Bab 2 ~ Impian

1058 Words
Erlando memberikan parcel bunga dan buah pada Tuan Remax yang kini masih di rawat di rumah sakit tepatnya di ruang VVIP, Tuan Remax adalah salah satu klien Erlando yang selama ini setia dan selalu mendukungnya. "Cepat sembuh, Tuan," ucap Erlando. "Mimpi apa saya semalam kedatangan Anda, Mr," ucap Tuan Remax. "Anda adalah bagian dari JK group, tentu saja saya pasti akan datang," jawab Erlando. "Terima kasih, Mr." "Apa sekarang Anda baik-baik saja?" tanya Erlando. "Seperti yang Anda lihat, saya sudah baik-baik saja. Mungkin besok pagi sudah kembali." "Anda bisa bersantai dulu setelah keluar dari rumah sakit, jangan terlalu memaksakan diri. Kesehatan adalah hal yang penting," kata Erlando membuat Tuan Remax tersenyum. "Tentu saja, Mr. Saya akan mendengarkan saran Anda." *** Cahaya sampai di rumah Kaila, ia memang menginap di sini beberapa minggu ini selama ia mencari pekerjaan di Jakarta, Cahaya akan meninggalkan rumah Kaila setelah uangnya cukup untuk mendapatkan tempat tinggal. "Ya, kamu udah pulang?" tanya Kaila duduk di sofa. "Hem." "Gimana hari pertamamu bekerja? Apa melelahkan?" tanya Kaila membuat Cahaya menghela napas panjang dan menghempaskan tubuhnya di kursi. "Nggak melelahkan sama sekali, La, aku hanya merasa agak pusing," ucap Cahaya. "Ya, apa nggak sebaiknya kamu membawa Kanaya dan nenekmu ke Jakarta? Kan kasihan mereka di sana sendirian, apalagi Kanaya lagi sakit kan, jadi kasihan aja," tanya Kaila. "Di sini biaya hidup sangat mahal, La, aku juga belum punya uang yang cukup untuk membawa mereka kemari." "Tenang saja, Ya, ketika aku mendengar lowongan pekerjaan di tempatku, aku akan memberitahumu, kamu nggak mungkin kerja jadi office girl dengan ijazah S1 milikmu itu," kata Kaila meyakinkan Cahaya. "Makasih, ya, La, aku berharap banget kamu mau memberitahuku kalau lowongan pekerjaan ada, kamu kan tahu tujuan utamaku kemari itu karena pengen punya duit dan duit, supaya aku bisa biayain Kanaya dan nenekku." "Tenang aja," jawab Kaila. "Tapi, Ya, kamu nggak nikah aja sama Kang Jamil?" Cahaya menoleh sesaat menatap wajah temannya itu, entah mengapa Kaila selalu saja menanyakan hal itu. "Kamu ini, kok nanyanya itu lagi, kan aku udah kata nggak akan pernah aku nikah sama Kang Jamil," jawab Cahaya menghela napas panjang. "Kang Jamil itu masih muda kok, Ya, dia juga nggak ada pasangan, dia juga lumayan tampan dan kaya raya, kalau kamu nikah sama dia, aku yakin banget kamu bisa melunasi hutang piutang ibumu," sambung Kaila, membuat Cahaya menggelengkan kepala. "Kamu kan juga ada hutang sama Kang Jamil, sekalian aja lunasin." "Aku nggak akan pernah mau nikah sama lintah darat kayak dia, masih banyak jalan kok buat gapai semuanya," jawab Cahaya meyakinkan diri. "Termaksud menjadi office girl? Kalau kamu jadi office girl sampai kapan kamu bisa ngumpulin duit, Ya? Ada cara gampang, dan kamu malah nyari jalan yang susah." "Udah deh, La, aku nggak mau bahas itu, aku mau mandi dan membersihkan tubuhku," kata Cahaya lalu masuk ke kamar mandi, meninggalkan Kaila yang tengah berpikir. Cahaya melihat wajahnya didepan cermin, dan menitikkan air mata ketika mengingat ibunya. Diluar sana hujan begitu deras, membuat Cahaya mengingat ibunya. Flashback ON. Cahaya dan Kanaya tengah bermain petak umpet dengan ibunya, Cahaya berusia 11 tahun, sedangkan Kanaya masih berusia 4 tahun, keduanya terlihat bahagia ketika bermain bersama Ibu mereka. "Ayo sini, Sayang," teriak sang Ibu kepada dua anaknya yang masih bersembunyi. Cahaya dan Kanaya menghampiri ibunya dan memeluknya. "Sekarang Mama nemuin kalian," kata Sang Ibu menggelitik kedua putrinya membuat Kanaya dan Cahaya tertawa. "Mama curang ih," keluh Kanaya. Mereka bertiga lalu tertawa bahagia, sesaat kemudian hujan turun begitu deras membuat ketiganya berteduh di pondok belakang rumah mereka. "Kok ujan ya, Ma," tanya Kanaya. "Cahaya, Kanaya, Mama pesan satu hal sama kalian, jika kalian berdua melihat hujan, itu berarti Mama yang sedang mengawasi kalian, tapi jangan pernah menangis," kata Amira-sang Ibu. "Mama hujan?" tanya Kanaya begitu polosnya. "Mama kok ngomong gitu?" tanya Cahaya. "Mau mandi ujan nggak?" Amira mengalihkan pembicaraan. "Mau, Ma, mau," seru Kanaya, membuat Amira, dan kedua putrinya mandi hujan. Mereka bertiga terlihat sangat bahagia dan menikmati hujan yang kini membasahi bumi, ketiganya berlarian dan saling menangkap. Flashback OFF. Cahaya menyeka air matanya, ia tak ingin menangis lagi, namun setiap kali hujan turun, itu mengingatkan dirinya pada sosok ibunya yang sudah meninggalkan mereka. Cahaya tak pernah tahu jika ternyata selama ini ibunya itu terikat hutang piutang demi usaha yang ditekuninya, Amira meminjam sejumlah uang ketika usahanya mulai bangkrut dan Kanaya mulai sakit-sakittan. Belum lunas hutang ibunya, Cahaya harus berhutang pada Kang Jamil untuk biaya pengobatan Kanaya. "Aku sudah janji pada Mama kalau aku nggak akan nangis," gumam Cahaya lalu menyeka air matanya. *** Cahaya mengganti pakaiannya di ruang ganti, seragam berwarna biru langit yang setiap hari ia kenakan untuk mulai bekerja, setelah mengganti pakaiannya, Cahaya lalu menghampiri Rinda yang tengah memberi perintah pada office girl lainnya. "Cahaya, apa kemarin kamu menumpahkan air di lantai?" tanya Rinda menoleh menatap Cahaya. "Bukan saya, Bu, tapi saya sudah membereskannya." "Karena itu CEO senang dengan pekerjaanmu, jadi kamu kerja di lantai 17, pel semuanya di sana, bersihkan ruangan CEO, dan berikan yang terbaik lebih dari kemampuanmu," kata Rinda. "Baik, Bu," jawab Cahaya. "Ya sudah. Kamu langsung ke sana." Cahaya lalu melangkah meninggalkan rekan lainnya yang masih menunggu intruksi. "Enak banget ya si Cahaya, kok bisa dia dipuji CEO? Kita aja yang udah bertahun tahun kerja di sini, nggak pernah ketemu sama CEO apalagi di puji," bisik lainnya. Cahaya menaiki tangga dan menuju lantai 17, lalu ia menoleh sesaat melihat keadaan luar, hujan masih membasahi bumi, dan tak pernah sedetik pun hujan berhenti dari semalam. Cahaya terus membayangkan kebersamaan dengan ibunya, setiap kali hujan selalu berhasil membuat air matanya luruh. Sampai di lantai 17, Cahaya lalu mulai mengepel dari ujung kiri hingga ke ujung lainnya, sesekali mata Cahaya melihat pakaian yang dikenakan para staf CEO, terlihat rapi dan sangat menawan, sedangkan dirinya seperti ini. Cahaya menghela napas panjang dan kembali bekerja. "Tuan, apa yang harus kita lakukan?" tanya Damian. "Anda menyatakan akan menikah, tapi Anda belum memutuskan akan menelpon Nona Jennyfer," sambung Damian. "Jennyfer sedang mengejar impiannya, biarkan saja dia." "Tapi-" "Cari wanita lain yang bisa dibayar, lagian Kakek tidak perduli dia miskin atau kaya, asalkan dia bisa mendampingiku dan bisa aku perintah," kata Erlando. "Baik, Tuan," jawab Damian. "Dan ... satu lagi, jangan yang jelek, cari yang cantik dan menawan, meski hanya istri bayaran, dia harus tetap menarik." "Siap, Tuan, laksanakan. Yang keturunan Indo apa luar negeri?" "Indo juga boleh." "Baik, Tuan." Damian melangkah meninggalkan atasannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD