Bab 02 [ Iharasi Sousuke POV ]

2178 Words
“Kami kemari hanya ingin melihat keadaan Sousuke.” Ujar ayah pada paman. “Ayah, aku ini baik-baik saja! Kenapa ayah malah memperlakukanku seperti anak kecil?” “Yang sopan pada ayahmu, dasar anak bodoh!” bentak ibu sambil memukul kepalaku sangat keras hingga aku mengaduh sampai-sampai rasanya kepalaku sudah benjol hanya karena satu pukulan dari ibu saja. Ya, ibuku ini seperti monster, kalau aku menikah nanti, aku tidak akan mencari perempuan sepertinya, pemarah, menyebalkan, keras kepala dan tukang memukul! Tentu alasanku sangat jelas, aku tidak ingin anakku nanti punya ibu seperti ibu yang kasar pada anaknya sendiri. Dan ini, sumpahku! Lagi pula, apa-apaan mereka ini? Aku baru saja satu bulan tinggal di rumah paman dan bibi tapi mereka bertingkah seperti aku sudah sangat lama meninggalkan rumah dan tidak berniat kembali. Apa juga yang sudah kulakukan sampai ayah harus menengokku di sini, padahal dia tahu kalau aku tidak mungkin berbuat macam-macam di rumah paman dan bibiku sendiri? Menyebalkan. “Haha ... Sousuke anak yang baik, setiap pulang sekolah dia selalu bersama Kogure di kamar, membicarakan tentang pekerjaannya, belajar banyak hal soal kesatuan, benar kan, Sosueke?” “Yang dibilang paman itu benar! Aku tidak pernah keluyuran malam-malam, aku juga tidak pernah membeli benda tidak berguna!” “Sekarang memang belum! Dan kami tidak ingin kalau sampai kau melakukan hal-hal seperti itu!” suara ibu mulai terdengar jengah setiap aku mengoceh sambil setengah berteriak. Tentu saja aku marah! Apa yang mereka khawatirkan? Aku ini sudah SMP, tinggal sedikit lebih jauh dari mereka bukan berarti membuatku nakal seperti berandal yang bercita-cita menjadi Yakuza di kota besar. “Sousuke, bicaralah yang tenang.” Kali ini ayah yang menasehatiku. Sial, rasanya kalau ibu aku bisa menjawab apapun, tapi jika ayah yang sudah bicara, aku sama sekali tidak bisa menjawab meski itu hanya sebuah kata ‘ah’. Sementara atmosfer yang dikeluarkan oleh ayah terasa sedikit lebih berat, berbeda dengan yang dikeluarkan oleh paman yang lebih tenang dan terus tertawa seperti sedang menonton acara lawak di televisi. Pamanku ini memang bukan adik kandung ayah, harus kuakui kalau kakekku dulu sempat menikah lebih dari satu kali dan punya anak dari masing-masing istrinya, dan pamanku ini adalah anak dari istri kakekku yang satu lagi. Meski pun hubungan ayah dan paman hanya sebatas saudara tiri, tapi bisa kubilang kalau mereka cukup akur walau mereka tidak lahir dari ibu yang sama. “Bagaimana dengan nilai sekolahmu?” tanya ayah lagi. “Bagus, aku tidak perlu mengulang pelajaran di liburan musim panas nanti.” Jawabku sambil memalingkan wajahku dari ayah. Ngh, menyebalkan sekali ayah ini. Dia benar-benar sedang menekanku sekarang, aku benci kalau ayah sudah mengintrogasiku berlebihan seperti sekarang ini, karena aku bisa sangat jelas merasakan aura Alpha yang dimiliki oleh ayah. “Bu, aku benar-benar tidak berbuat macam-macam di sini, aku hanya ingin belajar dari Kogure tentang kepolisian, aku ingin jadi polisi, bukan jadi penjahat! Jadi biarkan aku belajar, lagi pula jarak dari Kobe ke Kyoto itu sama sekali tidak jauh, kenapa kalian harus sekhawatir ini padaku?” “Tentu saja kami khawatir, hasil pemeriksaan terakhirmu belum keluar.” Jawab ayah singkat. Itu .... Lagi-lagi aku memalingkan wajahku dari orang tuaku. Apa yang mereka bicarakan memang benar, hasil pemeriksaan terakhirku belum keluar, rasanya cukup pantas kalau mereka khawatir padaku. Tapi, kenapa mereka harus sekhawatir itu? Aku yakin kalau aku ini adalah Alpha! Aku mewarisi gen ayahku yang seorang dominan, dan mustahil kalau aku sampai berakhir jadi Omega menyedihkan. “Pemeriksaanmu kapan akan dilakukan?” “Aku tidak tahu,” jawabku ketus, “kemarin aku ke rumah sakit hanya disuruh menunggu sampai usiaku lima belas tahun.” “Kau ini sudah lima belas tahun, tahun ini.” “Ya, mana kutahu! Aku bahkan tidak tahu dokter itu bilang apa soal kematangan hormonal.” Jawabku lagi, dan sekali lagi juga ayah terlihlat sangat cemas. Entah sadar dengan sikap canggung saudaranya atau tidak, tapi yang jelas saat wajah ayah terlihat tidak biasa dia langsung meminta ayah untuk ikut dengannya minum di ruang kerja. Meski aku sangat jarang melihat ayah minum, tapi aku tidak bisa mengatakan kalau ayah bukan pemabuk. Aku pernah memergoki ayah mabuk saat menonton acara liga sepak bola sampai ketiduran di depan televisi. Saat ayah dan paman pergi, di sana hanya menyisakan aku dan ibu saja, dan wajah ibu pun tidak jauh berbeda dengan apa yang diperlihatkan ayah padaku. “Apa?” tanyaku pada ibu yang seperti enggan memalingkan wajahnya. “Sebaiknya kita kembali saja ke Kobe.” Ajak ibu dengan nada yang terdengar sangat khawatir. Ini juga bukan hal asing untukku. Sudah sangat sering juga ibu memintaku untuk kembali ke Kobe, sekolah di sana dan hidup normal dengan apa yang kami miliki di sana. Dan kalau pun aku memang ingin menjadi polisi seperti cita-citaku, aku hanya harus melakukannya setelah pemeriksaan terakhirku keluar. Tapi aku terus menolak. Karena bagaimana pun, ingin belajar lebih banyak dari Kogure sebelum aku benar-benar lulus dari SMP. “Sousuke,” panggil ibu lagi, “kita lupakan tentang pulang ini. Bagaimana dengan teman-temanmu? Apa ada yang aneh dengan mereka?” “Aneh? Seperti apa?” “Seperti mengendusmu, m***m padamu atau ...?” “Aku tidak pernah dapat perlakuan aneh begitu, teman-temanku semuanya baik-baik saja padaku, tidak pernah ada yang berusaha mengendus, berbuat m***m atau bahkan memperlakukanku tidak senonoh.” Jawabku jujur. Ya, memang begitulah, tidak ada yang sampai bisa berbuat seperti itu padaku karena memang aku tidak pernah melakukan apapun, meski aku tidak tahu apakah aku sudah mengeluarkan feromon atau tidak. Tapi yang jelas, tidak pernah ada satu pun temanku yang pernah melakukan itu padaku. “Syukurlah kalau memang tidak seperti itu. Tapi aku harap, kau bisa lebih bisa menjaga dirimu sendiri dan sebaiknya kau pergi ke dokter dan meminta suppressant sementara sampai hasil pemeriksaanmu keluar.” “Dokter belum menganjurkanku untuk itu.” “Ini memang dokter, atau hanya akal-akalanmu?” Aku memajukan bibirku. Rasanya sebal sekali aku pada orang tuaku sekarang, sejak aku tinggal jauh dari mereka, rasa curiga mereka benar-benar sangat tinggi padaku, apalagi soal pemeriksaan terakhirku yang belum keluar mereka seperti sedang berusaha membawaku masuk ke dalam kandang. “Bu, aku boleh minta uang?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan kami. Dan saat aku mengatakan itu, wajah ibu tiba-tiba berubah sangat merah, asik. Ibu marah sekarang, dan entah kenapa rasanya aku sangat senang setiap kali ibu memarahiku. Dan saat ibu terlihat sangat marah, aku hanya bisa mendengarkan sambil menulikan telingaku rapat-rapat sambil berharap kalau telingaku tidak pegang karenanya. Hampir seharian ibu dan ayah di rumah paman dan bibi, yang membuat mereka sangat lama itu adalah ibu harus menunggu ayah selesai minum dengan paman, baru setelahnya mereka benar-benar pulang ke rumah mereka, meninggalkanku seperti tidak ada apa pun di sana. “Sousuke.” Panggil paman setelah kembali dari mengantar ayah ke stasiun. “Ya, paman?” “Jangan terlalu diambil hati omongan ayahmu. Dia hanya khawatir karena kau adalah anak mereka satu-satunya.” “Aku tahu, tapi mereka tidak harus menengokku kemari setiap bulan, seperti itu.” Mendengar jawabanku, paman hanya tertawa kemudian mengusak rambutku sampai berantakan, sialnya aku tidak bisa menahan paman untuk tidak melakukan hal tersebut. “Pergilah mandi, lalu tidurlah.” Aku mengangguk kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Aku memang tidak bisa membantah apa yang dikatakan oleh ayah, tapi aku juga tidak bisa mengikuti keinginan ayah untuk kembali ke Kobe. Di sini, aku bisa belajar beberapa hal dari Kogure, belajar tentang menjadi polisi dan banyak hal, lagi pula ... aku sudah punya banyak teman di sini, aku juga tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Seperti yang diinginkan paman, aku langsung masuk ke dalam kamar, mandi, mengganti pakaianku dan tidur. Tapi sebelum itu, aku masuk ke dalam kamar Kogure lebih dulu untuk membaca. Ada banyak sekali buku tentang kepolisian di kamar milik kakak sepupuku ini, tentang modul-modul kepolisian, tentang semua hal yang tidak pernah kutemukan di perpustakaan. Bahkan catatan-catatan di sekolah milknya terlihat sangat rapi dan bisa kupahami dengan mudah. Bahkan aku bisa memahaminya hanya dengan membaca sendiri tanpa harus bertanya pada Kogure. Di samping itu, aku juga sering mendapat soal-soal yang harus kuselesaikan dari Kogure, dengan semua yang kudapat di sini, refleks dan pemahamanku tentang kasus-kasus membuka intuisiku untuk mengungkap apa yang tidak pernah bisa dipikirkan oleh aku yang sebelumnya tidak pernah belajar seperti ini. Kraak.... Pintu terbuka saat aku sedang asik membaca, tiba-tiba Kogure masuk. “Wah, rajin sekali...?” panggilnya seperti sudah biasa menemukanku di dalam kamarnya, meringkuk di lantai sambil membaca buku-buku miliknya. “Kogure, tidak biasanya kau pulang jam segini?” tanyaku padanya yang memang tidak biasa pulang di jam seperti ini. Biasanya Kogure akan pulang di atas pukul sembilan malam dan menemuiku besok pagi sambil memberikan catatan-catatan kejahatan yang dia dapatkan di kantornya untuk kupelajari. “Iya, pekerjaanku tidak terlalu sibuk hari ini jadi aku pulang lebih cepat.” “A—kalau begitu, aku akan bawa buku-buku ini ke kamarku.” “Tidak masalah, kau boleh di sana.” ujar Kogure sambil menaruh tas kerjanya di atas meja belajar tak jauh dariku. kogure terlahir dari pasangan Alpha, meski begitu tidak langsung membuatnya menjadi seorang dominan. Berbeda dengan ayahku yang memang seorang dominan, dan aku berharap, kalau hasil pemeriksaan terakhirku keluar nanti, aku bisa menjadi dominan juga sepertinya. Dan dengan cita-citaku yang ingin menjadi seorang polisi tidak akan berakhir begitu saja. Karena siapa pun tahu, saat kau adalah seorang Omega, maka dunia seperti enggan menerimamu dengan gender tambahan seperti itu. Terlebih, aku ini seorang laki-laki. Akan sangat memalukan untukku kalau sampai hasil pemeriksaan terakhirku mengatakan kalau aku ini adalah seorang Omega. Mungkin, aku juga akan jijik pada diriku sendiri. “Hei, Sousuke.” Panggil Kogure lagi. “Hm?’ “Kau pakai sampo baru?” “Ha? Kenapa?” “Tidak, hanya saja ... aromanya sangat enak. Baunya seperti karamel.” Ujar Kogure sambil berjalan mendekatiku lalu mengendus-ngendus aku seperti bau tubuhku benar-benar sangat enak di hidungnya. Belum lagi, wajah Kogure juga terlihat sangat merah, entah dia terliat sakit atau tidak, tapi rasanya aku tidak nyaman dengan ekspresi Kogure sekarang. Hanya saja, semakin lama Kogure mengendusku, semakin tidak nyaman rasanya. Jadi, sebelum Kogure berbuat semakin tidak masuk akal, aku langsung meminta izin untuk kembali ke kamarku sambil membawa buku-buku yang sejak tadi k****a. Tiba di kamar, aku langsung mengunci kamarku dan berharap agar Kogure tidak mengejarku atau menggedor pintu kamarku setelah ini. # # # Pagi ini pun, setelah aku tidak ingin bertemu dengan Kogure. Entah kenapa rasanya aku sedikit takut dengan apa yang dilakukan oleh Kogure semalam, meski saat aku mengambil jatah sarapanku dari bibi dan membungkusnya sebagai jatah makan siang, aku langsung berlari ke sekolah, mengabaikan apa yang bibi teriakkan padaku untuk mengisi perutku lebih dulu sebelum berangkat ke sekolah. Dan karena aku pergi terlalu pagi, saat aku masuk ke dalam kereta, jadi tidak ada terlalu banyak orang yang membuatku berdesak-desakan satu dengan lainnya. Hanya saja, saat kereta berhenti di stasiun kedua, tiba-tiba saja penumpang menjadi membludak dan aku harus memberikan kursi milikku pada seorang wanita paruh baya yang kesulitan di tengah kerumunan seperti ini. Karena itu, aku harus berdiri dan berjejal dengan orang-orang yang berada di dalam kereta. Biasanya setiap hari memang selalu seperti ini, tidak ada yang berubah, tidak ada yang aneh, semuanya terasa sama dan aku juga merasa kalau ini memang normal kulakukan setiap hari. Hanya saja.... Saat aku sedang berdiri sambil berpegang pada pegangan atas, tiba-tiba saja aku merasa kalau sesuatu menyentuhku dari belakang. Itu tangan seseorang. Sepasang mataku terbelalak, tubuhku kejang, saat tangan yang awalnya aku pikir hanya tidak sengaja itu, ternyata memang sengaja menyentuhku. Dia sengaja meremas bokongku, mengelusnya beberapa kali bahkan aku bisa merasakan kalau ada tangan lain yang mulai melingkar turun ke selangkanganku dan berniat meremas penisku dari sana. Apa yang harus kulakukan? Berteriak? Tidak! Aku tidak mungkin berteriak, karena kalau sampai aku berteriak, bukan hanya aku akan jadi pusat perhatian, tapi juga aku akan berurusan dengan polisi, wartawan dan semua berita tentangku akan langsung terpampang di media cetak dan elektronik. Tidak! Tidak! Aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu, tapi tangan orang ini sangat membuatku risih, dia terus saja meremas bokongku dan aku hanya bisa memejamkan mata karena tidak sanggup berkata-kata. Dan saat aku sedang seperti ini, tiba-tiba saja tanganku ditarik oleh seseorang untuk mendekat ke arahnya. “A—“ “Tetap di sini.” Ujarnya padaku setelah aku berada di sisi dia. Siapa orang ini? Kuangkat wajahku untuk melihat wajahnya, kelihatannya dia seumuran denganku, hanya saja dia terlihat lebih tenang, perangainya pun terlihat sangat gagah, sangat berkharisma, hanya saja ... wajah tampannya terlihat sangat dingin. Tapi, apa-apaan aku?! Aku segera menepis tangannya yang masih menggenggam tanganku, menyingkirkan dia dariku dan kupasang wajah sekeras mungkin agar dia tidak tahu kalau aku sedang terpesona oleh ketampanannya. “Apa-apaan kau?!” “...” “Jangan sekali-kali melakukan ini padaku! kurang ajar!” bentakku. Beruntung setelah aku selesai membentak, kereta juga berhenti dan aku langsung berlari turun dari sana. Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku benar-benar berterima kasih padanya karena dia sudah menolongku, tapi yang kulakukan malah kebalikannya. Aku tidak bisa bayangkan seperti apa mukaku sekarang, atau yang harus kulakukan jika aku bertemu lagi dengannya di lain hari. _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD