Mirror Mirror on The Wall

1279 Words
            Mirror, mirror on the wall. Who am I after all? Cermin, cermin di dinding. Siapa sebenarnya saya?             Renata menatap pantulan dirinya di dalam cermin kamar mandi. Dia menyentuh tulang pipinya yang menonjol, menyentuh tulang hidungnya yang menjulang dan seolah itu adalah benda yang sangat rapuh, dia mulai menyentuh bibirnya dengan perlahan. Rambut Renata tengah basah dan tergerai. Dia meneyentuhnya sekilas. Membandingkan dengan rambut wanita bernama Laura yang ada di pigura-pigura foto, yang ada di album foto bahkan yang ada di ponsel milik Bamantara. Setelah semua foto-foto itu menunjukkan bahwa Laura selalu membiarkan rambutnya berwarna hitam alami, apa yang kemudian menyebabkannya memutuskan untuk mengecat rambut?             “Aku tidak benar-benar tau apa yang terjadi enam bulan yang lalu. Tapi beberapa minggu sebelum kamu menghilang, kamu bilang padaku ada sebuah rahasia besar yang selama ini kamu sembunyikan dariku. Kamu bilang akan mengatakan semuanya setelah berhasil menjalankan rencanamu. Tapi, akhirnya kamu menghilang tanpa pernah memberitahukanku apa pun. Aku sudah membuat laporan di kepolisian tapi, setelah dua bulan berlalu tampaknya mereka mulai menghentikan pencarian di sekitar jurang dan sungai itu. Polisi-polisi itu yakin kamu masih hidup namun memang sengaja pergi dan tak ingin ditemukan.”             Kalimat Bamantara siang tadi masih terngiang di benak Renata. Saat mendengarnya, tidak ada yang bisa Renata lakukan selain mengerutkan keningnya. Rahasia besar? Oh, bagus sekali! Sekarang, jangankan rahasia itu, tentang dirinya saja tidak ada yang bisa dia ingat. Setiap kali melihat foto Laura, Renata tak bisa menyangkal bahwa wajah mereka sangat mirip. Jika rambutnya juga berwarna hitam, maka bisa dipastikan tidak ada yang bisa membedakan keduanya. Tapi, meskipun sedang hilang ingatan, jauh di alam bawah sadarnya Renata selalu meyakini, bahwa wanita yang dia lihat di foto-foto itu bukan dirinya. Laura adalah orang asing yang mungkin saja juga tidak pernah dijumpainya.             “Laura, atau siapa pun aku, apa sebenarnya yang sudah aku lakukan enam bulan belakangan ini?” Renata bergumam kepada dirinya sendiri.             “Soal ibuku dan Alya yang tampak tidak suka padamu itu karena mereka menganggap kamu menikahiku hanya demi uang dan status sosial yang lebih baik. Ibu tidak pernah setuju dengan pernikahan kita karena….kamu tau, aku seorang pilot. Almarhum ayahku juga seorang pilot, tapi kamu….kamu hanyalah seorang gadis yang tidak tamat SMA.”             Kalimat Bamantara saat itu sontak membuat Renata tersentak. Siapa sebenarnya yang sedang dibicarkan oleh Bamantara? Seperti bukan dirinya. Meski kemudian Bamantara menambahakan,“Tapi aku tau sejak awal perjumpaan kita, bahwa kamu tidak seperti yang keluargaku sangkakan. Aku tidak pernah memandang statusmu, Laura. Aku sudah mencintaimu sejak pertama kita bertemu. Dan asal kamu tau, instingku jarang meleset.” Tetap saja kalimat Bamantara itu tidak memuaskan dahaga Renata akan pertanyaan tentang siapa Laura, atau siapa sebenarnya dirinya.             “Kamu baik-baik saja?” Renata tersentak karena saat keluar dari kamar mandi, Bamantara sudah berada lagi di dalam kamar mereka. Bukankah tadi pemuda ini bilang akan keluar karena ada beberapa urusan terkait pekerjaan? “Kamu mandi lama sekali. Ada yang sakit?”             Renata gegas merapatkan bathrobe yang sedang dikenakannya. Dia merasa tidak nyaman saat Bamantara berjalan mendekatinya. Dia sedang tidak memakai apa pun di balik bathrobe itu. “Ada yang sakit?” Bamantara mengulang kalimatnya. Kali ini sambil menyentuh pundak Renata. Wajahnya tampak cemas. Renata gegas menggeleng. “Aku…aku hanya sedang memikirkan kalimatmu di dalam kamar mandi tadi.”             “Kalimatku?” Kedua tangan Bamantara kini berpindah di pinggang ramping Renata. Bamantara bisa merasakan kejutan kecil di tubuh wanita itu. Renata berusaha mundur, tapi Bamantara menahan pinggangnya. Merapatkan tubuh mereka. Demi Tuhan dia sudah sangat merindukan istrinya yang selama ini hilang entah ke mana.             Renata menatap wajah Bamantara yang kini jaraknya tak sampai sejengkal tangan orang dewasa dari wajahnya. “Aku sedang memikirkan tentang siapa sebenarnya diriku.” Jawab Renata kemudian.             “Sudah pasti kamu adalah Laura istriku.” Bamantara membalas tatapan mata cemerlang yang sejak sadar dari koma itu gemar sekali menghujam jantungnya. Sorot mata Bamantara berpindah pada kedua bibir Renata, dia baru saja akan menciumnya ketika Renata berpaling dan membuat ciuman Bamantara akhirnya malah berakhir di pipi tirus wanita itu.             “Tolong jangang lakukan ini!:” Renata mendesis.             “Lakukan apa?” Bamantara jelas paham maksud Renata namun dia tetap saja bertanya.             “Tolong jangan sentuh aku. Setidaknya sampai ingatanku kembali.”             “Bagaimana kalau ingatanmu tidak pernah kembali?” Tangan Bamantara masih erat memeluk pinggang Renata.             Renata tersenyum sinis. “Kalau memang seperti itu maka kamu tidak akan pernah berhak lagi atas tubuhku!”             Bamantara terkejut. Saat mengucapkan kalimat itu, ada sepersekian detik dia merasa yang sedang dipeluknya saat ini bukanlah Laura. Laura tidak mungkin memiliki keberanian untuk mengucapkan hal-hal demikian. “Omong kosong!” Kalimat itulah yang akhirnya keluar dari mulut Bamantara. “Kamu istriku. Aku sudah hafal setiap lekuk dan tanda lahir di tubuhmu.” Tangan Bamantara turun lebih rendah mencapai paha Renata. Dia kemudian berbisik di telinga wanita itu, “Ada tanda lahir bulan sabit di paha bagian dalam.”             Renata bisa merasakan pipinya memanas. Dia yakin pasti kini wajahnya memerah. Untung saja tepat di saat itu ketukan di pintu kamarnya terdengar. Saat Bamantara melepaskan tangannya dari tubuh Renata dan merenggangkan jarak di antara mereka, Renata segera mengambil kesempatan itu untuk berhambur ke arah lemari pakaian. Sementara Bamantara berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang mengetuknya tadi.             “Oh, ada apa Bu Dar?” Ibu Darmi, asisten rumah tangga mereka yang mengetuk. Wanita paruh baya itu mencuri-curi untuk melongok ke dalam kamar dari balik punggung Bamantara, dan ketika bertemu dengan bayangan Renata, yang dikirinya sebagai Laura, dia mendadak bergidik ngeri.             Sementara itu, Renata terpaku di depan lemari karena tidak tahu baju apa yang harus dipilihnya. Dari tempatnya berdiri dia bisa mendengar suara Bu Dar menjawab Bamantara, “Ini barang-barang Non Laura yang dari rumah sakit.”             “Terima kasih.” Bamantara menerima tas plastik berukuran sedang dari ART-nya itu dan kembali menutup pintu kamar mereka.             Tepat di saat yang bersamaan, Renata menyambar celana jins dan kaus oblong yang walaupun belum dikenakannya, dia yakin bahwa kaus itu akan sangat longgar di tubuhnya, dan bergegas masuk kembali ke dalam kamar mandi sebelum Bamantara melakukan hal-hal yang berpotensi membuat pipinya kembali memerah.             Di dalam kamar mandi, Renata tak langsung berpakaian. “Ada tanda lahir bulan sabit di paha bagian dalam.” Kalimat Bamantara itu terngiang lagi di kepalanya. Renata melepas bathrobe-nya dan dengan segera mencari tanda lahir yang Bamantara maksud. Betapa terkejutnya dia saat mendapati tanda lahir berwarna coklat muda berbentuk bulan sabit tercetak di paha kirinya.             Jadi, benarkah dia Laura? Tanda lahir ini terletak di bagian tubuh yang sangat pribadi. Hanya bisa terlihat jika dia tak memakai celana. Dan Bamantara mengetahuinya? Jadi, benarkah dia adalah Laura? Renata tidak membiarkan fakta itu menyita kesadarannya. Dia segera mengenakan pakaian dan keluar dari kamar mandi.             “Maukah kamu menceritakan kepadaku awal mula pertemuan kita?” tanya Renata pada Bamantara.             “Tentu saja.” Bamantara menjawab tanpa ragu. “Ayo kita bicara di taman belakang. Kamu pasti sudah sangat rindu pada bunga-bunga yang selama ini kamu tinggalkan.”             “Bunga?” Renata mengernyit.             “Ya. Taman bunga di belakang adalah tempat favoritmu. Bunga-bunga tidak pernah gagal membuatmu tersenyum.” Bamantara beranjak dan mendekati Renata, “Ayo!”[]   =+= Halo teman-teman, Mirror Mirror on The Wall ini adalah karya orisinal saya yang hanya exclusive ada di Innovel/Dreame/aplikasi sejenis di bawah naungan STARY PTE. Kalau kalian membaca dalam bentuk PDF/foto/video atau ada di platform lain, maka bisa dipastikan cerita ini sudah DISEBARLUASKAN secara TIDAK BERTANGGUNGJAWAB serta melanggar hak cipta (copy right). Jika kalian menemukan penyebarluasan illegal ini, saya mohon dengan sangat untuk dapat memberitahukan kepada saya melalui DM i********: @sabrinalasama agar oknum penyebar novel illegal tersebut dapat saya tindaklanjuti melalui jalur hukum. Terima kasih atas pengertian teman-teman semua. (Nina Ang)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD