BAB 2

1411 Words
Asgaf sama sekali tidak berniat untuk membuat mahasiswinya takut. Namun, sikapnya terjadi begitu saja mengingat pertemuannya dengan wanita mudah yang dijodohkan dengannya oleh sang ibu. Ia membawa skripsi yang baru saja diberikan oleh mahasiswinya itu ke dalam ruangannya. Membaca kalimat demi kalimat yang disusun oleh mahasiswi cerdas seperti Nafla. Ia tahu bahwa tidak banyak yang perlu diperbaiki oleh gadis itu mengingat semuanya hampir sempurna kecuali di beberapa kata. Kata-kata yang di copy-paste dari para expert juga tidak sepenuhnya ia paraphrase. Mungkin Asgaf perlu menulis sedikit cara agar mempermudah Nafla untuk mem-paraphrase kata-kata dari para ahli. Mencoret sedikit bagian yang diperlukan sebelum melihat ke halaman-halaman selanjutnya. Rizal benar. Nafla sudah bisa masuk Bab IV yang hanya tinggal menulis hasilnya saja. Lalu, setelahnya gadis itu bisa langsung naik sidang. “Saya sudah memeriksanya tadi, Pak Asgaf,” suara Rizal seketika masuk ke pendengarannya membuat Asgaf menengadah. “Menurut saya, Nafla sudah pantas untuk lanjut ke Bab IV.” “Saya hanya ingin memastikannya saja,” balas Asgaf tanpa senyuman. “Tampaknya Anda benar jika Nafla sudah bisa lanjut ke Bab IV. Nanti saya yang akan menghubunginya langsung.” Rizal mengangguk dan tersenyum sopan pada Asgaf yang lebih tua 2 tahun darinya itu. ●●● Pak Asgaf DP 1 Selamat siang. Skripsi sudah selesai saya periksa. Silakan ambil ke rumah saya. Wajah Nafla terlihat kaget saat tiba-tiba menerima pesan dari dosen pembimbingnya itu. Ia berdecak jengkel jika harus disuruh ke rumah dosen karena Nafla lebih suka bertemu di Kampus. Tapi, apa boleh buat. Ini adalah hari libur sehingga kampus tutup dan dosen sok rajinnya ini justru mengganggu jadwal liburnya. Sial! Nafla Baik, Pak. Terima kasih. Mau tidak mau Nafla harus membalas dan berterima kasih kepada dosennya itu. Ia benar-benar tidak ingin mencari masalah atau bimbingan skripsinya akan diperlambat. “Ma, Nafla izin ke rumah dosen dulu...” Tergopoh-gopoh sosok wanita paruh baya tampak memakai apron menghampiri puterinya. “Lho, hari ini kan minggu sayang. Ngapain kamu ke rumah dosen?” “Nafla baru dapet pesan dari Pak Asgaf. Lebih cepat lebih baik ‘kan, Ma? Jadi, Nafla harus pergi sekarang. Bye, Ma...” “Hati-hati, Sayang. Minta antar Pak Surdi aja.” Nafla menggeleng lantas mengecup pipi ibunya. “Nggak perlu, Ma. Nafla bawa mobil aja. Assalammu’alaikum,” serunya setelah menyalami sang ibu. “Wa’alaikumsalam. Hati-hati, Nak.” “Iya, Ma...” Mengambil tasnya, Nafla segera beranjak untuk pergi ke rumah Pak Asgaf. Berharap bahwa kali ini bapak duda satu itu tidak bertingkah macam-macam. Tak butuh waktu lama Nafla sampai di rumah dosennya mengingat keadaan cukup lengang pagi ini. Ia menatap rumah besar dua tingkat itu dengan kagum. Tidak hanya sekali, namun setiap Nafla kemari ia selalu mengagumi rumah ini. Memarkirkan mobilnya di depan pagar nan tinggi itu. Nafla menggerakkan kakinya untuk beranjak masuk. “Cari siapa, Non?” tanya seorang yang sepertinya penjaga taman luas itu dari balik pagar. Nafla menggaruk tengkuknya dan menjawab pelan, “Saya cari Pak Asgaf, Pak. Ada?” “Oh, Den Asgaf. Ada-ada. Silakan masuk, Non,” balas Bapak tersebut sambil membuka pintu pagar. “Mobilnya bawa masuk aja, Non.” “Ah, nggak pa-pa, Pak. Saya juga nggak lama kok.” Terlihat si bapak mengangguk sebelum menyuruh Nafla mengikutinya. “Sepertinya saya sering melihat Non. Salah satu kenalan Den Asgaf?” Seketika Nafla nyaris tersedak, “B-bukan, Pak. Saya mahasiswinya mau konsul skripsi.” “Oh, begitu...,” sahut si bapak yang tidak Nafla ketahui namanya. “Mari, lewat sini, Non. Biasa Den Asgaf ada di ruang olahraga kalo minggu pagi begini.” “Saya tunggu disini saja, Pak,” tolak Nafla ketika bapak paruh baya itu hendak mengajaknya ke ruang olahraga. Terlihat bapak itu meragu sebelum mengangguk. “Ya sudah. Non tunggu disini, saya panggil dulu Den Asgafnya.” “Iya, Pak,” Nafla menyahut kalem dan memilih duduk di sofa ruang tamu yang luasnya kelewatan. Mengedarkan pandangannya, Nafla kembali berdecak kagum. Tidak ada habisnya ia mengagumi rumah dengan design interior yang luar biasa bagus. Lalu, tak lama ia melihat dua orang suara perempuan tampak sedang saling bercakap. Jelas Nafla mengenali perempuan kecil yang nyaris berusia 12 tahun itu mengingat ia sering kemari untuk urusan kampus. Dan perempuan satunya adalah ibunda dari dosennya ini. “Nafla? Sudah lama?” tanya Ibunda Asgaf yang bernama Viona. “Kak Nafla?” seru Caca sambil berlari ke arahnya. “Lama banget kakak nggak kemari?” Nafla tersenyum dan bangkit dari duduknya. Menyalami ibunda dosennya sebelum mengelus anak perempuan Asgaf. “Baru sampai kok, Bu,” jawabnya pelan lalu beralih pada gadis kecil yang kini duduk di sebelahnya. “Kamu apa kabar?” “Baik, Kak. Ini rencana mau ikut Oma belanja. Kakak ikut yuk? Biar aku ada temennya.” Seketika Viona mendelik lantas menggeleng. “Tidak, Sayang. Kak Nafla sedang ada urusan dengan Papamu. Jadi, kita pergi berdua saja.” “Yah... Tapi...,” kekecewaan terlihat jelas di wajah Caca. Nafla tersenyum manis melihat puteri dari dosennya tersebut. “Lain kali kita akan jalan-jalan bersama, gimana?” “Tapi, ini hari libur kak. Masa sih kakak ada tugas,” tukasnya tidak percaya. Viona menggelengkan kepalanya pelan. “Nanti kalau kamu sebesar Kak Nafla juga kamu ngerti sendiri. Yuk, kita pergi sekarang. Kamu mau beli bahan untuk bikin mochi kan?” Caca mengangguk antusias. “Tapi, aku mau bikinnya sama Kak Nafla juga, Oma.” “Kak Nafla sibuk—” “Pa, Kak Nafla boleh ikut Caca belanja ‘kan?” sela Caca cepat saat melihat ayahnya yang hadir dengan rambut basah tampak baru saja selesai mandi. “Please, Pa... Biar Caca ada temennya.” Asgaf menatap puterinya yang memohon sebelum melirik Nafla sekilas. “Gimana, Na? Kamu mau temani anak saya?” “Eh?” gumamnya tidak percaya. “Tapi, saya...” “Skripsi kamu sudah bagus. Pak Rizal juga sudah bilang sama saya dan kamu memang bisa langsung lanjut ke Bab IV.” Asgaf memberikan skripsi Nafla lalu membiarkan gadis itu memeriksanya. “Hanya perlu paraphrase kata-kata dari para ahli. Kamu bisa menggunakan web plagiarism untuk memeriksanya. Selebihnya, sudah oke.” Nafla menatap ragu pada skripsinya. Sejujurnya, ia ragu menemani puteri dari dosennya ini belanja. Tapi, melihat mata bening yang penuh harap itu membuat Nafla tidak tega untuk menolak. “Jadi, apa kamu mau menemani anak saya belanja?” “Kak Nafla, ayo...,” desak Caca sambil menggoyangkan lengan Nafla. Perlahan, Nafla mengangguk tipis dan berujar. “Boleh. Tapi, Kakak nggak janji bisa lama ya?” “Kenapa?” “Soalnya Kakak udah janji sama Mama Kakak untuk pulang cepat.” Asgaf melihat puterinya tampak manyun segera menyela, “Saya akan menelepon orang tuamu.” “Hah?” “Saya yang akan memberi kabar pada orang tuamu, Nafla. Apa kurang jelas?” Viona yang terdiam dari tadi segera menyahut, “Kalau perlu kamu antar sekalian si Nafla, Gaf.” “Ng-nggak perlu kok, Bu,” sahut Nafla cepat. Ia benar-benar merasa tidak enak menolak. “Saya akan menelepon sendiri orang tua saya.” “Yeayyy... Kak Nafla ikuttt!” seru Caca girang lalu memeluk Nafla erat. Sedikit tersentak dengan pelukan itu, Nafla merasakan badannya menegang sebelum akhirnya relax karena senyuman cantik seorang Caca yang begitu tulus. “Ya sudah, sekarang kalian pergi terus. Oma mau—” “Lho, Ibu nggak jadi pergi?” tanya Nafla langsung. Mendapat perhatian dari ketiga orang yanh berada disitu. Viona tersenyum lantas menggeleng. “Sudah ada kamu, ‘kan? Lagian Caca lebih seneng ditemani sama kamu.” “Ya sudah, saya sama Caca pergi dulu ya, Bu. Caca, nggak salim Oma sama Papa dulu,” tegur Nafla menatap puteri dosennya yang kini menyengir. “Aku lupa!” ia terkekeh pelan lalu menyalami Oma dan Papanya bergantian. “Caca pergi dulu, Oma, Pa. Assalamu’alaikum...” “Biar Papa antar,” Asgaf dengan spontan menawarkan dirinya. Membuat Nafla melebarkan bola matanya sedangkan Caca tersenyum kian lebar. “Naik mobil Papa aja.” “Eh, nggak pa-pa, Pak. Kami pergi berdua aja,” Nafla jelas menolak mengingat suasananya akan semakin canggung jika ia berada satu mobil dengan dosen yang selalu menahan skripsinya ini. “Saya tidak bisa mempercayakan puteri saya begitu saja, Nafla.” Asgaf bergumam kejam membuat Nafla seketika menatap benci pada sosok duda itu. “Asgaf!” tegur ibunya yang diabaikan dengan mentah oleh Asgaf. Meraih kunci mobilnya, Asgaf menggandeng lengan puterinya. Mau tidak mau Nafla mengikuti keduanya dari belakang dengan mood yang benar-benar kacau. Dan tanpa Nafla sadari bahwa Asgaf tersenyum geli melihat tingkah mahasiswinya itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD