Bab 2

1302 Words
Brakkk! Akhirnya pintu itu berhasil kukalahkan. Menyebalkan sekali sampai tanganku terasa sakit akibat benturan ini. Kamar tampak gelap. Kunyalakan lampu berharap mendapati sosoknya di sana. Namun istriku tidak ada. Putriku pun sama. “Safira? Kamu di mana, Dek?” Kepalaku sudah tidak lagi bisa berpikir harus berbuat apa. Aku berprasangka baik dulu, mungkin Safira sedang menginap di rumah orang tuanya atau pergi ke rumah ibuku. Rasa kantuk dan lelah yang menyerang membuatku kalah dan akhirnya membaringkan tubuhku begitu saja. Aku yakin, Safira tidak akan pergi dariku. Sebelum menikah, kami sudah berjanji untuk saling menjaga dan saling setia. Dia pasti setia padaku dan tidak akan meninggalkanku. Namun ke mana dia? Pertanyaan itu kembali berputar-putar di otakku. Besok ada meeting penting. Aku tidak boleh kesiangan, karenanya meskipun aku benar-benar khawatir terhadapnya maka kuputuskan untuk tidur saja. Besok aku akan mencarinya. Aku terlelap sudah berapa lama, entahlah. Hingga dering pada gawai yang tergeletak tidak jauh dariku membuat kesadaranku tertarik kembali ke dunia nyata. Mataku mengerjap ketika menatap cahaya matahari yang masuk lewat celah jendela kamar yang tirainya sedikit terbuka. Aku menggeliat merenggangkan otot-otot di tubuhku. Lumayan singkat tidurku karena malam aku ‘kan pulangnya kemalaman setelah party bersama rekan-rekan kantorku. “Hallo!” Aku mengangkat panggilan telepon sambil bersandar. Tubuhku masih terasa sangat lelah. “Selamat pagi, Pak! Maaf meeting sebentar lagi dimulai. Bapak sudah sampai mana, ya?” Aku terlonjak mendengar suara Devina dari seberang telepon. Kubuka kedua netra ini lebar-lebar dan menatap jam  yang tertempel di dinding kamarku. “Astagaaa!” Aku memekik kaget. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat empat puluh lima menit. Sementara, jadwal meeting hari ini tuh pukul sembilan pagi. “Pak, gimana? Pak Marfet sudah datang sejak lima belas menit yang lalu?” Pertanyaan Devina membuatku semakin kalang kabut. Marfet ini merupakan salah satu klien penting. Aku sudah bersusah payah membuat jadwal temu dengannya. Beberapa kali dia minta diundur dan diganti jadwal hingga kesepakatan meeting itu akan terjadi hari ini. “Hmmm … tolong kamu temani mereka untuk genba dulu … hubungi Pak Edo agar mereka membicarakan dulu terkait design produknya dan tekhnikal di lapangannya. Saya segera tiba!” ucapku. Terpaksa harus mengubah strategi agar tetap terlihat professional di mata customer. “Baik, Pak!” Devina menutup panggilan. Aku turun dari ranjang. Segera kupijit nomor ponsel Edo. Aku butuh bantuannya, benar-benar butuh sekarang. “Hallo, Bro!” Sapanya sebelum aku mengucap apapun. “Gue minta tolong, nih. Lu handle dulu Pak Marfet dari perushaaan Gemintang Grup, ya!” ucapku tanpa basa-basi. “Eh, apa-apaan? Gue banyak kerjaan.” Edo tampak tidak suka mendengar kabar yang kusampaikan ini. “Gue bener-bener minta tolong, Bro! Gue baru bangun, kesiangan. Nanti Devina yang atur agendanya seperti apa.” Aku menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Terdengar Edo terbahak-bahak di seberang sana. “Lu, temen susah malah tertawa?” hardikku. “Emang Lu ngapain aja sama Devina semalem ampe kesiangan? Lu bawa dia ke hotel mana dulu, Bro?” ucapnya disela tawa. “Astagaaa! Tolong otak lu dikondisikan. Gue gak ngapa-ngapain sama dia!” Aku memekik kesal. “Alaaah … sok suci lo, Fan! Mana ada kucing melewatkan kesempatan memangsa ikan segar!” ucapnya disela kekeh tawanya. “Dah ya, dari pada makin ngaco. Tolong, ya!” ucapku tanpa mau menanggapi lagi ocehannya. “Ha ha ha … oke, Bro!” Panggilan terputus. “Dek! Fira! Handuknya man-“ ucapanku terpotong. Aku lupa jika istriku tidak ada di rumah. Biasanya dia selalu melayani kebutuhanku dengan baik setiap pagi. Namun kini aku harus mencari semuanya sendiri. Handuk pun, aku tak tahu entah di mana tempatnya. Kulirik pada kapstok di belakang pintu tidak ada apa-apa. Semua bersih. Safira memang tidak suka kondisi rumah yang semrawut. Aku melempar gawai dan mencari-cari handuk. Hampir sepuluh menit, akhirnya kutemukan handuk itu tergantung rapi di jemuran kecil dekat mesin cuci di kamar mandi bawah. Terpaksa untuk menghemat waktu aku mandi di sana. Ritual mandi singkat kulakukan. Beruntung punya pengalaman sering telat waktu kuliah dulu jadi punya trik mandi cepat seperti apa. Aku berjalan ke kamarku di lantai dua kembali. Kulirik meja kecil di samping tempat tidur kami. Biasnya setelan pakaian kerjaku sudah siap di sana. Safira menyiapkan semuanya. Kini aku harus mencarinya sendiri. Kubuka lemari. “Astaga! Pakaian Safira kenapa hanya ada beberapa helai saja?” Aku mematung beberapa detik. Namun kembali teringat jika Pak Marfet sedang menungguku di kantor. Kuedarkan pandangan mencari setelan pakaian untuk hari ini. Beruntung Safira menyimpannya dengan rapi, berarti dia masih peduli padaku. Aku mengambil satu kemeja yang tersusun di sana setelah itu mengambil celana panjang dan segera mengenakannya. “Dek dasi aku, man-“ Ah, lagi-lagi ini mulut tidak bisa bekerja sama dengan otak. Karena sudah kebiasaan berteriak padanya setiap pagi. Segera kucari sendiri dasi itu dalam laci. Ternyata butuh waktu lebih lama dari yang aku bayangkan. Biasanya apa-apa sudah disiapkan Safira. Huh, menyebalkan. Setelah mematut diri di depan cermin aku segera turun. Tidak ada sarapan terhidang. Biasanya aku melihat Safira dengan rambut kusutnya dan gelayutan Saskia---putri kami sedang menghidangkan sarapan. Namun kini aku harus berangkat ke kantor bahkan dengan perut kosong. Tas kerjaku? Aku menepuk jidat. Tadi malam aku letakkan sembarang. Segera kuberlari kembali ke lantai atas untuk mengambilnya. Turun dengan cepat dan setengah berlari untuk mengejar waktu. Aku membuka pintu dan hendak memakai sepatu. Biasanya Safira sudah menyiapkan sepatu ganti dan kaos kaki baru untukku. Namun hanya sepatu dan kaos kaki bekas semalam yang masih tercecer di teras. Ah, sial! Aku kembali berlari ke atas. Semua peralatanku biasanya Safira pisahkan dan simpan dengan rapi, tapi tetap saja aku harus mencari-cari dulu di mana si kaos kaki sialan itu. Kusambar sepatu baru yang tertata rapi dalam rak setelah kaos kaki kutemukan. Aku turun kembali dan segera memakainya. Berjalan keluar tapi sepertinya ada hal yang ketinggalan. Kunci mobil kali ini, tadi malam kulempar sembarang. Ya Tuhaaan! Gumamku diiringi decak kesal. Aku melirik jam tangan sudah hampir pukul sepuluh pagi. Gila hampir memakan waktu satu jam saat ini. Setelah melewati drama pagi ini. Akhirnya aku meninggalkan rumah dengan mood kacau berantakan. Perut berteriak minta diisi. Pikiranku masih melayang memikirkan keberadaan istriku sekarang. Sambil menyetir aku ambil gawai dan mencoba menghubungi nomornya. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Silakan coba beberapa saat lagi.” “Sial, gak aktif sekarang HP-nya? Kamu kenapa sih, Fir? Masa iya, ngambek? Ngambek kenapa? Aku memang ada buat salah sama kamu?” Aku tidak habis pikir tentang cara berpikir wanita. Sukanya membuat ribet seperti ini. Siapa yang bisa kuhubungi sekarang? Biasanya Fira suka menginap di rumah orang tuaku yang hanya berjarak belasan kilometer. Bisa ditempuh dengan waktu setengah jam dari rumah kami. Baiklah, aku harus segera mencari tahu keberadaannya. “Hallo, Mah!” Aku menyapa wanita yang sudah melahirkanku. “Eh, untung kamu nelpon, Fan. Mamah dari pagi hubungi Fira tapi gak aktif. Suruh ke sini, ya … kasih tahu dia kalau mamah baru belikan mainan bagus banget buat Saskia!” ucapan ibuku sontak mematahkan harapanku. “Iya, Mah!” Akhirnya kututup telepon dengan kecewa. Safira jelas tidak ada di sana. Di mana kamu, Dek? Safira tidak mungkin pulang ke rumah orang tuanya ‘kan? Jarak tempat tinggal kami akan memakan waktu tiga jam dengan kota asalnya. Teringat dengan adik kandungnya aku segera mengusap layar dan menghubunginya. “Hallo, Dika!” “Eh, Mas Irfan … tumben Mas nelepon ada apa?” Dari gelagatnya sepertinya Dika tidak mengetahui keberadaan kakaknya. Namun aku tetap harus memastikan. “Dik, Mbak Fira ada main ke tempat kamu, gak?” tanyaku langsng pada intinya. Aku memang tidak suka berbasa basi. “Oh Mbak Fira, gak ada sih, Mas.” “Oh gak ada, ya? Ada cerita sama kamu gak dia mungkin ada ingin main ke tempat temannya gitu?” “Hmmm gak ada sih, Mas … tapi kemarin tuh dia ada tanya-tanya ke aku masalah tiket pesawat! Aku kira kalian mau liburan!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD