Kan, lucu lihat kamu teriak- teriak minta tolong ke aku buat jagain anak-anak. Lihat kamu ngomel-ngomel waktu diganggu anak-anak kita. Kamu kebingungan pas mereka minta dikelonin barengan. Ah, aku jadi gak sabar, Bintang," kelakar Langit disusul dengan tawa yang meledak di akhir kalimat.
Bintang mendengarnya tersenyum, seraya bergidik ngeri. Namun, tak menutup kemungkinan bahwa tawa milik Langit menjadi candu di kedua telinganya.
“Dua aja ya?” bujuknya pada Langit.
“Gak mau! Aku maunya empat. Kamu nggak kasihan sama aku yang cuman anak tunggal ini? Jadi, anak tunggal itu nggak enak tau. Hidupnya selalu kesepian. Meskipun, apa-apa selalu diturutin, tapi rasanya hampa. Dari kecil, aku pengen punya keluarga yang banyak, biar rumah jadi rame gitu. Nggak sepi. Pas udah gede, aku bayangin punya anak-anak banyak, rame jadinya. Kalau istri, cukup satu aja nggak papa, tapi kalau diizinin, banyak juga boleh. Hehe ...,” kilah Langit agar Bintang mau menuruti keinginannya memiliki empat orang anak.
Namun, ternyata hal itu membuat Bintang melotot tajam pada Langit. “Kalau mau istri banyak, nikahnya jangan sama aku!”
Langit tertawa pelan. “Ya, lagian, nggak mau kasih anak banyak.”
Bintang menarik napas panjang, berusaha memberi pemahaman pada Langit. “Bukan gitu, tapi empat anak itu banyak. Terus, brojolinnya gimana coba?” Belum apa-apa, Bintang sudah merasa ngilu. Tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi.
Seringai jahil terbit dari kedua sudut bibir Langit. Ia melirik Bintang sekilas lalu berkata, “Kita produksi tiap tahun. Bikinnya setiap hari, tapi finishingnya setahun sekali. Gimana? Oke, ‘kan? Kalau gagal, kita ulangi sampai berhasil.”
Jawaban Langit membuat Bintang bergeming. Ingin sekali ia meneriaki om jahilnya ini. Namun, urung mengatakannya. “Enak situ tinggal ngomong doang, gak ikut brojolin! Nggak ngerasain perut begah, tidur nggak nyaman dan perut keram ditendang-tendang. Laki mah enak, tinggal hamilin doang. Terus, udah gitu ada yang sok-sokan mau selingkuh. Tendang aja masa depannya, daripada ngeselin. Nggak tahu diri banget!” Hanya kesewotan yang mampu Bintang utarakan.
Langit kembali mengudarakan tawa kecilnya. “Yang penting, kan, laki-laki itu bukan aku. Mana berani aku duain perempuan sehebat kamu? Yang ada, aku yang bertekuk lutut di bawah kaki perempuan anggun dan cerdas kayak kamu. Cuman orang bodoh yang mau nyakitin hati bidadari sepertimu. Kamu itu istimewa. Cuman boleh dibahagiakan, tidak pantas diduakan, apalagi disia-siakan.”
“Lah, tadi? Bahas-bahas poligami!” sindir Bintang.
Langit bergumam pelan. “Aku bercanda, Sayang. Lagian, kan, aku yang jamin masa depan mereka. Aku bertanggung jawab loh. Jadi, kamu nggak perlu mikirin itu.”
Sebuah kewajiban. Tentunya Langit pasti akan bertanggung jawab akan masa depan anak-anaknya. Tak hanya sang anak nantinya, tetapi juga istri dan rumah tangga yang ia bangun dengan sekuat tenaga. Langit tentu akan mengerahkan seberapa besar kekuatan yang ia miliki demi keluarga kecilnya.
“Orang tua mana sih yang gak mikirin masa depan anak-anaknya? Dari mereka bayi, tumbuh remaja, hingga menjamin pendidikannya sampai lulus perguruan tinggi, menghantarkan anak-anaknya sukses sampai mereka berjumpa dengan takdir hidupnya yaitu jodoh masing-masing. Semua orang tua, ya, mikirin itu, apalagi seorang ibu.” Bintang terlihat amat serius mengutarakan kekhawatirannya.
“Kamu nggak percaya kalau aku mampu menjamin masa depan mereka? Aku sanggup, Bintang. Aku mampu!” tandas Langit begitu yakin. Saat ia sudah berani menyanggupi, maka ia akan membuktikan ucapannya. Mengingat bahwa perkataan yang lolos dari bibirnya adalah bentuk janji yang di kemudian hari menjadi utang untuk ia buktikan.
Bintang terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Jelas saja Bintang percaya kalau Langit mampu menjamin masa depan dirinya dan anak-anaknya kelak. Secara, Langit adalah pewaris tunggal dari sebuah perusahaan ternama. Bisnisnya ada hingga manca negara. "Iya, deh, iya. Terserah Om aja. Mau dua, mau tiga, mau empat, suka-suka dah.”
Pada akhirnya Bintang menyerah. Ia mengalah, karena percuma saja, jika berdebatnya musuh Langit, ia pasti akan kalah. Laki-laki itu punya banyak cara untuk membuat Bintang tak bisa berkutik.
“Kalau terserah aku, aku mau tujuh boleh dong berarti?” seloroh Langit membuat Bintang refleks memukul lengan kekarnya.
“Nggak usah ngelunjak!” tandas Bintang.
“Aduh, sakit, Yang. Aku lagi nyetir ini, loh, kok malah dipukul,” keluh Langit dengan wajah cemberutnya.
“Ya, lagian, kamu bikin orang kesal aja kerjaannya. Kurang kerjaan banget!” Bintang semakin sewot. Ia melipat kedua tangannya di atas perut.
“Ya, namanya juga usaha. Moga aja berhasil.” Langit memonyongkan bibir sambil memelas.
“Nggak usah sok melas, kamu! Kalau mau anak tujuh, hamil aja sendiri,” ketus Bintang, lalu membuang muka ke arah jendela mobil.
“Kalau aku yang hamil, terus siapa yang hamilin kamu, Sayang?” timpal Langit berniat menggoda.
Lagi-lagi Bintang tercengang dengan jawaban yang Langit berikan. Bintang mendelik tajam pada sang kekasih. Sepersekian kemudian, ide jahil tiba-tiba bertebaran di otak. Dengan seringai jahil, Bintang pun membalas celotehan Langit. “Sama temanmu juga boleh, Om.”
“Eh, wong ediyan, pekok, ora genep, ora jangkep! ” maki Langit dengan bahasa Jawanya.
Di sampingnya, terlihat Bintang yang sudah terbahak tak mampu menahan tawa. “Ini nih, yang ditunggu. Kata-kata mutiaranya keluar. Saya suka, saya suka,” ledek Bintang sambil menirukan gaya bicara Mei-Mei pada salah satu kartun anak, produksi negara tetangga.
Langit mengacak rambut Bintang gemas. Sebelum mengenal Bintang, Langit tak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini. Namun, setelah Bintang hadir dalam hidupnya, kebahagiaan tak pernah berhenti menyelimuti hari-harinya yang sempat kelabu. Entah kemampuan supranatural apa yang Bintang miliki, sampai hal sederhana seperti ini membuat Langit merasa jika dunianya benar-benar indah.
“Bintang, kamu mau gak aku kenalin sama keluarga aku? Aku pamerin jadi calon menantu mama sama papa, dan aku pinta menjadi calon ibu dari anak-anak aku?” tanya Langit sungguh-sungguh. Ia benar-benar yakin untuk melabuhkan hatinya pada Bintang. Langit pun tidak sabar untuk segera meminang Bintang menjadi istrinya.
Bintang membuka mulutnya lebar-lebar. Sedetik kemudian, ia mengangguk antusias. “Mau, mau banget. Kapan?”
“Sabar ya, nunggu hari Natal tiba. Nanti aku ajak ke rumah,” jawab Langit.
Bintang mengernyit bingung. “Kok nunggu hari Natal? Kalau hari lain emang kenapa?”
Langit menoleh pada Bintang sekilas. Sedetik kemudian, ia fokus melihat arah depan lagi, mengingat jika dirinya masihlah menyetir. “Ya, kalau hari biasa, keluargaku nggak lengkap, Bintang. Mereka ngumpulnya kalau lagi Natal. Keluargaku pulang ke rumah inti buat ngerayain hari itu rame-rame,” papar Langit begitu ia melihat kebingungan di wajah Bintang.
Bintang semakin dibuat Bingung. Apa maksud Langit dengan merayakan Natal rame-rame? Mungkinkah?
Dengan ragu, Bintang memberanikan diri untuk bertanya. Rasa penasarannya lebih besar dari rasa takutnya, meski Bintang juga takut akan jawaban Langit sama dengan apa yang ada di kepala Bintang. Namun, ia tidak bisa menduga-duga sebelum menanyakan langsung pada Langit.
“Kamu non muslim, Om?” Entah mengapa, pertanyaan itu lolos keluar begitu saja dari mulut Bintang. Meski dalam hati ia sedikit was-was.
Kekehan kecil terdengar dari kedua sudut bibir Langit. “Ya, kan, aku Nasrani, Bintang. Gimana, sih?”
Bintang terdiam membisu. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bagaimana mungkin dirinya dan Langit bisa bersama? Sementara tembok keyakinan yang menjulang tinggi, menghalangi penyatuan keduanya?
Impian Bintang pupus. Bayangan-bayangan indah masa depan yang cerah bersama Langit, harus berakhir sampai di sini. Tak mungkin Bintang mengkhianati Tuhan demi kekasih dunianya. Bintang takut Tuhan marah, Bintang takut Tuhan murka. Apa Bintang harus mengatakan kejujuran ini pada Langit? Apa Langit mau memperjuangkan dirinya?
Melihat Bintang yang terdiam, Langit menyadari sedikit keanehan pada gadis itu. Langit pun heran dengan perubahan sikap Bintang. “Kenapa Bintang? Ada yang salah?”
Bintang menggeleng pelan. “Gak papa kok,” ujarnya berdusta. Bagaimana mungkin semua bisa baik-baik saja, saat kesetiaan pada Tuhan yang dipertaruhkan?
Untuk menghilangkan rasa pusing di kepalanya, Bintang memijat pelipisnya pelan.
Langit tersenyum kecut. Ia semakin terheran dengan perubahan sikap Bintang yang tiba-tiba. Langit menarik tangan Bintang dan membawa tangan itu ke dalam pangkuannya. “Ada apa Bintang? Bilang sama aku. Kamu nggak pandai berbohong, Bintang.”
Bintang menoleh sekilas pada Langit. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu ia memejamkan mata sejenak. Seperti tidak sanggup mengatakan kebenaran ini. Namun, Bintang harus mengatakannya. Langit harus tahu kebenaran ini. Cepat atau lambat, Langit pasti akan tahu. Jadi, percuma saja di tutup- tutupi.
“Om?” panggil Bintang.
“Iya, Sayang?” sahut Langit tanpa melihat gadis itu.
“Aku islam.”
Berikutnya, suara decitan ban mobil yang bergesekan dengan aspal, terdengar begitu keras. Langit yang tiba-tiba mengerem mendadak, membuat tubuh keduanya terpental ke depan.
Akibat benturan keras dengan setir mobil, kening Langit membiru. Tidak peduli dengan rasa sakit yang ia rasakan di pelipisnya, Langit tercengang masih tak percaya.
Seperti gemuruh petir yang menyambar di siang bolong, untuk beberapa saat, Langit bergeming tanpa suara. Ia tidak sanggup mengatakan hal apapun. Sungguh, ia masih tidak percaya dengan ini semua. Langit mencoba tertawa, menampik segala kebenaran yang Bintang utarakan. Ia mengeluarkan tawa sumbang, dan berharap jika ini hanyalah lelucon tak berbobot yang Bintang lakukan untuk mengerjai dirinya. Namun, melihat tatapan kekecewaan dan kesedihan di mata Bintang, sepertinya gadis itu tak main-main. Ada luka tersembunyi di balik tatapan gadisnya. Sama seperti dirinya yang terluka mendengar pernyataan Bintang yang begitu mengejutkan.
“Bintang, tolong bilang sama aku, kalau ini cuman bercanda, ‘kan? Sumpah, ya, Bintang, bercandamu nggak lucu, tau, gak?! Jangan main-main soal agama, Bintang! Aku nggak suka!”
Bintang menggeleng pelan. Tatapannya semakin sendu. “Aku nggak bohong, Langit. Ini kebenarannya. Aku memang terlahir dari keluarga pemeluk tasbih. Aku muslim, Langit. Aku muslim! Ya, aku akui, aku memang belum jadi muslimah yang taat. Aku belum berhijab sepenuhnya, tapi aku begitu mencintai Tuhanku. Allah subhanahu wa ta’ala.”
Untuk pertama kalinya, Bintang berani memanggil Langit hanya dengan nama saja, tanpa embel-embel apa pun seperti sebelumnya.
“Apa buktinya, Bintang? Apa!” Suara Langit terdengar begitu kacau. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, jika hubungannya dan Bintang akan dibentangi jalan seterjal ini.
“Bentar!”
Bintang merogoh kantong tasnya. Di dalam tas itu, terdapat dompet yang berukuran lebih kecil dari tas selempang yang ia kenakan. Bintang mengeluarkan dompetnya, lalu membukanya perlahan. Saat dompet terbuka dengan sempurna, terdapat kartu kecil berwarna biru, yang sepertinya itu adalah sebuah kartu identitas kependudukan milik Bintang. Bintang pun menyerahkannya pada Langit. “Ini KTP-ku. Kamu bisa membacanya.”
Langit menerima KTP milik Bintang dengan tangan gemetar. Perlahan, ia mulai membaca tulisan yang tertera di sana. Mulai dari nama, tanggal lahir, alamat, hingga yang tertera di kartu itu membuat Langit merasakan gemuruh sesak di hatinya. Kata Islam tertera dengan begitu jelas di sana. Langit menarik napasnya dalam-dalam. Ia biarkan tubuhnya melemah dengan sandaran kursi kemudi di belakangnya. Langit menutup matanya rapat-rapat. Setetes cairan bening, lolos keluar dari sudut matanya.
Dihapusnya air mata itu kasar. Setelahnya, ia kembali membuka mata. Ditatapnya mata Bintang lekat-lekat, setelahnya ia berkata, “Bintang, kamu beneran Islam?” tanya Langit dengan suara yang terdengar begitu parau.
Bintang mengangguk pelan. Tak terasa, air matanya menetes membasahi pipi. “Iya, Langit. Aku muslim,” jawab Bintang dengan suara tak kalah parau.
Langit memijat pelipisnya yang terasa begitu berat.
“Langit, apakah hubungan kita-”
“Tolong jangan bahas ini sekarang, Bintang! Tolong kasih aku waktu! Aku ingin bersama kamu lebih lama lagi. Lupakan soal perbedaan ini. Kita jalani dulu, ya, Bintang? Tunggu aku pulang ke rumah. Aku akan bicarakan ini sama Mama. Aku mohon, jangan bahas soal ini dulu.”
Langit menarik tubuh Bintang ke dalam pelukannya. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher gadis itu. Bintang bisa merasakan pundaknya basah. Langit menangis.
Bintang pun membalas pelukan Langit tak kalah erat. Mencoba menenangkan kekasihnya dengan mengelus punggung lebar milik pria itu. “Kita jalani dulu. Sudah, jangan nangis. Aku nggak bisa lihat kamu rapuh seperti ini, Om. Mana Langitku yang galak? Mana Langitku yang tegas dan keras kepala?”
“Aku belum siap kehilangan kamu, Bintang. Aku nggak bisa kehilangan kamu. Aku nggak mau! Aku udah bayangin kehidupan yang indah sama kamu, aku udah rencanain masa depan kita. Punya anak-anak yang lucu, menua bersama dan semuanya.” Langit semakin mempererat pelukannya.
“Akan ada jalan keluarnya,” jawab Bintang. “Entah itu bersama atau pisah. Putus atau terus. Bertahan atau melepaskan,” lanjutnya lagi. Namun, kali ini hanya terucap di dalam hati. Karena Bintang tidak mampu melihat Langit semakin hancur.