MARI MENGENAL AZKA

1015 Words
HIDUP ITU BUTUH EKSPRESSI. "Gue bilang apa?" Laki-laki dengan penampilannya yang sudah acak-acakkan tersebut sudah melotot pada laki-laki, dengan kerah bajunya yang sudah Azka genggam. Laki-laki tersebut bernama, Ditho. Anak laki-laki kelas XII IPS 4. Kaki Dhito gemetar, saat Azka sudah membuat wajahnya babak belur saat itu. Lorong-lorong sekolah sudah di penuhi oleh desakkan semua murid yayasan Cyber School, siapa lagi yang sering membuat kegaduhan selain Radinazka dan Radinarka, dua saudara kembar most wanted yang selalu menjadi incaran para kaum hawa. Mereka sama-sama badboy, yang membedakan hanyalah kembar mereka yang tidak identik, dan Azka lebih kejam daripada Arka soal cinta, terlebih lagi perkelahian. Azka juga lebih irit bicara dibandingkan dengan Arka yang selalu nyeletuk ngasal. Azka melepaskan genggamannya pada Kerah Dhito, sehingga laki-laki tersebut sudah menghembuskan napasnya tenang, Azka memasang wajahnya datar, tangan kanannya menunjuk wajah Dhito secara terang-terangan. "Hari ini lo masih selamat," Azka menahan emosinya agar tidak tersulut lagi, semua murid bersorak kecewa karena tontonan gratis mereka telah usai. Azka kemudian menyeringai, setelah ia mengacak rambutnya asal,"Gue temuin lo bocorin ban motor gue lagi, HABIS LO!" Setelah meninggalkan kalimat penuh ancaman yang Dhito terima dengan ludahnya yang ia telan susah payah, Azka langsung beranjak pergi membelah kerumunan yang menatapnya kecewa dan kaum hawa yang memuja. Baru saja berjalan menyusuri koridor sekolah, ia harus di hadapkan oleh kembarannya, siapalagi kalau bukan Arka. Arka dengan penampilannya yang sudah sembrautan itu kini sudah berdiri tegap di depan Azka, Azka menatapnya dengan sudut mata malas. Melihat wajah Azka yang tertekuk membuat Arka langsung menjulurkan tangannya, ia mencubit kedua pipi Azka gemas, sampai mendapatkan tepisan keras dari Azka. "Apa?" Azka melotot pada Arka, melihat respon dari kembarannya itu membuat Azka mencibir. "Galak amat mas, sama mereka boleh tapi masa sama dedek mu yang gemesin ini masih galak," goda Arka, Azka hanya bisa menghembuskan napasnya kasar, begitulah Arka yang penuh godaan terbadapnya. Arka kemudian mengangguk-nganggukkan kepalanya, dengan tangan kanan-nya yang sudah menangkup dagunya,"Gimana sama Dhito? Beres? Hahah makanya parkir motor jangan di depan gerbang hahahha, di jahilin kan? Telat lagi sih lo, bangunan pagi dikit napa?" Arka menyeletuk asal, mendapat celetukkan dari Arka membuat Azka menggeleng pelan, untung kembaran jika tidak Azka pasti akan membuat Arka mati di tempat sekarang juga. "Gue jam berapa datang?" Azka menaik turunkan alisnya menanti jawaban dari Arka, Arka berpikir sejenak untuk menjawabnya. "Jam delapan?" Terka Arka, Azka mengangguk membenarkan. Lalu ia menaikkan sebelah alisnya lagi,"Lo?" Arka langsung terkekeh,"Jam 10 hehe." Arka menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sedangkan Azka langsung pergi meninggalkan Arka dengan wajah datarnya. "Bego," gumam Azka. "Bebi Azka! Wey kemana? Buset datar amat itu hidup lo! Sama kembaran ndiri njir, hidup itu butuh ekspressi Azka sayang," Arka berteriak menceramahi Azka seperti orang gila, sebab Azka saja sudah hampir menghilang dari pandangannya. Tapi teriakan Arka masih bisa terdengar samar oleh Azka. Semua tunduk oleh perintah Arka, terlebih lagi Azka. Arka juga penguasa sekolah, tukang rusuh, biang onar, malas beda halnya dengan Azka. Azka memang suka berkelahi, tapi berkelahi hanya karena ada seseorang yang mengganggu ketenangannya, sekalinya berkelahi maka ia tidak akan melepaskan lawannya jika belum ia buat babak belur. Sekejam-kejamnya Arka dalam menjatuhkan lawannya, masih kejam Azka dalam hal itu. Arka masih mempunyai rasa untuk jatuh cinta, sedangkan Azka bahkan menolak keras akan hal itu. Lalu apa yang membuat Azka pada akhirnya mengklaim seorang gadis yang bernama Athaya Maharani Bylthe, yang kerap di panggil Rani tersebut? Jangankan untuk melakukan pendekatan terlebih dahulu, untuk sekedar berkenalan saja mereka tidak pernah. Seperti siang ini, ketika semua guru sedang melakukan rapat, maka satu sekolah mendapatkan free class. Hal tersebut membuat semua sekolah di penuhi oleh murid yayasan yang tengah melakukan aktifitas mereka masing-masing. Terlebih lagi di kantin, akan ada banyak siswa laki-laki yang akan menjahili para gadis yang tengah menyantap makan siang, apalagi geng Arka. Tapi beda halnya dengan Azka yang memilih untuk duduk sendiri di pojokkan kantin ketika istirahat. Di sana Azka bisa menyantap makanannya dengan tenang, ia bisa lebih leluasa melihat murid-murid yang berdesakkan, bahkan memperebutkan tempat duduk di kantin, karena tempatnya yang sudah terpenuhi dan tidak mencukupi. Tidak ada yang berani duduk di dekat Azka selain Arka dan Reza sahabatnya, kini laki-laki itu tengah menyantap semangkok bakso dan jus jeruk yang sudah tersedia di depannya. Sehabis menghabiskan santapan makan siangnya, Azka mengeluarkan secarik kertas yang ia keluarkan dari sakunya, ia membaca surat tersebut dengan cermat dan mencerna baik-baik setiap kata yang tertulis di sana. Seusai membacanya Azka langsung mengusap wajahnya kasar, ini masalah besar untuknya, Azka memejamkan matanya dengan tangan kanannya yang sudah memijit pelipisnya lelah. "WOI!" Azka langsung tersentak kaget, ia menatap Reza dengan wajah malasnya dan tertekuk, melihat hal itu membuat Reza tertawa. "Kenapa? Masih mikirin surat itu?" Tawa Reza pecah, Reza Refaldo namanya, dia adalah teman Azka, ia mempunyai sikap yang berbeda sekali dengan Azka, Reza penuh tawa, ia rada malas dalam belajar, tapi Reza murid baik-baik yang tidak ingin membuat masalah. Azka hanya diam tidak menjawab, laki-laki itu memangku wajahnya dengan kedua tangannya. "Udahlah Azka, ngapain sih mikir surat begituan, emang masih jaman surat-suratan gitu yah? Hahahha," ia meledek Azka, Azka hanya diam saja. Tawa Reza kemudian berhenti ia menatap Azka mulai serius,"Kenapa enggak lo jalanin aja?" Reza menggodanya, Reza sedikit berbisik pada Azka agar tidak ada orang yang mendengarkan percakapan mereka. "Dia lumayan cantik," kekeh Reza. Azka mendengus kesal,"Gak!" Ia tetap bersikeras menolak hal tersebut mentah-mentah, pacaran itu tidak mudah. Pasti hidup Azka akan terbebani oleh gadis yang ia pacari nanti, Azka tidak mau itu. Ia masih ingin hidup tenang tanpa gangguan seorang pacar di hidupnya. Reza berdecak pelan,"Terus sampai kapan lo mau natapin kertas lecek itu? Udah mau tiga tahun broo," Reza mengingatkan Azka. Azka semakin terlihat bingung,"Gak mudah," jawab Azka bimbang. Reza lagi-lagi menggeleng, ia kini berusaha untuk meyakini sahabatnya satu itu,"Gak mudah bagaimana, tinggal nembak doang," kata Reza, lagi. Azka tau, Reza tidak akan berhenti untuk mendesaknya agar berpacaran, karena Reza sendiri cemas akan keadaan Azka yang nantinya malah belok. "Pacaran gak segampang gue nonjok anak orang," Azka membatin. "Gimana? Mau?" Reza menanyai kembali. "Ngomong sekali lagi?" Azka menjeda, ia berdiri. "Lo gue tonjok Za!" Ia kemudian pergi meninggalkan Reza yang langsung mengikuti langkahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD