12. Waktu Satu Bulan

2124 Words
Setelah mengantar Bintang pulang, Langit pun langsung bersiap. Ia harus terbang ke Jakarta untuk menangani proyeknya yang bernilai fantastis. Mau tidak mau, Langit sendiri yang harus mengawasi kinerja para pekerjanya, agar semua bisa berjalan sesuai yang diinginkan. Dirinya tidak ingin terjadi kesalahan sedikit pun. Langit menghampiri Lenny yang sedang duduk manis di ruang keluarga, sambil membaca majalah fashion di tangannya. Setelahnya, ia mendudukkan diri di samping sang mama. “Ma,” sapa Langit. Lenny menoleh, “Apa, Sayang?” jawabnya sambil menaruh majalah yang sedari tadi menjadi fokusnya. Majalah pun tergeletak di atas meja. “Ma, Langit habis ini mau terbang ke Jakarta. Ada sedikit kerjaan di sana,” terang Langit membuat mamanya menjadi sedih. Matanya yang sendu menatap manik mata Langit lekat-lekat. “Baru juga sehari di rumah. Sudah pergi lagi,” protes Lenny. “Apa sih, Cintaku, Sayangku? Sini, cium dulu.” Langit mencium pipi Lenny dengan lembut. Lenny menahan senyumnya. “Eh, nggak ding, Mama kan cintanya Papa. Entar Papa ngamok,” goda Langit membuat Lenny mencebikkan bibirnya. Kejahilan sang anak benar-benar nurun dari suaminya. “Dasar anak kurang ajar! Kenapa kamu bawa semua sifat Bapak kamu, hemmm?!” maki Lenny. Sifat anaknya ini memang persis seperti Bapaknya. “Leh, kalau mirip tetangga ya Papa ngamok, Ma. Namanya juga anaknya. Kalau mirip tetangga, itu yang nggak wajar. Mama gimana sih?!” Mendengar jawaban Langit, Lenny menggelengkan kepala. “Astaga, Langit! Bisa darah tinggi Mama lama-lama sama kamu.” “Mama kebiasaan ih. Tadi ngomel-ngomel pas Langit bilang mau pergi, sekarang ngamok. Mama labil ih, kek cewek.” Entah dosa apa Lenny melahirkan anak seperti Langit. Jahilnya sudah tidak ada obat. Eits. Tapi tidak semua orang bisa tahu sifat Langit yang seperti ini. Hanya orang-orang yang Langit sayang saja. Tidak sembarang orang bisa mendapatkan perlakuan jahil dari Langit. Karena Langit cenderung acuh dan tidak perduli dengan urusan orang lain. “Lah terus, maksud kamu Mama cowok gitu? Kalau Mama cowok, kamu nggak bakal lahir, tuyul! Oh, iya, Mama lupa. ‘kan dulu kamu meletus dari balon, terus Mama temu,” balas Lenny. Kalau melihat Lenny seperti ini, jadi bingung sifat Langit nurun dari siapa? “Mama durhaka, ih. Nggak mau akuin anak sendiri.” Langit pura-pura merajuk. Ia lakuin semua ini agar mamanya tidak sedih. Jujur, Langit juga masih ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi bersama Lenny, tapi bagaimana lagi kalau pekerjaannya sudah menuntutnya untuk pergi. “Hemmm ...,” gumam Lenny pelan. “Kamu di Jakarta berapa hari, Sayang?” tanya Lenny. Langit merangkul Mamanya. “Satu bulan, Ma.” Langit merasakan pancaran kesedihan di mata Lenny. ‘Hemmm ... ya sudah. Selama kamu di Jakarta, kamu coba yakinin Bintang ya? Mama sebenarnya suka sama anak itu. Dia sopan, kalem dan sederhana. Sepertinya lembut dan penuh kasih sayang. Anaknya keibuan banget, siapapun yang jadi anak Bintang nanti, pasti beruntung banget. Tapi Mama nggak bisa terima keimanan dia. Coba kamu bujuk dia lagi.” Lenny memberi kesempatan pada putranya sekali lagi. Langit terdiam. “Langit sih, maunya anak-anak Langit, Ma, yang terlahir dari rahimnya Bintang.” “Udah, kamu coba dulu. Kalau dia mau, Mama sendiri yang langsung lamarin kamu buat dia. Kalau dia nggak mau, Mama minta maaf, kamu harus ikut Mama buat ketemu sama keluarganya Selin,” ujar Lenny tak main-main. Langit mengernyit bingung. “Bertemu keluarganya Selin?” ulang Langit pada ucapan mamanya. Dirinya tak mengerti apa maksud sang mama. “Iya, kita temuin keluarga Selin buat lamar Selin untuk kamu. Nggak ada pilihan lain, Langit. Umur kamu sudah 29 tahun. Mama nggak mau kamu jadi tua tanpa seorang istri.” Langit mengacak rambutnya frustasi antara kesal dan marah. “Tapi Langit nggak suka sama Selin, Ma! Langit cuman bisa anggap Selin sebagai adik. Nggak lebih!” bantah Langit geram. “Mama nggak peduli. Daripada kamu nggak nikah-nikah, Mama takut kamu kebujuk Bintang buat ikut pindah di agamanya. Mama kasih kamu waktu. Kalau pulang dari Jakarta, kamu tidak bisa buat Bintang masuk dari bagian keluarga kita, kamu harus nikah sama Selin. Dengan atau tanpa persetujuan dari kamu, Mama tetap akan lamar Selin buat kamu.” Keputusan Lenny mutlak. Tidak ada yang bisa membantahnya. “Langit nggak peduli. Langit berangkat sekarang!” Langit langsung bangkit dari duduknya. Ia mencari sopir keluarga untuk mengantarnya ke Bandara. Langit tidak ingin mengendarai mobilnya sendirian. Pikirannya saat ini sedang kacau tak terkendali. Di dalam mobil, Langit langsung membuka room chat WhatsAppnya dengan Bintang. Dirinya tidak ingin mengingat pembahasan mamanya barusan. Ia ingin melupakan sejenak masalahnya. Masih satu bulan. Dalam satu bulan, semoga Bintang bisa luluh. Langit: Sayang, lagi apa? Satu pesan terkirim untuk Bintang. Tak lama, dua centang abu menjadi biru. Bintang pun mengetikkan sesuatu. Ting. Pesan masuk dari Bintang. Bintangku: Ini lagi santai. Pegel banget badanku. Bintangku: Kamu udah sampai kan, Mas? Dibacanya pesan chat dari sang pujaan hati. Langit: Udah, Sayang. Tapi ini aku langsung perjalanan lagi. Tak lama, balasan dari Bintang masuk lagi. Bintangku: Perjalanan ke mana? Bintangku: Kalau berkendara jangan main ponsel. Bintangku: Lanjut nanti aja chat-nya. Bintangku: Fokus nyetir aja dulu. Langit tersenyum karena gadisnya bawel. Bintang kalau seperti ini, jadi persis seperti mamanya. Semoga saja, kedua wanita itu bisa dimilikinya. Langit: Nggak usah bawe! Langit: Jangan sok tahu! Langit: Ini ada sopir yang nyetir mobilnya. Bintangku: O. Bintangku: Ya udah, hati-hati. Bintangku: Mau pergi ke mana lagi, emang? Langit: Ke Bandara. Aku mau berangkat ke Jakarta. Bintangku: Hah? Habis dari Malang, terus ke surabaya, habis itu antar aku pulang ke Lamongan, sekarang mau OTW jakarta? Nggak remuk Pak itu badan? Langit; Capek, Bintang. Keluh Langit melalui pesannya. Bintangku: Sini, aku peluk (emote peluk) Langit: Ogah, nggak berasa! Bintangku: Mau dipijitin? Sini .... Langit tersenyum. Dengan Bintangnya, ia bisa sedikit melupakan masalahnya. Langit: Sini. Pijitin adikku yang bawah. Tidak sampai dua detik Langsung dapat balasan dari Bintang. Bintangku: Leh, kumat! Bintangku: Minumo obat! Bintangku: Obatmu habis ta, Mas? Bintangku: Beli dulu sana. Mampir apotik! Bintangku: Buruannnn! Langit terkekeh. Tawanya begitu lepas. Ia tidak menghiraukan keberadaan sopirnya. Langitku: Biasa aja! (Emote tertawa terbahak) Bintangku: Muesti nggak juelas kamu itu. Bintangku: Aku tinggial ngetik dulu. Bintangku: Naskahku Banyak. Langit: Ya udah, buruan ngetik. Entar malem mau aku ganggu soalnya. Bintangku: Heleh, kebiasaan. Langit: Ya biar. Langit: Aku udah mau sampai bandara. Langit: Nanti aku chat lagi kalau sudah sampai. Bintangku: Iya. Lagit hanya membaca pesan terakhir dari Bintang. Dimasukkan benda pipih itu ke dalam jas mahalnya. Sesampainya di bandara, Langit langsung menemui Siska, sekretaris pribadinya. “Semuanya sudah siap, Siska?” tanya Langit memastikan. Ia tidak ingin semuanya mengalami kendala. “Sudah, pak. Tiket dan segala keperluan Pak Langit sudah disiapkan. Langit tersenyum samar. “Kerja bagus.” Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya pesawat pun take off. Pesawat Landing di jakarta pukul 19. 00 WIB. Langit pun menunggu jemputan di Bandara. Tak sengaja, netranya bersitatap dengan seseorang yang tidak ingin ditemuinya lagi. Namun sayangnya, seseorang yang tak sengaja Langit lihat malah berjalan mendekat menghampiri dirinya. ‘Hai, Langit. Apa kabar?” sapa Alena. Ia sudah bersiap untuk bercipika-cipiki dengan Langit. Tapi Langit menghindarinya. “Baik Nona Alena,” jawab Langit dengan senyum kecutnya. Alena mendudukkan dirinya di samping Langit, membuat Langit terpaksa menggeser duduknya agar tidak terlalu dekat. “Wah, tidak menyangka aku bisa ketemu kamu lagi di sini. Ini kamu mau balik, apa baru sampai?” tanya Alena basa-basi. “Baru sampai,” ujar Langit acuh. Kenapa Alena tidak peka sih? Langit itu risih dengan perempuan yang agresif seperti ini. “Pak Langit, jemputan kita sudah tiba. Pak Langit bisa Langsung beristirahat setelah tiba di apartemen.” Langit menarik napasnya lega setelah Siska memberitahukan, jika jemputan yang sedari tadi di tunggu sudah tiba. Langit menyuruh siska membawa barangnya. “Saya mau langsung istirahat, Siska.” Langit beralih menghadap Alena. “Maaf, Nona Alena, saya harus permisi dulu. Alena tersenyum getir. “Baik, Langit. Semoga harimu menyenangkan. Nanti aku hubungi. Barangkali, bisa ngopi bareng, atau sekedar jalan menikmati kota Jakarta bersama.” Langit pun tersenyum. Senyum tipis yang begitu samar. “Silakan, tapi saya tidak bisa berjanji. Saya datang ke sini karena ada urusan pekerjaan, bukan liburan. Jadi, waktu saya tidak seluang itu.” “Iya, nggak papa kok.” Lagi-lagi, penolakan yang Alena terima. “Permisi Nona Alena.” Langit pun berjalan, meninggalkan Alena yang mematung di tempatnya. Setelahnya diikuti oleh Siska. “Permisi, Nona,” ujar Siska sebelum ia berlalu dari hadapan teman bosnya itu. Sementara di tempatnya, Alena jingkrak-jingkrak mengeluarkan rasa kesal. Kenapa begitu sulit mengambil hati Langit? Padahal, seumur hidupnya, tidak ada satu laki-laki pun yang sanggup menolak pesonanya. Oke, Alena tidak akan menyerah. Dirinya tetap kukuh mendapatkan hati seorang Langit Aldebaran Putra. CEO dingin yang pesonanya membuat perempuan banyak yang penasaran. *** Sesampainya di apartemen pribadinya, Langit langsung membersihkan diri. Memanjakan tubuhnya yang lelah dengan sentuhan air hangat. Setelah beberapa lama, akhirnya ia keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang lebih santai. Langit langsung merebahkan dirinya di atas ranjang apartemen. Dihempaskan tubuh kekarnya sampai terdengar suara pantulan dirinya dan ranjang. Langit meraih ponselnya yang sedari tadi ia anggurkan. Tertulis di notifikasi 3 pesan dari nomor asing. Langit pun tertarik untuk membacanya. +62 xxx xxxx xxxx : Langit, ini aku Alena. +62 xxx xxxx xxxx : Simpan nomorku ya? +62 xxx xxxx xxxx : BTW, kamu lagi apa? Untuk membalasnya, Langit tidak tertarik. Dan ia pun hanya membalas sekenannya. Langit: Iya, Alena, sudah saya simpan kontak kamu. Langit memberi nama kontak Alena dengan nama Nona Alena. Tak lama, balasan dari Alena masuk. Namun Langit tidak tertarik untuk membacanya. Dibiarkan pesan itu, karena dirinya lebih tertarik dengan satu room chat yang diberi tanda paku dengan nama Bintangku. Melihan Bintangnya online, tangan Langit langsung gatal untuk mengetikkan sesuatu di ponsel mahalnya. Langit: Bintang. Tak lama, balasan chat masuk dari Bintang. Bintangku: Dalem. Langit: Sayangnya mana? Bintangku: Dalem, Sayang. Bintangku: Gitu? Tanpa basa-basi, Langit langsung menekan tombol video call di sana. Tak lama, sambungan mereka terhubung. Seketika, wajah Bintang menghiasi layar ponsel milik Langit. Bintang terlihat imut dengan rambutnya yang dicepol. “Hai,” sapa Langit dengan senyum lebarnya. “Hai, udah sampai?” tanya Bintang di seberang sana. Langit mengubah kameranya menjadi kamera belakang. Ia pun mengedarkan ke segala arah. “Udah, ini aku rebahan. Capek banget,” keluh Langit. Langit kembali mengubah kameranya menjadi kamera depan. “Ya udah, kalau capek bobok. Istirahat. Jangan begadang biar nggak drop.” “Iya, boboknya temenin tapi.” Langit terlihat begitu manja. “Iya, ya udah, kamu merem,” perintah Bintang. Langit memejamkan matanya. “Bintang,” panggil Langit. “Dalem,” sahut Bintang. “Aku tadi ketemu sama temen aku yang di pesta dulu itu loh, yang aku Bilang dia mau godain aku,” ujar Langit curhat. Bintang mencoba untuk mengingatnya. Namun dirinya sama sekali tidak ingat. “Yang mana sih?” tanya Bintang jujur. “Yang pas kita teleponan itu loh, Bin!” geram Langit. “Oh, yang di Singapura itu?” ucap Bintang yakin. “Betul.” “Kenapa lagi dia? Gatel lagi sama kamu?” ujar Bintang sedikit sewot. “Aku tadi nggak sengaja lihat dia di bandara, eh dianya juga lihat aku, padahal aku males banget ketemu dia. Sekarang dia ngechat aku minta nomernya di save.“ “Terus, kamu save?!” tandas Bintang. “Ya iya, mau gimana lagi? Terus dia WA ngajak ngopi bareng gitu, tapi nggak aku buka WAnya. Nggak tertarik aku. Bentar, aku kirim SS chatnya sama kamu.” Langit pun mengirim bukti screenshoot. Bintang membaca pesan dari Alena. Bintang tersenyum puas. “Ngapain senyam-senyum?” Bintang lupa kalau ini adalah video call, bukan panggilan biasa. Bintang langsung menggeleng. “Nggak, nggak papa.” Dalam hati, Bintang bersyukur. Jarang ada lelaki seperti Langit, yang setiap dideketin perempuan, Langit selalu melapor pada Bintang. Itu yang membuat Bintang merasa begitu istimewa. “Kamu udah makan, Bintang?” tanya Langit. “Nanya doang nggak kasih beras, ngapaen?” sewot Bintang. “Leh, kalau aku di sana, tak ajak makan sepuasmu, tak beliin sama gerobaknya, bakulnya sekalian, angkut!” Bintang terkekeh, “Udah, aku udah makan.” “Makan pakai apa?” “Pakai mulut,” jawab Bintang. “Nyosor-nyosor gitu, kayak bebek?” “Kamu itu loh, ngeselin banget ih!” kesal Bintang. “Ya kamu itu, orang aku nanya bener-bener jawabnya gitu. Minta di cipok emang.” Bintang memanyunkan bibirnya. “tuh, tuh, bibirnya manyun-manyun gitu,” “Dah, bobok yok, bobok.” Bintang berusaha mengalihkan topik pembicaraan. “Dih, mengalihkan pembicaraan," tandas Langit. “Udah, merem ayo!” “Iya, ini merem.” Langit dan Bintang sama-sama memejamkan matanya. Tak lama, terdengar suara dengkuran halus pada keduanya. Langit dan Bintang pun terlelap dalam mimpi masing-masing. Entah berapa lama sambungan menyala hingga baterai telepon Bintang habis. glodak! "Astagfirullah!" Bintang terlonjak kaget saat ponselnya terjatuh. "Lho ... kok nggak nyala?" ucapnya dengan kesadaran tidak penuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD