Bab 1

1022 Words
"Tunggu! Maaf sebelumnya, apa Anda CEO perusahaan ini?" tanya seorang wanita yang baru saja masuk setelah dipersilahkan. Bahkan ia belum sempat duduk. Pras mengangguk dengan santai. Menerima keterkejutan dari calon sekretarisnya merupakan hal biasa. Wanita itu menelan saliva. Berulang kali matanya mengerjap seraya menggelengkan kepala berharap semua ini adalah mimpi. Namun, setelah sadar ini kenyataan, ia memejamkan matanya untuk meyakinkan hati. "Maaf, saya mengundurkan diri," ucapnya seraya mundur teratur kemudian berbalik begitu kaki telah menyentuh daun pintu. Pras hanya mengedikkan bahu tak peduli. Hal ini kerap terjadi, calon sekretarisnya mengundurkan diri bahkan sebelum training dilakukan. Bukan karena Pras yang terlihat garang, tapi justru karena ia jauh dari ekspektasi mereka. Pras berpenampilan kolot dan kampungan. Pria berkacamata tebal itu kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti karena kedatangan calon sekretaris pilihan Dion, sahabatnya. Walau terlihat udik, Pras merupakan seorang CEO yang terpercaya. Dalam kendalinya, perusahaan manufaktur makanan dan minuman yang semula perusahaan kecil kini berkembang menjadi sebuah badan usaha perseroan terbatas (PT). "Lagi!?" tukas seseorang yang tak lain adalah Dion. Dia masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, lalu menghampiri Pras dengan napas yang memburu. Pras hanya menoleh sekilas, kemudian matanya kembali fokus pada layar monitor di depannya. Sedangkan Dion yang frustrasi hanya menjatuhkan dirinya ke atas sofa seraya menggasak kepalanya. "Pras, tolong untuk saat ini, kamu ubah penampilanmu!" tegas Dion. "Untuk apa?" tanya Pras masih tak peduli. "Hei, ini sudah yang ke berapa kali? Lima? Tujuh? Ah, sepuluh? Mereka semua mundur karena bosnya di luar ekspektasi!" "Apa salahku? Mereka yang salah! Sebetulnya mereka itu cari kerja apa cari bos ganteng?" "Salah dong, Pras! Tetap saja penampilan nomor satu. Kalau punya CEO cakepan dikit, setidaknya mereka bisa refresh di saat pening dengan segudang pekerjaan!" "Hei, apa aku tidak rapi dalam berpakaian? Atau penampilan wajah? Aku sudah berusaha menggunakan pakaian serapi mungkin sebelum berangkat kerja, Yon. Jadi jangan paksa aku berubah!" Dion mendengus kesal. Tangannya memijat pelipis yang terasa nyeri. Kemudian ia kembali ke luar meninggalkan Pras. Dion merupakan sekretaris sekaligus sahabat Pras sejak lama. Ia sudah bekerja bersama kawannya itu lebih dari lima tahun. Saat ini, ia memutuskan untuk berhenti karena beberapa bulan ke depan ia akan menikahi kekasihnya yang merupakan putri dari seorang presiden direktur dari perusahaan lain. Sebagai pria yang dipercaya ayah mertuanya, ia akan diposisikan di perusahaan tersebut dengan jabatan yang tinggi. Tentu saja, hal itu sangat didambakan oleh Dion. Lagi pula, jika telah menikahi putri presiden direktur tapi ia masih menjadi sekretaris Pras, tentu ini akan menjadi sebuah cemoohan rekan kerja ayah mertuanya. Oleh karenanya, Dion dengan mengerahkan seluruh tenaganya mencari pengganti untuk mendampingi Pras sebelum dia menikah nanti. Akan tetapi yang terjadi saat ini, sudah banyak yang datang melamar kerja tapi mereka mengundurkan diri begitu melihat bagaimana tampang bosnya. Sebetulnya, Pras ini memiliki wajah yang cukup lumayan. Alisnya tebal berwarna hitam, hidungnya mancung, serta memiliki dagu yang terbelah dua. Hanya saja, ia berpenampilan sangat kolot. Kemeja yang digunakannya merupakan kemeja keluaran tahun 90-an. Dia bilang itu semua merupakan peninggalan ayahnya sebagai kenangan. Rambutnya disisir rapi membelah di bagian tengah kepala. Lengkap dengan kacamata tebal karena memang sejak kecil ia memiliki penglihatan yang buram. Sering sekali ia menjadi bahan ghibah para karyawannya di belakang. Atau bahkan kadang beberapa orang melontarkan sindiran dengan sebuah candaan. Namun, semua itu tak berpengaruh sama sekali. Pras mencintai penampilannya sendiri. Dering ponselnya berbunyi tepat saat ia baru saja menyelesaikan pekerjaan. Syurgaku, nama itu yang tertera pada layar. Dialah wanita satu-satunya yang mencintai Pras apa adanya. Tentu saja karena dia adalah ibunya. "Assalamualaikum," sapa Pras dengan cepat sebelum sang ibu yang mengucapkannya. "Wa'alaikum salam, Pras. Sehat?" tanya wanita yang melahirkan Pras dengan lembut terdengar dari seberang telepon. "Alhamdulillah, Bu. Aku sehat. Ibu sehat?" tanya Pras kemudian. "Ibu sehat. Kapan pulang? Ibu rindu." "Insyaallah, minggu ini, Bu." "Ibu tunggu, ya! Nanti ibu buatkan makanan kesukaan kamu!" "Ibu sehat-sehat ya, di sana. Awas jangan lupa makan, nanti asam lambungnya kambuh lagi!" "Wah, putra ibu udah berani ngancam. Iya iya, ibu makan sehari tiga kali, kok sekarang!" "Syukurlah, Bu. Pras akan segera pulang." "Ya sudah, ibu cuma mau tanyakan itu saja. Ibu tutup lagi ya teleponnya. Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam warahmatullah." Pras menghela napas seraya menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Satu tangannya memijat pelipis yang tak nyeri. Jika ibunya sudah menanyakan seperti tadi, itu artinya ia akan membahas soal perjodohan. Memang usia pras sudah cukup matang untuk mulai serius dalam hubungan. Bukan tak ingin melakukan hubungan yang serius, ia hanya belum siap. Saat ini ia sedang mempersiapkan diri untuk masa depannya, tentunya untuk anak dan istrinya kelak. Harta yang dimilikinya saat ini, ia rasa masih belum cukup untuk membahagiakan keluarganya nanti. Itulah sebabnya Pras menundanya, lagi pula ia masih ingin fokus membahagiakan ibunya tersebut. Waktu menunjukkan tepat pukul dua belas siang, sebentar lagi adzan dzuhur berkumandang. Pras segera bersiap menuju mushola, lagi pula ini merupakan jam makan siang. Ia berjalan melewati beberapa karyawan yang bekerja untuknya. Sesekali ia menyapa dengan ramah para bawahannya itu. Namun, bukan timbal balik yang baik didapatkan, tapi justru candaan yang sama sekali tak ingin didengar. "Siang, Pak Pras!" sapa salah satu bawahan yang berpapasan dengannya. "Siang! Jangan lupa sholat, ya!" jawab Pras dengan ramah. Sebagai bos yang taat agama, dia tak pernah berhenti mengingatkan kewajiban tersebut. "Siap, Pak. Itu mah nomor satu," sahut karyawan tersebut. "Bapak juga ya, jangan lupa!" timpal karyawan lainnya. "Oh, tentu saja tidak!" jawab Pras penuh percaya diri. "Maksud saya, jangan lupa ganti penampilan," sambung karyawan tadi diiringi dengan cengengesan kemudian mereka kabur sebelum Pras menanggapi. Pras hanya menggelengkan kepala. Tingkah mereka memang ada saja. Namun, selama itu membuat mereka bahagia dan tidak merugikan siapa pun, Pras tak keberatan. Kebahagiaan tetap nomor satu. Tepat saat ia memasuki mushola, terdengar suara adzan dari luar. Pras segera mengambil posisi setelah sebelumnya berwudhu. Beberapa karyawan yang memiliki pemikiran sama dengannya mengikuti di belakang. Selain sebagai pemimpin di kantornya, Pras kerap menjadi pemimpin saat shalat atau biasa kita sebut sebagai imam. Setelah empat rakaat didirikan, ia duduk bersimpuh terlebih dahulu untuk berdzikir dan berdoa. Yang lain pun melakukan hal yang sama, tapi Pras selalu menjadi yang terakhir keluar dari mushola. Setelah selesai dengan semua doa-doanya, Pras pun segera keluar untuk kemudian mengisi perutnya yang mulai lapar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD