Sinar matahari yang masuk ke dalam kamar Dhira membuat tidur Dhira terganggu. Dhira perlahan mulai membuka kedua matanya. Rasa pusing di kepalanya masih terasa hingga sekarang.
Tubuh Dhira terasa sangat malas untuk bangun dari kasurnya ini. Tetapi ia harus memaksakan dirinya. Dhira pun mulai bangkit dari kasurnya. Ia menyenderkan dirinya di kepala kasur sembari memijit kepalanya yang sedikit pusing.
Dhira melihat ke arah jam dinding di kamarnya. Jam menunjukkan pukul 11.00 siang. Kedua orangtuanya pasti sudah berangkat untuk bekerja. Dhira pun mulai berdiri dari duduknya. Perutnya sudah meminta untuk di isi. Dengan langkah pelan, Dhira berjalan keluar kamar untuk menuju ruang makan.
Ia dapat melihat beberapa pelayan yang mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Suasana rumah Dhira menjadi ramai walaupun yang ada hanya pelayan dan dirinya. Dhira sangat terbiasa dengan keadaan seperti ini. Malahan ia merasa sedikit berbeda jika para pelayannya tidak ada di rumah ini.
"Pagi non," sapa beberapa pelayan ketika melihat Dhira. Dhira hanya menganggukkan kepalanya menjawab sapaan itu.
Ia mulai mendekati meja makan dan duduk di kursi. Dhira melihat hidangan yang ada di depannya. Nasi goreng, sosis, omelette dan beberapa roti. Ia sama sekali tidak tertarik dengan menu sarapan kali ini.
"Bi.. saya mau bubur ayam dong. Beli yang di depan komplek aja," ucap Dhira kepada seorang pelayan yang sedang menuangkan s**u untuknya.
"Baik non.. biar bibi bilangan ke pak Mulyono." Pelayan tersebut pun pergi berlalu meninggalkan Dhira.
Sembari menunggu, Dhira meminum s**u yang sudah disiapkan untuknya. Dia hanya diam termenung menatap suasana meja makan yang sangat sepi. Dhira dan kedua orangtuanya memang jarang untuk makan bersama di meja makan. Jika ada acara tertentu atau hal yang penting saja mereka akan berkumpul untuk membicarakan hal itu.
Dhira tidak tau kenapa mama dan papanya itu tidak memiliki anak lagi selain dirinya. Rasanya sangat tidak enak hidup sendiri di rumah yang besar ini. Jika ia memiliki saudara lagi, akan berbeda cerita. Dhira pasti akan memiliki teman berantem. Mendengarkan cerita Risya mengenai adik-adiknya saja membuat Dhira merasa iri kepada temannya itu.
Walupun Risya selalu menceritakan hal negatif tentang adiknya, tapi ia merasa hal itu lebih baik daripada dirinya yang sendiri seperti ini.
Bahkan jika Dhira ingin shopping saja, dia hanya ditemani oleh sopirnya. Tidak dengan mamanya. Kesibukkan kedua orangtuanya itu memang membuat Dhira kadang merasa sendiri.
"Ini non buburnya."
Lamunan Dhira buyar ketika pelayannya memberikan semangkuk bubur ayam pesanan Dhira.
"Makasih bi."
Dhira pun mulai mengaduk buburnya. Dengan perlahan ia mulai menikmati bubur ayamnya itu sendirian.
"Papa sama mama udah berangkat ke kantor?" tanya Dhira. walaupun Dhira sudah tau jawabannya tetapi ia mencoba untuk memastikan.
"Sudah non. Jam tujuh pas tuan sama nyonya langsung berangkat. Bahkan tadi gak sempat untuk sarapan."
Dhira tidak tau kenapa kedua orangtuanya itu selalu berangkat sepagi ini dan pulang malam. Untuk apa mereka memperkerjakan karyawan jika mereka yang harus turun tangan secara langsung? Dia sama sekali tidak habis pikir dengan orangtuanya itu.
***
Setelah selesai sarapan, Dhira tidak tau harus melakukan apa lagi. Ia pun memutuskan untuk pergi berbelanja keperluannya di mall. Tentu saja ditemani oleh pak Mulyono. Dhira tidak akan pernah bisa pergi sendiri.
"Anak bapak katanya udah mau masuk SMP ya?" Tanya Dhira kepada pak Mulyono.
"Iya non. Bulan depan udah masuk SMP. Saya tuh senang banget dia.bisa masuk ke salah satu SMP negeri, non. Bangga saya sama dia," jawab pak Mulyo.
Dhira tersenyum kecut mendengar jawaban pak Mulyo itu. Kata bangga yang diucapkan oleh pak Mulyo membuatnya merasa berbeda. Dia sama sekali belum pernah mendengar kata itu keluar dari mulut kedua orangtuanya. Dhira tidak tau mengapa kedua orangtuanya itu sangat dingin kepadanya. Walaupun semua keinginan Dhira selalu terpenuhi. Kadang Dhira selalu berpikir, apa mungkin setiap orang kaya di luar sana memiliki keluarga yang seperti dirinya ini.
"Kalau gitu sekarang kita beli kado untuk anak bapak."
"Gak usah non.. gak enak saya."
Dhira seketika merubah ekspresi wajahnya ketika mendengar penolakan pak Mulyono. "Kenapa gak usah? Bapak pasti belum beli keperluan sekolahnya kan? Biar kita beli sekarang, kado dari saya." Dhira mencoba untuk memaksa pak Mulyo.
"Udah kok non.. Syukurnya saudara saya ngasih seragam bekas anaknya dulu sama saya," tolak pak Mulyo lagi.
"Gak bisa gitu dong, pak. Anak bapak kan baru masuk SMP. Sekolah baru dan harus seragam baru. Gak boleh bekas gitu. Pokoknya bapak gak boleh nolak kali ini!"
Tanpa menunggu jawaban pak Mulyono, Dhira langsung berlalu meninggalkan pak Mulyo yang masih ingin mendebat dirinya. Melihat Dhira yang sudah berjalan menjauhinya, mau tidak mau pak Mulyo pun berjalan mengikuti Dhira dari belakang.
Sesampainya di sebuah toko khusus keperluan sekolah, tanpa menunggu lama Dhira mulai memilih beberapa baju untuk anak pak Mulyono. Dhira sangat senang memilih beragam jenis barang-barang. Karena itu dia terlihat sangat bersemangat untuk memilihkan seragam itu.
Tiga puluh menit berlalu, mereka akhirnya keluar dari toko sembari membawa paper bag yang berisikan keperluan sekolah. Pak Mulyono bahkan membawa paper bag dengan sedikit kesulitan. Dhira sangat banyak membelikan barang-barang untuk anaknya.
"Nanti kalau dia pakai seragam sekolahnya, bapak foto baru kirim ke saya ya. Saya mau lihat anak bapak pakai seragam SMP," pinta Dhira dengan semangat. Dhira sangat ingin melihat seperti apa jika anak perempuan memakai seragam SMP di Indonesia. Mengingat dia tidak pernah memakai seragam SMP.
"Baik non. Nanti saya akan banyak foto anak saya pas makai seragam," jawab pak Mulyo. Senyuman di wajah Dhira seketika mereka mendengarnya. Dia tidak sabar melihatnya.
"Kita makan dulu ya pak. Setelah itu bapak temanin saya nonton di bioskop. Ada film kesukaan saya lagi tayang," tutur Dhira dengan penuh semangat. Pak Mulyo tersenyum dan menganggukkan kepalanya mendengar Keinginan Dhira itu. Dia akan dengan senang hati menuruti keinginan Dhira, apapun itu. Karena menurutnya keinginan Dhira sangat sederhana untuk seukuran anak orang kaya sepertinya. Pak Mulyo juga menyadari banyak hal dari keinginan kecil Dhira. Dia kesepian.
Dhira tidak pernah pergi kemanapun sendiri. Karena memang dia takut untuk melakukan apapun sendiri. Dhira tidak ingin orang-orang menganggapnya tidak memiliki teman ketika ia pergi sendirian. Walaupun sebenarnya Dhira sangat ingin ditemani oleh mamanya untuk berbelanja baju bersama Atau ditemani papanya ketika ia ingin nonton film kesukaannya. Tapi kenyataannya dia ditemani selalu ditemani oleh pak Mulyono, supir pribadinya.
***
"Baru pulang?" Pertanyaan dari sang mama membuat Dhira menghentikan langkahnya. Dia melihat ke arah sang mama dan mulai berjalan mendekati sang mama. Ia duduk tepat di depan mamanya.
"Iya ma.. papa mana ma?" Tanya Dhira ketika ia sudah duduk di sofa.
"Belum pulang. Di kantor akhir-akhir ini banyak banget pekerjaan. Jadi mau gak mau harus lembur terus."
"Pemilik perusahaan harus lembur? Kan banyak karyawan di kantor. Untuk apa memperkejakan mereka kalau tetap pemiliknya yang kerja keras?"
Ini alasan Dhira malas untuk terlibat dalam urusan perusahaan. Ia lebih baik menjadi karyawan biasa ketimbang menjadi bos. Menurutnya gal itu sangat melelahkan.
"Makannya kamu harus ke kantor sesekali. Biar tau gimana rasanya mimpin perusahaan. Lagian kalau pemilih gak ikut campur, lama kelamaan perusahaan akan hancur kalau kamu sebagai pemilik gak ikut andil."
Dhira terdiam mendengar perkataan mamanya. Ada benarnya juga ada yang dibilang oleh mamanya. Tetapi Dhira masih memegang teguh prinsip yang ia miliki untuk tidak melanjutkan perusahaan sang papa.
"Oh iya ma.. Aku tadi habis belanja, ma. Siap itu aku dan pak Mulyo nonton. Mama tau kan Film kesukaan aku baru keluar yang kedua. Seru banget ma.. kapan-kapan nanti kita nontong bareng ya?"
Dhira sangat bersemangat menceritakan keseruan harinya kepada sang mama. Tapi respon mama membuat Dhira seketika hilang semangat.
"Kamu kan udah nonton sayang, ngapain nonton dua kali?"
Pembicaraan Dhira dan mama berhenti seketika. Dhira tidak tau harus membicaran tentang hal apa lagi. Lima menit berlalu suasana masih diam saja. Dhira yang mulai memainkan handphonenya dan mama yang fokus dengan lembaran-lembaran yang ada di depannya. Hingga sang mama mulai membuka pembicaraan.
"Besok kamu ada kegiatan?"
Dhira menatap sang mama dengan sedikit pandangan yang aneh. Tidak biasanya mama mempertanyakan hal seperti ini.
"Enggak ada. Emangnya kenapa ma?" tanya Dhira balik.
Mama Dhira meletakkan berkas-berkasnya di atas meja dan beralih menatap wajah Dhira dengan serius. "Besok siang mau belanja bareng mama gak? Udah lama kita gak belanja bareng kan?"
Dhira tidak tau apakah ia harus senang atau tidak. Ia sangat senang mendengar ajakan sang mama, tetapi tidak biasanya mamanya mau meluangkan waktunya untuk pergi bersamanya. Seketika Dhira merasa sedikit curiga dengan mamanya.
"Gimana? bisa gak?"
"Bisa ma," jawab Dhira dengan spontan. Biarpun Dhira merasa curiga tetapi ia tetap menerima ajakan mama. Dia ingin merasakan jalan bersama dengan mamanya dan menghabiskan waktu bersama.
Mama Dhira tersenyum mendengar jawaban Dhira. Hanya sebentar, setelahnya ia kembali melanjutkan membaca berkas-berkas miliknya. Percakapan Dhira dan sang mama benar-benar berkahir malam ini.
Pembicaraan itu bahkan tidak sampai tigapuluh menit. Dhira pun kembali ke kamarnya. Membereskan beberapa barang-barang belanjaannya.
Setelah selesai dengan urusan belanjaannya itu, handphone Dhira berdering menandakan panggilan masuk. Ia mengambil handphonenya dan mendapat nama Angga di layar.
Dhira tidak tau kenapa Angga tiba-tiba menghubungi dirinya. Mereka sudah lama tidak pernah saling kontak. Tapi Dhira tidak enak jika harus menolak panggilan Angga. Mau tidak mau ia pun memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Halo?" Ucap Dhira.
"Hai Dhir.. aku senang kamu mau angkat panggilan aku. Aku pikir kamu gak mau lagi berurusan sama aku," sahut Angga. Dhira sebenarnya juga tidak mau berurusan lagi dengannya. Dia hanya kasihan dengan Angga.
"Ada apa emangnya sampai kamu nelpon aku?" Tanya Dhira langsung.
"Mau ngingetin aja.. besok aku berangkat ke Aussie. Jam tiga sore, Dhir. Mungkin kalau kamu gak sibuk bisa datang."
Dhira baru mengingat hal itu. Angga sudah mengatakan kemarin. Tapi dia sudah melupakannya.
"Sorry.. kayaknya gak bisa deh, aku udah ada janji sama mama besok. Tapi aku selalu doain kamu kok supaya sampai dengan selamat. Supaya kamu berhasil gapai cita-cita kamu. Semoga perusahaan yang kamu pimpin bisa berkembang dengan pesat. Aku gak sabar dengar kabar kamu sukses nanti," tutur Dhira. Dhira mengatakan hal ini memang dari lubuk hatinya yang paling dalam. Dia sangat ingin melihat Angga sukses.
"Makasih atas doanya. Sebenarnya aku sedikit kecewa kamu gak bisa datang tapi gak masalah. Lagian kalau kita jodoh, kita pasti ketemu kan?"
Dhira tidak pernah memikirkan hal itu. Dari dulu jika Dhira sudah putus hubungan dengan kekasihnya, dia tidak akan mau lagi kembali dengan pria itu. Karena menurut Dhira, ia akan kembali jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Tapi dengan Angga...
Dhira seketika menggelengkan kepalanya. Angga memang sedikit berbeda dari kekasihnya yang lain. Tapi Dhira tidak ingin mengubah prinsipnya.
"Kalau kamu ketemu sama cewek bule di sana pasti kamu langsung jatuh hati sama mereka. Cewek-cewek di sana mandiri banget tau. Kamu kan suka sama cewek mandiri."
"Selera aku cewek pribumi, Dhir."
"Aku ada keturunan Chinese loh dari nenek," ucap Dhira spontan.
"Lah aku kok baru tau? Tapi kamu kok gak kelihatan Chinese ya? Malahan kamu kayak orang timur gitu. Atau kakek kamu orang Arab?"
Dhira tidak pernah mendapatkan informasi mengenai hal itu. Tapi memang banyak yang bilang demikian. Mungkin karena matanya yang tajam dan hidung mancungnya, jadi banyak orang mengira dia keturunan Arab.
"Enggak ah.. mama papa gak pernah cerita kalau aku ada keturunan Arab. Cuman Chinese yang ada. Tapi mungkin dari kakek-kakek buyut aku kali ya."
Dhira mengernyitkan dahinya ketika mendengar suara tawa Angga dari handphone. Suara tawa Angga terdengar sangat kencang. Dhira tidak tau mengapa Angga tiba-tiba tertawa sekarang.
"Kenapa ketawa kamu?" Tanya Dhira dengan polosnya.
"Kamu lucu! Kenapa tiba-tiba bahas masalah keluarga kamu sih? Ini aku tadi baru mau sedih loh. Gara-gara kamu jadi gak nangis aku. Air mataku kembali ke tempatnya lagi," jawab Angga.
Ketika baru menyadarinya, Dhira ikut tertawa bersama dengan Angga. Benar.. pembicaraan mereka telah keluar dari jalurnya. Mereka memang sangat sering berbicara keluar arah seperti ini. Mungkin karena itu Dhira merasa berbeda dengan Angga. Dan Angga selalu mengikuti alur percakapan Dhira. Pasangan yang sangat serasi.
"Gara-gara kamu sih bilang pribumi. Jadi keluar jalur percakapan kita ini."
"Gak masalah. Malahan aku senang bisa ketawa puas kayak tadi. Kamu benar-benar beda dari yang lain Dhir. Mana mungkin aku bisa melupakan kamu secepat itu? Pokoknya kalau kita ketemu lagi, jangan pernah lupa untuk negur aku. Jangan kayak orang asing ya.. cerita kita enggak mungkin udah berakhir, tapi kan kenangannya gak pernah berakhir."
"Cieelah.. apaan sih? Kata-katamu itu loh.. udah sekarang kamu tuh waktunya tidur. Besok kan mau flight. Nanti kalau udah sampai sana jangan lupa kabarin orang tua kamu."
"Pasti.. aku juga akan kabarin kamu nanti kalau udah sampai. Ya udah.. makasih Dhir untuk waktunya. Selamat tinggal Dhira."
Angga memutuskan panggilan telepon tanpa menunggu jawaban Dhira. Senyuman Dhira perlahan menghilang ketika sambungan itu terputus. Rasanya Angga akan benar menghilang dari dirinya.
"Selamat tinggal Angga."