Bab 1

1029 Words
Stevania berdiri di depan manekin, dia memandang gaun putih yang direkatkan pada benda berwarna putih tersebut. "Sangat indah," ujarnya dengan tatapan penuh minat. Anwar yang berada di belakangnya ikut maju, mensejajarkan kakinya dengan Vania. "Kau suka?" Vania mengangguk dengan senyuman merekah indah. Inilah yang Vania inginkan, menggunakan gaun putih saat hari bahagianya. Bersama Anwar, Vania merasa sebentar lagi impiannya akan tercapai. Anwar menatap ke belakang. Seorang penata busana langsung mendekat manakala mengerti dengan keinginan pelanggan. "Pastikan ukurannya pas. Gaun itu akan dipakai beberapa minggu ke depan," kata Anwar. "Baik, Pak." Vania menyembunyikan wajah malunya ketika Anwar menatap dengan senyuman ke arahnya. Vania ingat, Anwar pasti teringat kejadian beberapa bulan yang lalu. Tepat menuju hari pertunangannya beberapa bulan yang lalu, mereka juga mengunjungi butik yang sama. Di tempat ini, Vania juga memesan sebuah gaun putih. Dia sudah memesan itu sejak 3 minggu sebelum acara, juga sudah mengetes ukurannya. Sangat pas. Namun, apa yang terjadi? Ketika Vania ingin menggunakan gaun tersebut di hari H, mereka tidak bisa mengaitkan resleting di area belakangnya. "Ada apa?" tanya Vania ketika mendadak tangan perias berhenti. Selain menyiapkan berbagai macam busana, butik ini juga menyediakan penata rias. Jadi mereka tidak perlu mencari penata rias di tempat lain. "Maaf, Mbak. Resletingnya tidak bisa naik," jawab gadis itu hati-hati. "Loh, bagaimana bisa?" Vania membulatkan matanya tidak percaya. Untung saja Anwar dengan cekatan meminta dibawakan beberapa pasang gaun yang lain. Alhasil, Vania harus memilih gaun yang lain. Mau tidak mau, dia harus memilih secepatnya. Tidak tahu itu cocok atau tidak, yang penting dia bisa memakai itu di hari tersebut. Vania akan merasa sangat malu jika mengingat semua itu. "Ayo." Anwar mengajak Vania keluar setelah mereka selesai. "Sayang, aku mau makan. Lapar," rengek Vania bergelayut manja di lengan Anwar. "Boleh. Tapi jangan yang berlemak ya. Ingat, kamu harus menjaga berat badan. Atau gaunnya tidak akan muat sama seperti dulu." Vania berdecak sebel. "Kau selalu saja membahas itu." "Kau hanya mengingatkan, Sayang." Anwar mencubit gemas pipi Vania. Lalu mereka mencari restoran terdekat. ** Hari itu, Vania datang berkunjung ke rumah Anwar. Mama Anwar menyuruhnya datang karena mereka akan membuat undangan. "Kau mau undang siapa aja, Van?" tanya Caca, adik Anwar yang sebaya dengan Vania. "Panggil Vania kakak, Ca." Mama Anwar mengingatkan dengan nada tinggi. Bukan maksud memarahi, tapi untuk mengingatkan Caca bahwa sebentar lagi Vania akan menjadi kakak iparnya. "Maaf, Ma. Kebiasaan sih." Caca menutup mulutnya dengan terkekeh kecil. "Kamu sih, kebiasaan buruk tidak pernah bisa diubah," omel Mamanya. Vania melihat mereka dengan senyuman, bahagia rasanya bisa berkeluarga dengan mereka yang ramah. "Jadi gimana, Van? Eh, Mbak, maksudnya?" Caca segera meralat panggilannya sebelum diperingatkan. "Semua alumni SMA kita, juga teman kampus, dan beberapa karyawan kantor," jawab Vania. "Wah, berarti dia juga diundang dong," seru Caca kegirangan. "Dia?" Vania mengernyit tidak paham. "Ya ampun, Van. Masak kamu lupa sih, itu …." Caca mendekatkan wajahnya dengan Vania dan berbisik. "Cowok favorit di sekolah kita dulu." "Nggak baik bisik-bisik." Lagi-lagi Mama Anwar menegur tingkah Caca. Caca mengembalikan posisinya. "Ye, ini kan rahasia anak muda, Ma." Tiba-tiba suara bel berbunyi. Ting tong, ting tong. "Ma, siapa yang datang?" tanya Caca. "Nggak tahu, kan mata Mama ada di sini," jawab Mama Anwar asal. "Biar aku liat, ya." Vania berdiri dan keluar. Ketika Vania membuka pintu, dia menemukan seorang wanita yang sedang menggendong bayi. Penampilan wanita itu terlalu sederhana, hingga Vania tidak percaya jika itu adalah kerabatnya Anwar. Atau mungkin saja wanita ini adalah salah satu kerabat pelayan yang bekerja di rumah Anwar. Vania berpikir jika wanita itu datang untuk menghadiri acara pernikahan mereka. "Selamat siang, Mbak. Benarkah ini rumahnya, Tuan Anwar?" tanya wanita itu membuyarkan lamunan Vania. "Iya, benar sekali," jawab Vania tersenyum ramah. "Alhamdulillah, Nak." Wanita itu menatap anak dalam gendongannya dan tersenyum. Selanjutnya dia kembali menatap Vania. "Bisakah saya bertemu dengan, Anwar?" "Siapa kamu?" Tiba-tiba Caca keluar dan bertanya. Disusul mamanya di belakang. "Loh, dia siapa?" tanya Mama Anwar tidak mengenali. "Aku juga nggak tahu, Ma. Dia ingin bertemu dengan, Anwar," kata Vania. "Bertemu dengan, Kak Anwar?" Caca menatap penampilan wanita itu dari kaki hingga kepala. "kamu kenal sama kakak, aku?" tanya Caca memastikan. Jangan-jangan wanita ini penipu yang ngaku-ngaku. "Iya, saya sangat mengenal, Tuan Anwar, walau kita hanya bertemu sekali saja," jawab wanita itu malu-malu. Mereka bertiga saling pandang, dan masih saling tidak paham. "Kamu kenal kakak aku dimana?" Caca kembali bertanya. Wanita itu menyeka keringat di dahinya, dia sangat lelah. Kakinya juga sudah tidak kuat untuk menopang tubuhnya. "Maaf, bisakah saya duduk. Saya sangat lelah," pintanya dengan wajah memelas. Vania memandang Caca dan Mama Anwar secara bergantian. Mereka langsung merasa bersalah karena tidak mempersilakan wanita itu duduk. "Si - silakan, ayo duduk," kata Mama Anwar. "Saya duduk di sini saja." Wanita itu menurunkan tasnya dan duduk di lantai. Melihat hal itu, Vania langsung mencegahnya. "Jangan duduk di bawah, ayo kemari." "Tidak apa-apa, Mbak. Saya disini aja, lantai bersih. Pasti tanpa kuman." Dengan tersenyum wanita itu menolak. "Tidak. Kamu adalah tamu. Dan tamu adalah raja. Bukankah kami harus menjamu?" Vania berkata dengan lembut. Mama Anwar dan Caca tersenyum, merasa bangga dengan Vania yang baik hati. "Kamu adalah calon menantu idaman, Vania. Anwar memang tidak salah pilih istri," kata Mama Anwar dengan senyuman bangga. "Calon istri, Tuan Anwar?" gumam wanita itu terkejut. Caca yang mendengar langsung meng-iya-kan. "Iya. Wanita cantik ini adalah calon kakak iparku." Tiba-tiba wanita itu menangis, dia kembali berbicara dengan anak dalam gendongannya. "Sudah terlambat, Nak." Mereka menatap wanita itu heran. Kenapa kini dia menangis? Lantas, wanita itu menatap mereka bertiga. "Saya jauh-jauh datang kemari hanya untuk mendengar ini. Hati saya sungguh sakit," ujarnya pilu. "Apa maksudmu?" tanya Vania mendekat. "Saya datang untuk menjumpai ayah dari anak saya. Yaitu, Tuan Anwar." "Apa?" pekik Caca terkejut. Mendengar pengakuan wanita itu, mereka semua syok. Terlebih lagi Vania, kepalanya mendadak terasa pecah, matanya menghitam. Dan segalanya hilang. Vania ambruk di lantai. "Vania!" teriak Mama Anwar. "Van!" Caca ikut menggapai tubuh Vania yang sudah tidak berdaya. Wanita itu terkejut, anak dalam gendongannya tiba-tiba menangis. Suasana menjadi gaduh seketika. Mama Anwar dan Caca sibuk membangunkan Vania. Sedangkan wanita itu menenangkan bayinya agar diam. Semua keributan di luar, terdengar hingga ke ruangan kerja Anwar. Pria itu menjadi terusik. Dia segera keluar untuk melihat apa yang terjadi.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD