episode 4

1896 Words
"eh, Zella besok-besok aku ke rumah kamu lagi,ya! Aku mengangguk. "Dengan senang hati." Jawabku memeluk nya. "Besok saat hari libur, aku suruh bunda datang ke sini, bawakan makanan kesukaan mu." Aku tertawa, lalu mengangguk. "Dan kita juga harus melanjutkan cerita tadi, nanti aku tanyakan lanjutan cerita nya. Soalnya aku juga penasaran, kenapa Miss Della bisa dekat dengan orang tua kita." Bisik Ghina. Aku mengangguk, tanda setuju. "Tapi kita harus menunggu empat hari lagi, baru hari Sabtu." Dia mengeluh. "Gak apa, Ghin." Aku menepuk bahu nya pelan. Aku mendengar suara klakson mobil. "Eh, sopirnya udah datang tuh, aku pulang dulu ya. Bye!" Ghina melambaikan tangan ke arah ku. "Hati-hati di jalan, Ghina!" Aku balas melambaikan tangan. Setelah kepulangan Ghina, aku masih menunggu di luar, memikirkan banyak hal. "Non Zella, kenapa tidak masuk?" Tanya kak Reva, salah satu pelayan di rumah ku. "Eh, nanti saya masuk." Jawabku sedikit kaget, satu karena pelayan ku datang tiba-tiba, dua karena aku terlalu lama melamun. "Baik, non." Ucapnya melangkah kembali masuk ke dalam. Setelah beberapa menit, aku mulai bosan, dan matahari mulai turun, aku pun kembali masuk ke dalam rumah. Tapi satu hal yang ganjil, dimana bi Inah? "Zella, kenapa makanan nya gak di sentuh?" Tanya mama, membuyarkan lamunanku. Setelah papa kembali dari perusahaan, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, waktu kami makan malam. "Mungkin Zella mikirin seseorang, benar begitu kan Zella?" Tanya papa menggoda ku. Aku tertawa kecil melihat alis mata papa yang naik -turun. Aku menggeleng, "enggak kok pa." Jawabku mulai menyendok makanan ke mulut ku. "Terus, kenapa kamu melamun?" Tanya papa masih menatap ku. "Tidak ada." Jawabku masih menyuap makanan ke mulut ku. "Sudah-sudah, kita cari topik yang lain saja." Lerai mama. "Hmm, bagus juga tu ma, papa setuju." Papa mengacungkan jempol ke mama. "Tadi papa di perusahaan, papa bertemu dengan para pemilik perusahaan terkenal, mereka mau bekerja sama dengan perusahaan kita, ma." Papa sudah mengganti topik pembicaraan dengan topik perusahaan. "Benarkah, pa?" Tanya mama antusias. Aku yang tadinya tidak semangat, karena mendengar cerita papa, akhirnya aku jadi semangat. "Benar." Jawab papa santai. "Papa tidak bergurau kan?" Tanya ku menyelidik. "Iya dong, masa papa bohong." Ucap papa, dengan bergaya menyebalkan. Aku hanya mendengus kesal. Mama tertawa melihat ekspresi ku yang kesal. Aku hanya melanjutkan makan, tidak berkomentar lagi. Setelah selesai makan, aku langsung beranjak ke kamar ku di lantai dua. Sebelum aku genap menaiki tangga, samar-samar aku mendengar percakapan mama dan papa. "Pa, tadi Della datang ke rumah." Ucap mama yang sedikit berbisik,walau aku masih mendengar nya. "Oh ya, ngapain?" Tanya papa juga berbisik. Aku tidak mendengar nya lagi, karena aku sudah sampai di depan kamar ku. Della? Maksudnya Miss Della? Apa mama kenal Miss Della? Dan dimana Bi Inah? Apa yang mama dan papa rahasiakan? Sejak kapan mama mengenal Miss Della? Apa yang di bicarakan mama dan Miss Della tadi? Pertanyaan itu membuatku setres. Dan kenapa mama dan papa bicara berbisik-bisik? Aku