The Gown

1985 Words
Mela menggeleng berulang kali. Matanya terpejam sambil menutupi telinga dengan kedua tangannya. "Pergi dari sini! Cepat pergi!"  Suara wanita tua itu masih terngiang-ngiang di pikirannya, seakan nyata. Ia tak tak tahu alasan mengapa wanita tua itu memintanya untuk segera pergi dari sana, tak ada hal yang membuatnya tak nyaman kecuali kehadiran wanita tua itu ! "Hentikan! Hentikan!" Pinta Mela setengah berteriak, wajahnya dibasahi bulir-bulir keringat dingin. "Nona Mela." Mela tercengang mendengar seorang wanita lain memanggil namanya.  Ia membuka matanya spontan dan menyadari suara wanita tua itu sudah menghilang, yang ada hanya wanita separuh baya yang melayani saat makan siang berdiri di depannya sekarang. Wanita yang tak memakai baju ala maid, hanya setelan atasan dan celana berwarna abu-abu tua. Ia menggerai rambutnya yang panjang sebahu, walau terlihat beberapa uban disana. "Ya, ada apa, Bu?" Tanyanya sambil menyeka keringat pada wajahnya. "Saya lupa memperkenalkan diri tadi." Wanita itu mengulurkan tangannya. "Saya Sophia. Pengurus rumah dan bisnis Pak Edo." Ujarnya, memperkenalkan diri. Ia tersenyum tipis walau terlihat di paksakan. "Melani Bastian." Balasnya. Tangan Mela bergetar saat bersalaman, ia tak dapat membalas senyum Sophia yang kaku, tak familiar. "Pak Edo meminta anda untuk ke lantai atas. Dan ini--" Sophia menyodorkan dua tas kertas yang berukuran sedang. Mela menerima. "Apa ini?" Ia membuka salah satunya. "Sepatu?" Mela terheran Sophia memberikan sepasang sepatu berwarna putih dan ia bisa menebak isi tas yang lain adalah baju. "Apa maksudnya ini?" Ia meminta penjelasan dari wanita yang sejak tadi menatapnya dengan serius. "Sebelum Nona keatas, sebaiknya ganti pakaian Nona dengan itu." Sophia menunjuk kedua tas kertas yang ada di genggamannya. Ia tak menjawab pertanyaan Mela. "Untuk apa? Bajuku masih bersih dan--" "Tuan Edo yang menyuruhnya. Saya hanya menjalankan perintah saja." Potong Sophia, cepat. "Nona bisa menggantinya di kamar mandi di lantai bawah." Perintah Sophia lagi lalu ia membalikkan tubuhnya. "Saya permisi dulu." Wanita paruh baya itu meninggalkan Mela yang terdiam dengan sejuta pertanyaan di benaknya. Tentu saja Mela tak memahami Sophia, tidak, lebih tepatnya permintaan Edo. Mela mengangkat tas kertas. "Gue akan minta penjelasan dari Edo setelah gue ganti baju." Gumamnya sambil beranjak memasuki rumah itu lagi dan berjalan menuju kamar mandi. ⚫⚫⚫ Mela memandang bayangan dirinya dari pantulan cermin. Gaun yang diberikan Sophia cocok di tubuhnya yang langsing. Edo memang pandai memilihkan baju untuknya. Dengan tinggi badan 165 sentimeter dan berat yang ideal, ia terlihat seperti wanita sosialita mengenakan midi dress putih dengan high heels berwarna senada. "Kenapa dia nyuruh gue pakai gaun ini? Apa baju gue keliatan murahan atau memang dia gak suka ngeliat cewek pake baju blouse sama celana jeans?" Ia bergumam sambil bercermin. "Padahal blouse ini gue beli di butik walaupun lagi diskon 50 persen." Gumamnya lagi sambil memasukkan baju dan celana jeansnya kedalam tas kertas yang sudah kosong. Mela keluar dari kamar mandi lalu menutup pintu itu pelan. "Hah!" Ia terperangah melihat Sophia sudah berdiri di belakangnya. Tanpa tersenyum. "Saya simpan baju ini. Silahkan Nona ke atas." Ujar Sophia, menyambar tas kertas dari genggaman Mela lalu membawanya ke sebuah kamar tak jauh dari sana. Mela kembali terdiam, ia mendengus melihat ulah Sophia yang dinilai tak sopan. "Kenapa sih dia? Aneh! Disini banyak orang aneh!" Keluh Mela. Ia benci melihat Sophia yang tak bersahabat dan bersikap arogan seakan dialah pemilik rumah itu. Jabatan sebagai pengurus rumah membuat wanita itu terlihat congkak, tidak seperti pengurus lainnya yang pernah Mela kenal di perumahan elit. Mela berjalan menuju tangga. Ia menaiki anak tangga dengan santai lalu berjalan di lorong dan harus melewati empat kamar yang tertutup. Di setiap pintu kamar tersebut menempel sebuah tulisan 'Copdar' alias 'Copy darat'. "Copdar? Kenapa dikasih nama copdar di tiap pintu ini?" Langkah Mela terhenti pada pintu keempat. Ia menoleh ke kanan kiri memastikan tak ada orang di dekatnya. Tangan Mela menggenggam knop pintu. "Dikunci.." Ucapnya sambil menaik turunkan knop itu. "Jangan di buka!" Cegah seorang pria. Mela tercengang lalu membalikkan tubuh melihat wajah Edo terlihat gusar. Kedua tangan pria itu terkepal kesal. Dia mendekati lalu meraih tangan Mela dengan kasar dan menariknya. "Tempatmu bukan disana!" Seru Edo gusar, membawa Mela menuju kamar kelima. "Aku cuma pengen tau dalamnya aja, Do." Mela membela diri dan mengakui bahwa ia juga salah, berusaha membuka pintu itu tanpa ijin. Mela berjalan mengikuti langkah Edo yang panjang dengan tergesa-gesa. "Lepasin, Do. Tanganku sakit." Ia memohon, tapi Edo bergeming dan terus berjalan. 'Braak!' Edo membuka kamar dan melepaskan genggamannya. "Aww--" Mela mengusap lengannya yang berwarna merah, bahkan jejak genggaman tangan Edo membekas disana. "Kamu gak boleh buka pintu itu lagi. Ini bukan ancaman, Mel. Tapi perintah!" Seru Edo. Wajahnya memerah dan deru nafasnya naik turun karena kesal. Mela masih mengusap tangannya, ia merasa perih. "Maaf, aku cuma penasaran, Do. Aku---" Edo mendorong bahu Mela ke dinding dengan kedua tangannya. 'Dugh' Tubuh Mela membentur dinding.  Mata Edo melotot menatap Mela. "Berjanjilah kamu gak akan membuka pintu itu lagi!" Pinta Edo dengan nada mengancam. Mela mengangguk cepat berulang kali, ia tak menduga jika Edo semurka itu. Tapi ancaman Edo makin membuatnya penasaran dengan isi yang ada di kamar-kamar itu. Kamar yang bertuliskan 'Copdar'. "Baik. Aku janji gak akan buka pintu kamar itu lagi, Do." Janji Mela. Perlahan raut wajah Edo berubah, ia tersenyum lalu mendekap erat Mela, saking eratnya Mela merasakan nafasnya sesak dan kepalanya pegal karena mendongak. "Maaf aku sudah membentak kamu. Aku lakukan ini karena aku sayang kamu, Mel." Bisik Edo. Kedua tangannya mengusap punggung Mela dengan lembut dan perlahan. Wajah Mela bersemu merah, kalimat ini kedua kalinya ia dengar dari mulut Edo secara langsung, bukan melalui DM di **. "Jadilah kekasihku, Mel." Pinta Edo, dengan suara pelan. "Apa?!" Teriak Mela dalam hati, kedua matanya terbelalak tak percaya. Mela mendorong pelan Edo dari pelukannya. "Maksud kamu, kita pacaran?!" Ia memastikan maksud Edo agar tak merasa kegeeran. Edo mengangguk lalu meraih kedua tangan Mela. "Ya. Kita pacaran.. seperti sepasang kekasih. Apa kamu gak mau?" Perlahan senyum Edo menghilang menanti jawaban wanita yang sudah lama ia idamkan selama ini. "Oke." Mela mengangguk setuju. Tak ada alasan untuk menolak Edo saat ini bahkan sebelum ia bertemu langsung. Ia tak tergiur dengan kekayaan Edo yang melimpah dan ketampanannya melebihi Christian Ronaldo. Tapi kenyamanan berkomunikasi selama sebulan ini yang menjadi nilai lebih dan alasan ia menyetujui ajakannya untuk menjadi sepasang kekasih, seperti yang pernah ia rasakan empat tahun yang lalu bersama pria lain. Senyum Edo mengembang dan kedua tangannya  memegang kedua pipi Mela. "Serius? Jadi pacarku?!"  Mela mengangguk lagi. "Iya, Do. Iya.."  Edo mendekatkan tubuhnya lalu mengusap lembut pipi kanan Mela membuat wanita itu memejamkan mata menikmati belaian lembut tangan pria yang sudah lama tak ia rasakan. Hangat.. Mela merasa bibirnya hangat ketika Edo mengulum bibirnya lembut. Perlahan ia membuka matanya dan merasakan deru nafas Edo kembali naik turun. Kali ini bukan karena kesal tapi berhasrat untuk mencumbunya. Mereka saling bertatapan dan tersenyum. Edo mengamati gaun yang Mela kenakan. "Kamu cocok pakai ini." Pujinya. Mela mengalungkan kedua tangan di lehernya. "Tentu saja. Karena kamu yang ngasih dan..aku suka dengan selera kamu." Balas Mela mendongakkan kepala saat bicara dengan Edo. "Selain itu apa yang kamu sukai dari aku?" Tanya Edo, tangannya melingkar di pinggang kecil Mela. "Hmm..kamu baik dan... perhatian." Jawab Mela. Edo kembali menangkup wajah Mela dengan kedua tangannya. "Kamu salah." Ucapnya sambil menyunggingkan senyum. Ia mendekati telinga Mela lalu membisikkan sebuah kalimat yang membuat Mela terkejut. "Aku sangat baik dan sangat perhatian." Bisiknya, dilanjuti dengan tawa kecil. Mereka tertawa dan berhenti ketika jam dinding yang berdiri kokoh itu berdentang kencang. 'Teng teng teng' "Aku harus pergi dulu sebentar." Pamit Edo sambil membalikkan tubuhnya. Mela melirik ke arah jam yang menunjukkan berhenti tepat pada angka satu. "Kamu kemana, Do?" Tanyanya setengah berteriak. Edo terus berjalan tanpa menoleh. "Kebawah. Nanti aku kesini lagi." Balasnya, tanpa berhenti melangkah menuju pintu. ⚫⚫⚫ Seorang pria berjalan dengan derap langkah santai memasuki sebuah ruangan yang hanya disinari bias matahari dari jendela di sudut atas. Ruangan itu terasa lembab, bau dan gelap. Suara tetesan air yang menitik terdengar dari salah satu sudut ruangan bahkan tak jarang beberapa ekor tikus berdecit ketika ia melewatinya. Didalam ruangan itu terdapat kerangkeng yang berisi dua orang wanita bergaun putih walau beberapa noda merah mengotori gaun mereka. Wajah mereka lusuh, terlihat pucat dan make up nya luntur. Salah satu dari mereka berteriak sambil meronta pada teralis besi yang mengurung tubuhnya. "Lepaskan aku dari sini! Aku ingin pulang!" Wanita cantik berambut brunette sebahu berteriak ketika pria itu mendekati kerangkeng sambil tersenyum bengis. Tatapan matanya serius menatap wanita itu sementara wanita lainnya hanya duduk sambil melipat kedua kaki dan menundukkan kepalanya sambil menangis terisak-isak. "Kamu akan pulang dari sini, Sayang. Setelah mereka menjemput kamu." Pria itu menjawab, menaruh kedua tangannya pada saku celana dan tersenyum licik. Wanita itu menggeleng dan terus meronta. "Tidak! Aku gak mau ketemu mereka lagi! Aku mohon--" Ia bertekuk lutut dan menengadahkan wajahnya menatap pria itu lagi, memohon iba padanya. Tapi sayangnya pria itu menggeleng sambil menarik sudut bibir kanannya ke atas. "Tidak, Jesyln. Aku yakin kamu akan menyukai dia kali ini. Jika kamu gak mau, apa kamu mau senasib dengan Lala dan Dian?" Pria itu membalas dengan suara lembut tapi dengan nada mengancam. Wanita yang bernama Jesyln menggeleng dengan ketakutan dan menangis. "Tidak, Mister. Aku akan melakukan apa saja asalkan aku bisa keluar dari sini. Apa pun!" Ia kembali memohon sambil mengusap pipinya yang basah. "Kalau begitu berhentilah kamu menangis, aku akan mengeluarkan kamu dari sini jika kamu menuruti semua perintahku." Ujar pria itu lagi, lalu ia berjongkok menyamakan posisinya dengan Jesyln yang masih berlutut. "Ingat, Jes. Nasibmu ada di tanganku. Bertingkah lah selayak wanita anggun bukan seperti pecundang!" Jesyln mengangguk cepat karena takut dengan ancaman pria itu. Baginya saat ini adalah bisa keluar dari ruangan yang telah menyekapnya selama seminggu terakhir ini. "Baik, Mister." Untuk kesekian kali ia menyetujui ucapan pria itu walau terkadang ingin melawan tapi dihadang rasa takut yang besar daripada nyali nya yang ciut. Pria dipanggil 'Mister' itu bangkit dan pandangannya beralih ke arah wanita yang sejak pertama ia tiba sudah menangis menutupi wajahnya dengan kedua tangan yang menyilang di atas lututnya. "Tia, Sayang…" Ia memanggil wanita itu yang membuatnya berhenti menangis lalu bangkit dan berlari ke arahnya. "Keluarin aku dari sini..aku mohon.." Wanita bernama Tia juga melakukan hal sama seperti Jesyln. Memohon. Wajah Tia lebih pucat dari Jesyln, pipinya bengkak dan noda darah mengering di sudut bibirnya. Salah satu lengannya terlihat lebam bahkan gaunnya sobek sehingga menampakkan sebagian buah dadanya. "Jika kamu terus nakal aku akan menghukummu lagi. Mau?"  Tia menggeleng sambil mengusap air matanya. "Tidak. Aku gak akan nakal lagi. Aku takut tinggal disini..aku mohon, keluarin aku.." Kedua tangan Tia memegang teralis kerangkeng dan menggoyang-goyangkannya. Pria itu tak tersenyum, tatapannya terlihat kesal menatap gadis di depannya yang hanya dihalangi besi teralis. "Buktikan janji kamu nanti malam. Jika tidak…" Ia mendekati wajah Tia dan hampir membentur teralis. "Aku akan menghabisimu kali ini.." Sambung pria itu lagi sambil berbisik lalu pergi berlalu meninggalkan mereka berdua dari ruangan itu. "Tidak---" Tia menjerit melihat kepergian pria itu sambil terus meronta. ⚫⚫⚫ "Wow!" Mela takjub melihat gaun berwarna merah tergantung di dalam lemari kain. Tak ada gaun lain selain itu. 'Braak' "Kamu suka?" Tanya Edo sambil menutup pintu. Ia berjalan mendekati Mela yang mengambil gaun lalu bercermin di depan meja hias. Mela mengangguk sekaligus heran didepan cermin. "Tapi kenapa kamu simpan gaun ini disini? Apa ini punya ibu kamu atau--" "Itu buat kamu." Potong Edo cepat. Ia memeluk membuat Mela bergidik ketika hembusan nafas Edo hinggap di telinganya. "Untuk apa, Do? Memangnya ada acara apa? Toh kita bakalan pulang hari ini kan?"  Edo semakin mengeratkan pelukannya. "Acara penting. Kamu lihat aja nanti." "Selesai acara itu kita pulang." Ucapan Edo terhenti ketika bibirnya melekat pada leher Mela yg jenjang yang membuat deru nafasnya mulai tak beraturan. Mela memejamkan matanya menikmati kecupan Edo yang membuatnya melayang. Ia mendongakkan kepalanya dan tanpa sadar gaun merah di genggamannya terjatuh ke lantai. Edo membalikkan tubuh Mela lalu mengulum bibirnya lagi dan kali ini Mela tak diam, setiap kuluman bibir Edo ia balas penuh hasrat. Bahkan sentuhan tangan Edo berhasil membangkitkan hasrat liarnya yang ia pendam selama beberapa tahun ini.  Tangan Edo meraih resleting gaun Mela dan menariknya ke bawah. Perlahan ia menurunkan gaun itu hingga terlepas dari tubuh pemiliknya. Tak ada penolakan dari Mela, ia pasrah pada cumbuan Edo yang ia akui bahwa pria itu pintar mencumbunya. Edo mendorong tubuh Mela yang hanya mengenakan pakaian dalam ke atas ranjang. Dengan tergesa-gesa ia membuka kemeja dan celana panjangnya melihat tubuh Mela yang terbaring pasrah. Ia merangkak ke atas ranjang sambil menyeringai penuh makna. "Bunuh dia!" Edo terdiam sambil memejamkan mata dan menggeleng mendengar sebuah bisikan. "Bunuh dia, Do! Dia sempurna!" Bisikan itu kembali lagi dan membuat Edo menutup kedua telinganya sambil berteriak. "Tidak! Tidaak--"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD