Di sebuah ruangan dengan dekorasi mewah dan berkelas, seorang dayang tampak sedang menyisir rambut wanita cantik yang sedang duduk di depan meja rias. Permaisuri Liu Fei menatap pantulan dirinya di cermin, tersenyum saat tatanan rambutnya sudah rapi. Kini sang dayang tengah memakaikan mahkota di puncak kepalanya, memberikan jepitan agar mahkota berukuran besar itu tak jatuh ketika sang ratu bergerak atau berjalan.
“Sudah selesai, Yang Mulia Permaisuri,” ucap dayang itu penuh hormat.
“Ya, ini sempurna. Terima kasih.”
Sang dayang mengulas senyum, terlihat senang Permaisuri Liu Fei tampak puas dengan hasil kerja kerasnya. Dia pun sigap membantu dengan memegangi tangan sang permaisuri saat melihatnya akan berdiri dari posisi duduk.
Namun, belum sempat Permaisuri Liu Fei bangkit berdiri dengan sempurna, mereka dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba menerobos masuk ke dalam ruangan.
“Hormat kepada, Yang Mulia Pangeran Yaoshan,” ucap sang dayang yang merupakan wanita paruh baya berusia sekitar 50 tahunan itu. Dayang pribadi Permaisuri Liu Fei yang sudah menemaninya sejak belum diresmikan menjadi istri kaisar.
Namun, alih-alih menyahut, pemuda yang baru saja dipanggil Pangeran Yaoshan justru berjalan menghampiri sang permaisuri, menuntunnya untuk kembali duduk.
“Kau ini kenapa, Yaoshan?”
“Ibunda, aku ingin menceritakan sesuatu pada Ibu. Bisa tidak kita bicara berdua saja?”
Permaisuri Liu Fei menggelengkan kepala sambil mengulas senyum karena melihat tingkah putra semata wayangnya yang begitu manja. Dia pun menoleh pada sang dayang, memberi isyarat dengan anggukan kepala agar dayang itu pergi.
“Saya mohon undur diri, Yang Mulia Permaisuri dan Pengaran Yaoshan,” ucap sang dayang seraya berjalan mundur dan ketika sudah dekat dengan pintu, baru dia berbalik badan dan benar-benar menghilang dari ruangan.
“Kenapa memangnya? Kau mau cerita apa pada Ibunda?”
Dengan manja Yaoshan mendudukkan diri di bawah, tepat di atas karpet, dia menyandarkan kepalanya di paha permaisuri, menjadikannya bantalan. Permaisuri Liu Fei kembali menggelengkan kepala sambil tangannya sibuk mengusap-usap puncak kepala sang putra.
Liu Yaoshan nama putra semata wayang permaisuri yang di tahun ini genap berusia 19 tahun. Pemuda yang juga telah dinobatkan sebagai putra mahkota karena kelak akan menggantikan ayahnya menjadi kaisar di kerajaan tersebut.
Kerajaan Qing nama kerajaan mereka. Kerajaan besar di daratan China Selatan yang sangat makmur dan damai. Kerajaan yang kaya dengan hasil alam yang melimpah, serta perdagangan yang sukses. Kerajaan itu juga terbilang sangat aman karena nyaris tak pernah terjadi insiden peperangan. Rakyat hidup dengan makmur dan sejahtera karena kaisar yang begitu bijaksana dalam memimpin.
Kaisar Liu Xingsheng merupakan pemimpin yang berkuasa di kerajaan itu saat ini. Sosok pria berusia sekitar 46 tahun, dia sangat tegas tapi di saat bersamaan juga sangat peduli pada kesejahteraan rakyat. Raja yang menjunjung tinggi keadilan sehingga sangat dicintai rakyat.
Bukan hanya sangat peduli pada rakyat yang membuat sang kaisar begitu dicintai, tapi karena dia juga sosok pria setia yang hanya memiliki satu wanita seumur hidupnya. Di saat mendiang raja terdahulu memiliki selir yang tak terhitung jumlahnya, Kaisar Liu Xingsheng hanya memiliki satu istri yaitu Permaisuri Liu Fei yang telah memberinya satu putra yaitu Liu Yaoshan. Putra kesayangan mereka yang sejak kecil terlalu dimanjakan sehingga beginilah hasilnya, pemuda itu begitu manja walau dia berstatus sebagai pewaris takhta sebuah kerajaan besar.
Permaisuri Liu Fei masih mengusap-usap puncak kepala putranya, walau dia sedikit heran karena masih pagi putranya itu sudah merajuk dan bersikap manja padanya.
“Ada apa. Yaoshan?”
“Ibunda, bisa bantu aku?”
Permaisuri Liu Fei mengernyitkan dahi. “Membantu apa?”
“Aku dipaksa latihan beladiri hari ini, tapi aku tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa?” tanya sang permaisuri.
Yaoshan menyengir lebar, dan hanya melihat ekspresi wajah putranya, sang permaisuri tahu persis alasan Yaoshan melarikan diri ke kediaman pribadinya. “Kau malas lagi?”
“Bukan malas, Ibunda. Hanya saja aku merasa tidak perlu latihan bela diri. Hanya membuang-buang waktu.”
“Jangan begitu. Kau ini seorang pria jadi memang sudah seharusnya menguasai bela diri, setidaknya untuk melindungi dirimu sendiri.”
Yaoshan mendengus. “Aku selalu diikuti para pengawal, jadi aku akan selalu aman. Aku tidak perlu latihan bela diri.”
“Tetap saja ....”
“Aku tidak mau. Aku ingin di sini saja bersama Ibunda.”
Tak ingin lagi mendengar ucapan sang ibu yang terus membujuknya untuk mengikuti latihan bela diri, Yaoshan dengan sengaja memejamkan mata, pura-pura tidur.
“Dasar kau ini. Padahal kau kelak akan menjadi kaisar. Yang Mulia Kaisar saja memiliki ilmu bela diri dan saat muda dulu sebelum naik takhta, kaisar sering terjun langsung dalam peperangan.”
Mendengar kata perang, kedua mata Yaoshan yang tertutup rapat seketika terbuka lebar. “Apa? Ayahanda ikut ke medan perang?”
Permaisuri Liu Fei mengangguk. “Ya, karena mendiang kaisar terdahulu sangat tegas dan selalu memerintahkan putra-putranya untuk terjun langsung ke medan perang demi mencari pengalaman dan mengasah kemampuan. Kau juga ....”
“Jangan bilang ayahanda dan ibunda juga akan mengirimku ke medan perang?” tanya Yaoshan dengan mata memelotot, terlihat ketakutan.
“Tentu saja tidak. Tapi Yaoshan, walau kondisi kerajaan sekarang aman dan damai, tapi entah sampai kapan situasi ini akan bertahan. Karena yang namanya perebutan kekuasaan akan selalu terjadi, karena itu Ibunda sangat khawatir padamu.”
“Khawatir kenapa?”
Permaisuri Liu Fei hanya mengulas senyum dan mengusap wajah tampan putranya yang tak terasa sudah beranjak dewasa. Meski usianya sudah menginjak 19 tahun, tapi Yaoshan masih sangat lugu dan polos, hal itulah yang membuatnya khawatir mengingat betapa kejam kehidupan di dalam kerajaan apalagi jika kelak Yaoshan sudah duduk di kursi singgasana.
“Tidak apa-apa. Hanya saja satu pesan Ibunda. Kau harus menjadi pria yang kuat agar tidak ada yang bisa menindasmu.”
Yaoshan seketika tertawa. “Memangnya siapa yang berani menindasku? Aku ini putra mahkota, aku calon kaisar selanjutnya.”
“Percayalah pada Ibunda. Orang jahat yang iri dan serakah selalu ada. Jadi, kau harus selalu hati-hati, ya.”
Yaoshan tak menjawab, hanya menggaruk-garuk pelipisnya dan dia kembali menyandarkan kepala di paha sang ibu, menjadikannya bantalan. Memejamkan mata saat usapan tangan sang ibu di puncak kepala membuatnya sangat nyaman hingga nyaris jatuh tertidur.
Namun, suasana tenang dan nyaman itu tak bertahan lama ketika tiba-tiba beberapa dayang menerobos masuk ke dalam tanpa meminta izin terlebih dahulu, membuat sepasang ibu dan anak itu terkejut dan juga kesal.
“Apa-apaan kalian ini? Tidak sopan masuk tanpa meminta izin!” bentak Yaoshan, yang tidurnya terganggu karena suara ribut-ribut dari para dayang.
“Mohon ampuni kami, Yang Mulia. Tapi kondisinya sangat mendesak. Cepat bersembunyi, Yang Mulia.”
Yaoshan dan Permaisuri Liu Fei saling menatap, terlihat kebingungan.
“Memangnya apa yang terjadi?”
“Istana diserang, Yang Mulia Permaisuri. Pangaran Liu Changhai dan pasukannya menyerang istana.”
Permaisuri melebarkan mata, terlihat begitu terkejut mendengar kabar buruk ini. Liu Changhai merupakan adik kandung dari kaisar. Sosok pangeran yang memang selalu berselisih paham dengan kaisar sejak dulu. Demi membungkam mulutnya agar tidak terus mengacau di istana, kaisar sengaja memberikan jabatan jenderal pada sang pangeran, beberapa bulan yang lalu. Namun, siapa sangka memberikan jabatan itu menjadi bumerang karena Pangeran Changhai diam-diam mengumpulkan pasukan dalam jumlah besar untuk melakukan pemberontakan ini.
“Apa yang mereka inginkan? Kenapa mereka menyerang istana?” tanya permaisuri.
“Sepertinya mereka ingin menggulingkan kaisar, Yang Mulia. Anda, Pangeran Liu Yaoshan dan Yang Mulia Kaisar berada dalam bahaya. Cepat bersembunyi, Yang Mulia.”
Panik mendengar kabar itu, Permaisuri Liu Fei bergegas menggenggam tangan putranya, mereka berjalan cepat meninggalkan kediaman pribadi permaisuri.
“Ibunda, kita mau ke mana?” tanya Yaoshan karena sang ibu membawanya pergi tanpa memberitahu tempat tujuan mereka.
Pertanyaan Yaoshan terjawab ketika mereka kini tiba di lorong menuju ruangan kebesaran kaisar, tapi langkah mereka terhenti karena melihat keadaan yang kacau balau di depan aula pertemuan di mana kursi singgasana berada.
Permaisuri Liu Fei bergegas membawa Yaoshan bersembunyi di balik tembok sebuah bangunan yang cukup dekat dengan aula tersebut. Di sana terlihat prajurit istana sedang berperang melawan prajurit Pangeran Changhai yang mengenakan pakaian serba hitam serta ikat kepala di mana di sana tertulis kata ‘kebebasan’. Prajurit Pangeran Changhai begitu tangguh, terlihat jelas mereka pasukan yang sudah terlatih karena dengan mudah mereka membunuh satu demi satu prajurit istana yang mencoba melindungi aula kebesaran yang sepertinya ingin pasukan musuh terobos. Kemampuan berpedang dan kungfu mereka sangat handal sehingga prajurit istana terlihat tak berdaya melawan mereka.
Bukan itu saja yang membuat permaisuri dan pangeran tercengang, tidak lain karena kini pasukan Pangeran Changhai bermunculan di atap-atap bangunan istana, mengelilingi aura kebesaran kaisar.
“Ibunda, apakah ayahanda sedang berada di dalam aula?” tanya Yaoshan, yang menyadari jika ayahnya berada di dalam aula itu maka kini dia berada dalam bahaya.
Permaisuri Liu Fei tak menjawab hanya karena dia tak ingin membuat Yaoshan yang ceroboh akan melakukan tindakan bodoh. Tentu saja kaisar sedang berada di dalam aula karena pagi ini akan diadakan pertemuan penting dengan para petinggi kerajaan, bahkan alasan permaisuri berdandan serapi mungkin pagi ini karena dia berencana mengikuti pertemuan tersebut. Kaisar sejak dulu selalu meminta pendapatnya jika ingin memutuskan sesuatu. Permaisuri Liu Fei terkenal dengan kecerdasannya, dia selalu setia memberikan masukan demi masukan pada suaminya. Keberhasilan Kaisar Liu Xingsheng dalam memerintah Kerajaan Qing tidak lepas dari peran sang permaisuri yang selalu setia membantu dari balik layar. Karena alasan itu pula kaisar begitu mencintai istrinya dan tidak mau membagi hati dan cintanya dengan wanita lain.
“Ibunda!” Pangeran Yaoshan sedikit meninggikan suara karena mulai panik melihat ibunya yang tak kunjung menjawab, sedangkan dia kini merasakan firasat buruk bahwa ayahnya memang sedang berada di aula kebesaran. Mungkin karena alasan itu pula para prajurit istana begitu menjaga agar pasukan musuh tidak berhasil menerobos masuk.
Namun, kekuatan pasukan pemberontak rupanya sangat besar, jumlah mereka juga terlampau banyak karena sebagian besar dari mereka adalah prajurit militer istana yang ikut membelot karena termakan bujuk rayu Pangeran Changhai.
“Ibunda, aku rasa ayahanda memang ada di dalam aula. Kita harus ....”
Yaoshan tak melanjutkan ucapannya, bukan karena dia tak mau, melainkan dia tak mampu karena kini sang ibu tiba-tiba menarik tangannya, memaksanya untuk berlari menjauh dari tempat itu.
“Kita mau ke mana? Kita harus menyelamatkan ayahanda!”
Permaisuri Liu Fei tak menggubris permintaan putranya. Dia terus berlari secepat yang dia bisa sambil menggenggam tangan Yaoshan seerat mungkin agar tidak terlepas.
“Yang Mulia, rupanya anda di sini. Kami mencari Anda sejak tadi,” ucap beberapa prajurit istana yang sepertinya ditugaskan untuk melindungi permaisuri dan Pangeran Yaoshan, saat mereka berpapasan di lorong.
“Di mana Panglima Jianying?” tanya permaisuri.
Jianying merupakan pengawal pribadi yang selama ini menjaga keselamatan Pangeran Yaoshan, juga yang mengajarkan bela diri dan kungfu pada sang pangeran.
“Sepertinya tadi saya melihat panglima sedang berada di kediaman pribadi Pangeran Yaoshan. Mungkin sedang mencari Yang Mulia Pengeran.”
Permaisuri Liu Fei menoleh pada putranya, baru ingat alasan Yaoshan pagi-pagi datang ke kediaman pribadinya karena melarikan diri dari Jianying yang menyuruhnya untuk latihan bela diri hari ini.
“Jadi, Panglima Jianying sejak tadi menunggumu di kediamanmu, Yaoshan?”
Yaoshan menganggukkan kepala. “Iya. Memangnya kenapa? Bukan saatnya menyuruhku untuk berlatih, Ibunda. Kita harus segera menyelamatkan ayahanda. Ibunda lihat kan tadi di aula kebesaran sedang dikepung pasukan musuh?”
Mengabaikan ucapan Yaoshan, permaisuri kembali menatap pada beberapa prajurit yang kini berdiri di hadapannya dengan wajah panik karena mereka tahu persis tugas mereka begitu berat yaitu harus melindungi permaisuri dan calon pewaris takhta yang tentunya akan menjadi incaran pasukan musuh sebentar lagi.
“Kalian temui Panglima Jianying dan minta dia pergi ke belakang istana sekarang juga. Katakan aku sedang menunggunya di sana. Kalian mengerti?”
“Mengerti, Yang Mulia.”
Permaisuri Liu Fei pun kembali berjalan cepat sambil menarik tangan putranya, walaupun Yaoshan tiada henti mengajak untuk kembali ke aula demi menyelamatkan kaisar, dia tak memedulikannya sedikit pun. Wajah wanita yang paling berkuasa setelah kaisar itu tampak dipenuhi kekhawatiran yang mendalam karena menyadari istana benar-benar sudah dikepung oleh pasukan Pangeran Changhai dan tidak ada waktu untuk bersembunyi, mereka harus melarikan diri jika ingin selamat.
Setibanya di belakang istana, rupanya Jianying sudah tiba lebih dulu, pria itu mungkin berlari cepat setelah mendengar kabar dari prajurit yang diperintahkan permaisuri untuk menemuinya di belakang istana, terlihat dari deru napasnya yang terengah-engah dan dadanya yang naik turun dengan cepat.
“Yang Mulia Permaisuri,” ucap Jianying penuh hormat sambil menundukkan kepala.
“Panglima, sekarang kau harus membawa pangeran pergi dari istana sejauh mungkin.”
Yaoshan mendelik tajam pada sang ibu begitu mendengar ucapannya. “Ibunda ini bicara apa? Kenapa menyuruh Jianying membawaku pergi?”
Namun, alih-alih mendapatkan jawaban, Yaoshan harus menelan kenyataan pahit karena sang ibu kembali mengabaikannya.
“Bawa pangeran pergi sejauh mungkin dari istana. Jika bisa, bawa sejauh mungkin dari kota ini.”
“Lalu bagaimana dengan Anda, Yang Mulia?”
“Aku akan menyusul kalian bersama Yang Mulia Kaisar. Yang terpenting sekarang kalian harus pergi lebih dulu. Kau mengerti, kan, Panglima? Aku mempercayakan putraku padamu.”
Merasa tak memiliki pilihan lain karena tak mungkin juga dia berani melawan perintah permaisuri, Jianying mengangguk patuh. “Mengerti, Yang Mulia. Saya akan melindungi Pangeran Yaoshan dengan mempertaruhkan nyawa saya.”
Permaisuri Liu Fei mengulas senyum, tampak lega sebelum tatapannya kini beralih pada Yaoshan yang hanya mematung di tempat dengan mata terbelalak karena mendengarkan perbincangan antara ibunya dan pengawal pribadinya tersebut.
“Pergilah bersama panglima, Yaoshan.”
Yaoshan menggelengkan kepala, menolak mentah-mentah permintaan sang ibu. “Aku tidak mau meninggalkan ayahanda dan ibunda. Jika pergi, kita harus pergi sama-sama.”
“Jangan membantah dalam kondisi seperti ini, Yaoshan!” bentak permaisuri yang sukses membuat Yaoshan berjengit kaget karena selama dia hidup, baru sekarang ibunya yang begitu lembut dan penyayang itu memarahi dirinya.
“Percayalah pada Ibunda dan ayahanda. Kami akan segera menyusulmu. Sekarang kau pergilah lebih dulu.”
“Kenapa kita tidak pergi sama-sama saja?”
Permaisuri memejamkan mata, terlihat sedang menahan tangis, tapi dia mencoba sekuat tenaga tetap terlihat tenang di depan putranya atau pemuda itu tidak akan mau menuruti perintahnya.
“Masih ada yang harus kami urus dulu di istana.”
“Istana berbahaya. Ibunda juga melihatnya, kan, tadi? Aula kebesaran ayahanda dikepung pasukan musuh. Prajurit istana bahkan tidak berdaya melawan mereka. Ayo, Ibunda. Kita pergi sama-sama, aku tidak ingin pergi sendirian!”
Permaisuri tahu persis Yaoshan tak mungkin menuruti perintahnya, pemuda itu tetap bersikeras tak ingin pergi. Dia pun melirik Jianying, memberi isyarat pada pria itu untuk bertindak. Hingga beberapa detik kemudian, Yaoshan terkulai lemas karena jatuh pingsan begitu tengkuknya dipukul oleh Jianying yang menyadari betul arti isyarat lirikan mata dari permaisuri.
“Bawa dia pergi sejauh mungkin, Panglima. Aku mempercayakan keselamatan Yaoshan padamu.”
“Baik, Yang Mulia. Saya mohon undur diri.”
Panglima Jianying membopong Yaoshan di bahunya seolah pemuda itu seringan kapas, lalu dia pun berlari cepat untuk membawa sang pangeran pergi sejauh mungkin dari istana. Sedangkan permaisuri Liu Fei kini menatap sendu ke depan karena memiliki firasat inilah terakhir kalinya dia bisa melihat putranya.
“Selamat tinggal, Yaoshan. Ibunda harap kau akan tumbuh menjadi pria yang hebat,” gumamnya sambil meneteskan air mata sebelum dia berlari untuk kembali ke istana karena ingin segera berada di samping suaminya.
***
Dua ekor kuda yang sejak tadi terus berlari, kini berhenti tepat di depan sebuah kedai minuman. Dua penunggangnya yang mengenakan pakaian berjubah dengan topi besar yang menutupi kepala, turun dari punggung kuda. Mereka berdua berjalan dan memilih menempati salah satu meja yang kosong di kedai tersebut.
Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya datang menghampiri sambil berlari-lari kecil, kedainya tampak sepi, hanya beberapa meja saja yang terisi oleh beberapa pelanggan, dan saat ada pelanggan baru yang datang maka dia akan bergegas menghampiri agar pelayanannya tak mengecewakan karena membiarkan pelanggan menunggu lama.
“Tuan-tuan, silakan. Ingin memesan apa?” tanya wanita itu ramah pada dua pelanggannya yang sejak tadi hanya menundukkan kepala sehingga topi besar yang mereka kenakan membuat wajah mereka tak bisa terlihat dengan jelas.
“Pesan semua makanan yang disajikan di kedai ini dan juga satu guci arak.”
Si wanita tercengang, tak menyangka kedua pelanggan yang tampak mencurigakan itu memesan begitu banyak makanan. Sedetik kemudian, dia menyengir lebar terlihat sumringah. “Baik, baik, Tuan. Akan segera saya hidangkan. Mohon ditunggu sebentar.”
Mendapatkan anggukan dari salah satu pelanggan itu, sang wanita pun bergegas pergi dengan wajah ceria karena merasa hari ini dia begitu beruntung mendapatkan pelanggan yang memiliki banyak uang.
Hening menerpa di kedai tersebut, kedua pria misterius itu masih duduk tenang di meja menunggu kedatangan wanita pemilik kedai yang sedang menyiapkan pesanan mereka, tapi ketenangan itu terusik saat beberapa pria mengenakan seragam prajurit istana, tiba-tiba datang dan kini menempati beberapa meja yang kosong.
Salah satu dari kedua pria mengenakan jubah itu terlihat tersentak kaget begitu menyadari para prajurit istanalah yang kini bergabung bersama mereka di kedai tersebut, terlihat dia ingin bangkit berdiri, tapi rekannya bergegas menahan tangannya.
“Tenanglah, Pangeran. Mereka mungkin berbahaya untuk kita.”
Ya, dua orang mengenakan jubah dan topi itu tidak lain adalah Pangeran Yaoshan dan Panglima Jianying. Terhitung lima hari berlalu semenjak mereka melarikan diri dari istana. Mereka terus berlari tanpa tujuan tanpa mengetahui kabar terkini di istana, ingin kembali ke istana pun belum berani karena khawatir suasana di sana masih kacau balau. Tentu saja Yaoshan begitu ingin kembali ke istana, tapi Jianying dengan tegas menolak sehingga dia pun tak memiliki pilihan selain menurut. Kini saat melihat prajurit istana bergabung dengan mereka, Yaoshan sebenarnya ingin menghampiri mereka untuk menanyakan kabar di istana, tapi lagi-lagi pengawal pribadinya itu dengan lancang menghalanginya.
“Lepaskan aku,” ucap Yaoshan sambil mendelik tajam pada Jianying.
“Mohon jangan gegabah. Jangan membuat pelarian kita sia-sia. Saya harap Anda mengerti. Anda pasti tidak ingin tertangkap sebelum bisa bertemu lagi dengan Yang Mulia Kaisar dan Permaisuri, bukan?”
Yaoshan berdecak jengkel, tapi toh dia dengan terpaksa kembali mengalah dan mengurungkan niat untuk menghampiri prajurit-prajurit istana itu.
“Maaf, Tuan-tuan jadi menunggu lama. Ini makanan pesanannya,” ucap wanita pemilik kedai yang kini kembali seraya menghidangkan beberapa makanan yang dia bawa, di atas meja. “Dan ini arak pesanannya, Tuan. Ini arak terbaik kedai ini.”
“Terima kasih,” jawab Jianying pelan.
“Silakan dinikmati makanannya.” Wanita itu pun melangkah pergi begitu tugasnya telah selesai.
Yaoshan dan Jianying mulai menyantap makanan mereka dengan tenang. Ya, sangat tenang jika saja ucapan para prajurit yang tanpa sengaja merasuki gendang telinga mereka, tak membuat suasana tenang itu berubah menjadi kepanikan dan kekacauan.
“Kita belum menemukan Pangeran Yaoshan yang sudah diresmikan menjadi buronan kerajaan padahal kaisar yang baru, besok akan dinobatkan.”
Yaoshan mendelik ke arah para prajurit yang kini sedang berbincang-bincang dengan suara cukup keras sehingga bisa dia dengar apa yang tengah mereka bicarakan.
“Ya, padahal akan jadi hadiah luar biasa jika di hari yang bersejarah itu kita memberikan kepala buronan pada kaisar yang baru.”
“Aku jadi tidak sabar menunggu hadiah yang dijanjikan kaisar baru untuk kita. Pangeran Changhai menjanjikan akan memberi kita kenaikan jabatan dan gaji. Juga memberikan sejumlah uang untuk kebutuhan keluarga kita. Apa menurut kalian pangeran akan menepati janji?”
“Tentu saja. Pemberontakan waktu itu berhasil karena dia menjanjikan hal itu, jika sampai berbohong maka siap-siap saja semua orang akan berkhianat. Aku yakin Pangeran Changhai tidak akan berani mengingkari janji.”
“Tapi aku kasihan pada Kaisar Xingsheng. Sebenarnya dia kaisar yang baik.”
“Baik kau bilang? Cih, iya dia memang baik pada rakyat, tapi pada prajurit seperti kita?” Prajurit itu kembali mendecih sambil meludah sembarangan. “Kita diabaikan olehnya. Bahkan gaji yang kita terima juga sangat kecil. Padahal kita yang bekerja keras untuk menjaga keamanan kerajaan. Dia raja yang sangat tidak adil. Aku senang kepalanya sekarang digantung di gerbang istana.”
Yaoshan terbelalak mendengar berita yang luar biasa buruk itu, dia begitu terguncang mendengarnya hingga tanpa sadar kedua tangannya terkepal erat.
“Aku kasihan pada Permaisuri Liu Fei. Padahal Pangeran Changhai bersedia mengampuninya asalkan dia bersedia menjadi selirnya, tapi permaisuri lebih memilih mati bersama suaminya.”
“Mereka pasangan yang menyedihkan, kepala mereka sekarang menjadi pajangan di gerbang istana.”
Para prajurit itu tertawa terbahak-bahak, tak menyadari ucapan mereka sukses membuat seseorang marah bukan main.
Yaoshan bangkit berdiri dari posisi duduk, dan itulah kesalahan besar yang dia lakukan karena tindakannya menarik perhatian salah satu prajurit. Prajurit itu memicing tajam menatap sosok pria yang tiba-tiba bangkit berdiri dengan kasar hingga kursi yang dia duduki jatuh ke lantai dan menimbulkan suara ribut. Saat pria mengenakan topi itu mengangkat kepala, sang prajurit pun terbelalak kaget.
“Hei, itu kan ... Pangeran Yaoshan?”
Jianying berdecak kesal, Yaoshan telah melakukan kecerobohan fatal karena tak mampu mengontrol amarahnya. Kini keberadaan mereka telah diketahui oleh para prajurit dan entah akan jadi seperti apa nasib mereka setelah ini.