mengacak rambut panjang ku. "Hah, sudahlah, jangan terlalu dipikirkan." Aku bicara sendiri, frustasi. "Lebih baik aku tidur." Aku berjalan menuju tempat tidur ku. Aku merebahkan diri ku ke atas tempat tidur ku, aku terus memikirkan apa yang Sedang di bicarakan mama dan papa tentang Miss Della. Hingga mata ku terasa berat dan terlelap. *** "Eh, aku ada dimana?" Aku menatap sekeliling. Aku berjalan melihat-lihat isi ruangan itu. "Ini rumah?" "Tapi tidak ada rumah seperti ini di kota ku." Aku terus berpikir. Rumah itu sangat keren, walaupun aku tidak tahu benda cembung itu apa. "Apa aku masih bermimpi?" "Kenapa mimpi ku seperti ini?" Mimpi kali ini sangat janggal. Aku terus berjalan tanpa tujuan. Saat aku sedang melangkah, langkah kaki ku terhenti tepat di depan ku. Di depan ku ada benda aneh berbentuk mangkuk atau cawan yang mengambang di atas lantai. Di sana terletak benda transparan seperti hologram. Bedanya di dalam hologram ini hanya ada foto keluarga. Aku menatap foto itu lamat-lamat. Wajah anak perempuan yang ada di dalam foto itu sangat mirip dengan orang yang ku kenal. Saat aku sedang asyik menatap foto itu, terdengar langkah kaki seseorang. Sepertinya itu pemilik tempat ini. "Ayah!" Aku mendengar suara anak kecil, dari suaranya terdengar suara laki-laki. "Ayo, ayah! Ayah sudah janji dengan ku mau bermain di taman!" Anak itu merengek-rengek. "Derra, ayah mu baru pulang kerja. Nanti sore baru ayah akan mengajak mu bermain." Bujuk seorang wanita, sepertinya itu ibunya. "Tapi, Bu." Anak itu masih tidak terima. "Derra, bagaimana kalau kamu bermain dengan kakak saja?" Tanya anak perempuan memberi usul. Sepertinya anak itu yang aku lihat tadi. "Tapi kakak kan ada les hari ini." Jawab adiknya. "Tidak apa, masih ada satu jam lagi kakak masuk les nya." Aku mendengar kan percakapan mereka. "Oke, ayo kita ke kamar kakak!" Aku terdiam. Jangan-jangan mereka mau kesini! "Eh?" Ibunya terdiam menatap bingung. Wajah ku pucat. Apa jangan-jangan mereka melihat ku? Bukankah aku tidak berada di dunia nyata? Bukankah aku sedang bermimpi? Aku tetap diam, tidak bergerak. "Eh, Dell. Kamu mengatur ulang kamar kamu lagi, ya?" Aku menghembuskan nafas lega. Ternyata mereka tidak bisa melihat ku. Sepertinya mimpi ku masuk ke dalam masa lalu seseorang. Tapi, apakah mimpi ku ini benar-benar pernah terjadi? Entahlah. Tiba-tiba masa itu berubah... "Anak-anak! Cepat sembunyi!" Seru wanita itu panik. "Nyonya Syanna, bawa putri mu pergi dari sini!" Suruh pria, tubuh nya tidak tinggi, tidak pula pendek. Tubuhnya pas-pasan. Wanita itu mengangguk, menarik tangan ke dua anak nya. "Dasar kalian pengkhianat!" Teriak seorang pria. Yang membuat ku kaget adalah, pria itu adalah ayah mereka yang ada di tempat itu. "Cukup, Barr!" Seru wanita yang lain. "Diam kalian!" Dia menyerang siapa saja yang ada di hadapan nya. "Kalian semua mengkhianati ku!" Teriak nya terus menyerang. "Kami tidak pernah mengkhianati mu, Barr." Ucap pria yang lain, menggeleng. "Ayah! Bunda!" Teriak seorang remaja perempuan. "Syerra!" Balas wanita tadi panik. "Anak mu ini akan menjadi korban dari pengkhianatan kalian!" Seru ayah anak yang tadi ku temui di tempat sebelumnya. Aku bergidik ngeri saat pria itu memenggal kepala gadis itu. "Tidaaaak!" Teriak wanita itu tertahan. Air matanya mengalir deras melihat putrinya di penggal. "Putri ku!" Pria yang tadi menggeleng, memeluk wanita itu. Sepertinya itu suaminya. Aku menutup mataku, karena tidak tahan melihat badan yang sudah tidak ada kepalanya itu. "Bawa anak itu kesini, kalau kalian tidak ingin melihat anak kalian yang menjadi korban. "Kami tidak akan membiarkan mu memanfaatkan putri mu sendiri." Pria yang berbadan pas-pasan itu menggeleng. Tetap tenang. "Kau! Kalau kau tidak membawa anak itu kesini, maka putra mu yang akan menjadi korban setelah dia!" Pria itu menunjuk gadis yang tadi. "Kenapa kamu menjadi seperti ini, Barr?" Tanya pria itu tidak mengerti. " Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepada kalian!" Dia bukan nya menjawab, malah bicara yang lain. "Apa dendam kamu kepada putri mu sendiri?" Tanya pria itu masih tetap tenang. "Bukan urusanmu!" Bentak nya. "a*s!!" Pria yang berbadan pas-pasan itu menoleh. Aku juga ikut menoleh. "Tolong kami!" Seru wanita cantik ketakutan. Orang yang di panggil a*s itu, mengatupkan rahangnya. Dia tahu kalau dia sedang terdesak. "Ayah!" Dia menatap ke tempat lain, putranya di jepit oleh tanah yang mulai mengeras. Membuat anak itu sesak nafas. "Kamu!" Pria yang di sebut a*s itu menggeram. Aku berseru tertahan melihat dua korban itu di jepit. Mereka berteriak kesakitan. "Syanna! Zevvan!" Teriak pria yang di sebut a*s itu. "Argh!" Mereka berteriak semakin keras. Dan... CRAT! Darah segar muncrat kemana-mana. Aku menutup mulut, menyaksikannya. "Tidaaaak!" Seru pria yang di sebut a*s itu. "Hahaha!" Tawa pria yang di sebut Barr itu menggelegar di langit-langit. Tiba-tiba tempat nya berganti lagi... "Hah. Barr! Ku mohon jangan seperti ini!" Istrinya berlutut memohon. "Sudah terlambat. Bawa dia kesini!" Perempuan itu menggeleng pelan. "Bawa dia kesini!" Bentak pria itu menjambak rambut hitam istrinya. "Ibu!!" Seru anak perempuan yang aku lihat waktu itu. "Pergi. Bawa adik mu pergi menjauh dari sini!" Ibunya menyuruh. Anak perempuan itu menggeleng kuat-kuat. "Cepat pergi dari sini!" Teriak ibunya kuat. "Diam!" "Argh!" Wanita itu masih sempat mengarah kan tangannya, membuat lubang kecil. "Apa yang kamu lakukan?!" Tanya suaminya marah. "Sedot mereka masuk ke dalam!" Perintah istrinya. "Tidak. Ibu!" Teriak mereka tidak terima. "Selamat tinggal, anak-anak ku!" "Tidak ibu!!" Air mataku tiba-tiba mengalir deras. Aku menangis? Tentu saja! Mimpi ini sangat menyedihkan. Tempatnya kembali berganti... "Kak, aku lapar." Keluh adiknya. "Sabar ya, Derra." Kakak nya mencoba menyemangati adiknya. "Uhuk! Uhuk!" Kakaknya menoleh ke belakang, menatap adiknya. "Derrra, kamu sakit?" Tanya kakaknya khawatir. "Tidak." Adiknya menggeleng. Kakaknya memeriksa kening adiknya. "Tidak apanya?!" Kakaknya mengomel. "Ayo, kita cari obat!" Kakaknya menggendong adiknya. "Tapi kita tidak punya uang kak." Langkah kaki kakaknya terhenti. Adiknya benar dia tidak memiliki uang sedikit pun. Sudah lima hari mereka berjalan mencari tabib terdekat. "Kak, sudah lima hari kakak berjalan mencari tabib. Sudah kan jangan terlalu kakak paksakan untuk berjalan." "Tapi, kamu harus bertahan!" Air mata kakaknya mengalir. Adiknya mengangguk, tersenyum. "Kalaupun aku mati, bukan berarti aku tidak lagi bersama dengan kakak." Kakaknya menggeleng kuat-kuat. "Kamu tidak boleh mati!" Seru kakaknya bergetar. "Kak, kematian itu tidak ada yang tahu." Jawab adiknya lembut. Kakaknya menangis. Aku yang hanya sebagai penonton ikut menangis. "Di sana ada rumah tabib!" Wajah kakaknya sedikit cerah. Seperti ada harapan kalau adiknya bisa sembuh. "Permisi!" Gadis itu mengetuk pintu rumah tabib. "Iya, sebentar." Balas tuan rumah. Pintu akhirnya di buka. "Ada apa, ya?" Tanya wanita tua. Umurnya sekitar enam puluh tahun. "Apakah disini rumah tabib Rissa?" Perempuan tua itu mengangguk. "Dengan saya sendiri." Jawabnya. "Say ingin meminta tolong untuk menyembuhkan adik saya!" Ucapnya memohon. "Bawa adik mu masuk!" Dia mengangguk senang. Ternyata dia memiliki harapan agar adiknya bisa sembuh. Adiknya di baringkan di atas tikar. Ternyata wajah adiknya sedikit menghijau. Perempuan itu berkonsentrasi, gadis itu menahan nafas, aku juga ikut menahan nafas melihat apa yang akan terjadi. Sudah hampir setengah jam, tidak ada kemajuan. Perempuan tua itu mengelap keringat yang ada di keningnya. Sepertinya dia sangat kelelahan. Aku tahu sepertinya tidak ada harapan lagi. Tapi berbeda dengan gadis itu, dia terus berharap ada keajaiban yang menghampiri nya. Lima belas menit pun berlalu. Tetap tidak ada kemajuan sama sekali. Sepuluh menit lagi pun berlalu, tetap tidak ada kemajuan. Hingga akhirnya tabib perempuan itu menyerah. Gadis itu menggeleng, ini tidak seperti dugaannya. "Ku mohon! Tolong adik ku!" Dia menggenggam tangan tabib itu, dan terus menerus memohon. "Maaf, saya tidak bisa melakukan apa-apa. Saya sudah mencoba untuk menyembuhkan nya, tapi kekuatan pengobatan saya tidak terlalu hebat. Adik mu sepertinya keracunan makanan." Tabib itu menggeleng. "Bagaimana mungkin?" Dia menatap wajah adiknya yang terbujur kaku di lantai. "Derra!!!" Teriak gadis itu kencang, dia memeluk tubuh adiknya erat. "Huaaaa!! Derra!!" Dia terus menangis. Aku yang menyaksikannya ikut menangis. Aku ingin sekali menenangkannya, tapi ini adalah cerita masa lalu. Aku hanya bisa diam menyaksikan. Aku mengutuk-ngutuk di dalam hati. Kenapa mimpi ini harus terjadi di dalam mimpi ku? Kenapa mimpi ini terasa sangat nyata? Tempatnya kembali berganti... "Ibu, Derra. Aku minta maaf karena tidak bisa melindungi kalian." Gadis itu menatap foto yang ada di genggaman nya. Air matanya mengalir, dia memeluk foto itu. "Ibu, aku berjanji akan menemukan pemilik benda yang engkau titipkan kepada ku." Tekadnya. "Aku akan pergi ke tempat itu!" Dia menatap langit biru. "Aku akan mencari putri mars itu!" Dia berjalan mengikuti rombongan yang ingin melewati portal besar. Apa maksudnya putri mars? Mimpi ini seperti pesan yang tersirat. Aku ingin bangun dari tidur ku! *** "Hah!" Aku menatap sekeliling. Akhirnya aku kembali dari mimpi buruk ku itu. "Mimpi itu sangat nyata." Aku mengatur nafas ku. "Oh tidak! Aku akan telat!" Seru ku panik, berlari menuju kamar mandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD