“Ane! Jangan gila ya kamu! Biarpun kaka ini lagi kebingunan cari uang. Tapi kaka nggak senista itu buat jual diri!”
“Kaka masih bisa cari jalan keluar! Nggak harus jadi kaya kamu, Sugar Babby!”
Huuh!
Ane mendengus jengah kalau menendengarkan kata-kata itu. Gaya bicara dan gerak tubuh Ane begitu menyerupai kaka nya sewaktu bicara, sedangkan si pelaku yang mendapatkan cibiran keras hanya, DIAM.
Riana memeluk tubuhnya dengan kepala menunduk. Ia sama sekali tidak sakit hati dengan sindiran pedas Ane, melainkan Riana sakit hati bahkan matanya sembab karena menangisi Bulek Tatik.
Wanita paruh baya itulah yang pada akhirnya menjemput Riana di kantor polisi sekaligus sebagai jaminan atas perbuatan Riana, setelah Riana menolak tidak ingin di jemput oleh siapa-siapa.
Riana sangat malu.
Bahkan sebelum Bulek Tatik datang ke kantor polisi sendirian, tanpa di temani Dimas dan Ane.
Bulek Tatik sempat jatuh pingsan, beruntung Ane belum berangkat sekolah sekalipun Dimas sudah lebih dulu pergi karena harus menyiapkan meeting dadakan.
Bulek Tatiklah yang meminta Dimas dan Ane untuk menunggu di rumah, sedangkan Bulek Tatik datang sendiri tidak membawa Dimas dan Ane, alasanya cuman simple. Takut Riana malu.
Riana kembali memalukan keluarga dan menyusahkan saudaranya lagi yang sudah dianggap sebagai pengganti ibu.
“Umur baru enam belas tahun. Tapi sudah jebol sama aki-aki bau tanah! Kalau jadi kamu, kaka sudi! Lebih baik jadi perawan tua dari pada harus jadi simpanan OM-OM!”
“Aku masih waras, Ane! Aku nggak suka aki-aki bau tanah!”
Ane menghela napas panjang-panjang lalu menghembuskan perlahan. Gadis itu masih menirukan perkataan Riana yang amat menyebalkan di matanya itu tepat di depan Riana yang sejak pulang mendadak bisu dan tuli.
Satu, lagi. Ane masih menyimpan perkataan kakanya yang tidak waras itu sebelum semua kekesalan Ane pada kaka nya semakin menjadi-jadi.
“Aku lebih baik mati saja dari pada harus menikah dengan aki-aki bau tanah!” imbuh Ane.
Dadanya naik turun, bersamaan lupan kekecewaan Ane pada Riana yang tidak mendengarkan perkatanya.
Riana termasuk beruntung, setelah razia itu. Riana tidak mendapati tengah bertransaksi dengan pria.
Riana tengah berdiri bersama satu teman perempuannya yang Ane duga itu Gisel. Bila Riana kedapatan tegah bertransaksi maka sudahlah, urusanya semakin panjang dan ribet.
Ane pandangi wajah kaka nya yang sembab, setelah menarik napas kembali lalu menghembuskan perlahan. Ane mendekat dan memeluk Riana.
Tubuh Riana bergetar, Ane tahu kaka nya itu menangis. Riana menangis tapi tidak ada suara, hanya air mata yang terus berderai.
Melihat keadaan kaka nya seperti ini, Ane jadi merasa bersalah karena sudah marah-marah.
“Ka…”
Pelukan tangan kecil itu semakin erat. “Maafin Ane. Nggak seharusnya Ane marah-marah sama kaka.”
“Nggak seharusnya Ane itu menghakimi kaka!” kata Ane, ikut sedih dengan keadaan dan juga masalah yang tengah menimpah kaka nya itu.
“Tapi kaka pantes kok, dapetin itu! Bahkan lebih!”
Ane menggeleng kepala pelan, menatap Riana dengan bibir yang meruncing. Duh, kalau sudah seperti ini Ane jadi nyesel sudah marah-marah sama kaka nya.
Sudah tahu, beban pikiran kaka nya itu semakin menggunung setelah di paksa buat bayara hutang bapaknya, belum lagi tahu tentang keadaan keluarganya dan juga rahasianya. Kenapa Ane seperti orang jahat di sini.
“Ane kesel sama kaka. Kenapa kaka harus nekad kaya ginih sih ka. Kenapa kaka nggak dengerin saran Ane kalau kaka mau gila-gila beneran.”
“Nggak harus jadi kupu-kupu malam yang mangkal di pinggir jalan ka. Bahaya!”
“Kaka bingung, harus gimana lagi An. Bapak lagi lagi menghubungi dan mengancam kaka,” lirih Riana.
Ane membuang napas berat. Lagi lagi bapaknya. Ane sampai nggak tahu harus berkata apa lagi, selain ikut marah juga.
Kenapa masalah bapaknya harus melibatkan anak-anaknya. Kenapa bapaknya itu malah membebani pada anak-anaknya yang harusnya tidak ikut campur masalahnya yang gila judi itu.
“Tapi kenapa harus ikut ajakan Gisel? Nggak ikut saran Ane?”
“Gisel nggak pernah ngajak kaka. Tapi kaka sendiri yang mau!” balas Riana.
Tak ingin Gisel terus di salahkan karena keputusannya ikut bekerja sama Gisel itu kemauan Riana sendiri, tanpa ada paksaan sekalipun Riana sadar kalau Gisel sudah membohonginya dengan iming-iming uang yang banyak itu setelah Riana berpikir Riana bercerita dengan beberapa wanita yang sama di kurung di dalam sel tahanan.
“Apa kaka nggak tau resikonya bekerja seperti itu ka?”
Riana diam, tentu waktu itu Riana yang lagi kesetan cari duit mana inget sama resiko nya.
“Selain nama keluarga, nama kaka juga ikut jelek karena sudah berurusan dengan polisi. Tapi ada lagi yang lebih besar yang harus kaka tanggung dari pekerjaan itu.”
Riana memandangi adiknya. Entah kenapa, kini Riana merasa seperti anak kecil sedangkan adiknya seperti orang dewasa yang tengah memberikan nasehat.
“Penyakit ka!” tekan Ane.
“Pekerjaan seperti itu menjajahkan diri di tepi jalan itu beresiko besar terkena penyakit menular!”
Ane menjeda sejenak lalu menarik napas dalam-dalam.
“Model kaya Ka Gisel, sudah pasti banyak melayani pria di luaran sana. Sekalipun pakai pengaman tapi tidak menjamin akan terkena penyakit menular karena sering berganti-ganti setiap malamanya untuk melayani pria hidung belang.”
Entah kenapa Riana tidak berpikir panjang mengani hal itu, padahal ia tahu resikonya.
“Ane bukan pamer pada kaka atau membanggakan Sugar Daddy Ane. Tidak sama sekali. Tapi Ane yakin dan percaya pada Frans kalau pria tua itu cuma selalu minta pada Ane, tidak pada wanita lain.”
Ane layaknya seperti istri kecil Frans yang selalu pulang dan meminta jatah. Tapi dua bulan ini, Ane dan Frans sudah tidak bertemu.
Frans ada urusan yang tidak bisa di tinggalkan, tapi Frans masih rajin menghubungi Ane dan juga video call dengan Ane yang merengek rindu. Tidak lupa uang bulanan Ane masih Frans rajin transfer tepat waktu.
Sebenarnya, Frans sudah beberapa kali meminta Ane menjadi istrinya. Bahkan Frans sampai menunggu Ane lulus sekolah. Pria tua itu benar-benar jatuh cinta pada Ane, tapi Ane sendiri…
Riana menatap lekat pada adiknya itu yang begitu percaya pada pria tua yang selalu Riana hina. Sementara Ane kembali memeluk kakaknya.
“Tidak hanya Ane saja yang merasa nyaman dengan Sugar Daddy, tapi juga dua teman Ane yang sama-sama nyaman dengan Sugar Daddynya.”
“Nggak selamanya Om-om itu buruk. Mereka baik ka. Perhatian lagi sama kita!” sambung Ane lagi.
“Kalau kata kamu Frans itu orang baik, kenapa kamu nggak bisa pinjam uang An, buat tolongin kaka?” tanyanya.
Ane hela napas lalu melepaskan pelukannya. Kata siapa, Ane diam dan tidak berusaha untuk membantu kaka nya. Buktinya, Ane menghubungi Frans langsung dan menceritakan kalau keluarganya tengah kesulitan.
“Aku sudah bilang sama Frans, ka.”
Riana langsung menoleh menatap lekat dengan tatapan penuh harapan.
“Lalu?”
“Huuh…”
Ane membuang napas pelan.
“Frans nggak bisa bantu. Dua bulan ini Frans di Amerika mencari putranya yang hilang bahkan baru beberapa minggu ini putranya baru di temukan setelah kecelakaan yatch yang di naiki putranya Frans berlibur bersama teman-temannya.”
“Lalu bagaimana putranya? Apa dia selamat?”
Ane mengangguk pelan. Leganya, masih ada orang yang menolong putranya Frans.
Detik berikutnya hening…
Riana dengan pikirannya masing-masing sementara Ane masih membayangkan nasib putranya Frans.
Getaran ponsel Riana terdengar cukup keras di meja belajar Ane. Keduanya langsung melirik dan menatap ponsel Riana.
Riana mengambil ponselnya, lalu mendengus saat melihat siapa yang menghubunginya.
Wajah Riana langsung murung.
“Siapa ka?”
“Bapak.”
“Sini, Ane angkat. Sesekali bapak itu harus di kasih terapi, biar syok!”
Ane merebut ponsel Riana lalu mengangkat panggilan bapaknya.
“Hallo Pak…”
“Lho, kok jadi kamu sih yang angkat Hp kaka mu?”
“Lho emangnya kenapa toh pak?”
“Kasiin hp nya sama kaka mu. Bapak mau ngomong penting sama kaka mu!”
“Masalah duit lagi ya pak?” tanya Ane melalu panggilan telephone.
Sugeng mengangguk di ujung sana sekalipun Ane tidak melihatnya.
“Yo, nduk. Wiis, kasih kaka mu. Bapak mau bicara!”
“Ka Riana sudah pergi pak.”
“Pergi kemana?” suara Sugeng meninggi.
Riana menghembuskan napas berat mendengarkan pembicaraan Ane dan Bapaknya.
“Nggak tau, Ka Riana nggak bilang soalnya!”
“Apa kakamu wiss mulang toh ke Singapore?”
“Mboten pak. Kopernya masih ada. Ka Riana nggak bawa hpnya pergi!”
“Wiiss kacau! Riana minggat!” kata Sugeng marah.
“Sampai Riana minggat jauh. Bahkan menghilang, bapak pasti cari dan bapak seret Riana buat kawin sama Juragan Doso. Ora ana wektu maneh!” seru Sugeng marah seraya menutup telephonennya.
“Gila ya kamu, buat bapak marah!”
“Biarin sesekali bapak harus di kasih pelajaran ka. Tuman!” tegas Ane.
“Tapi nanti Bulek sama Mas Dimas yang jadi kena sasarannya, kaka nggak mau.”
Ane kembali memeluk Riana.
“Nggak usah khawatir. Kaka pamit sama Bulek dan Mas Dimas buat pulang. Kaka buat sementara diam di apartement Ane. Pokoknya santai ka, ada Rani yang selama ini melindungi Ane.”
“Rani? Siapa itu?”
“Bodyguard yang Frans kirim buat lindungi Ane.”
Riana berdecak lidah, pria tua itu benar-benar sampai seginihnya melindungi adiknya sampai menyewa bodyguard buat jagain adiknya.
“Jadi kaka mau tetep pulang atau di apartement Ane?”
Riana menghela napas pelan.
“Kaka lagi habisin cuti nih, nanggung mau pulang juga. Biar si Javier bingung-bingung!”
“Siapa Javier?”
“Big boss kaka.”
“Terus kenapa nggak pinjem uang sama Big Boss kaka itu?” tanya Ane bingung.
Riana mendengus. “Pria itu lebih menyebalkan melebihi bapak kita. Kaka nggak mau ribet urusan dengan dia,” kata Riana mengingat bagaimana sifat Javier.
“Tapi kaka harus mencari uang lima ratus juta.”
“Buat apa?” tanya Ane bingung.
Riana kembali mendengus pelan.
“Jelas buat bapak kamu. Sebagaimana pun Bapak kamu itu menyebalkan. Tapi kaka belum siap melihat bapak kita buta.”
“So?” tanya Ane.
Riana menghembuskan napas berat.
“Kaka mau bertemu dengan Agent itu. Besok kaka ingin ketemu sama Mbak Kenanga.”
“Seriuse?”
Riana mengangguk, pelan. “Kaka nggak punya pilihan lagi. Kaka harus mencari Sugar Daddy yang bisa tolong kaka…”
Riana tersenyum tipis. Ane menatap Riana.
“Lekaslah hubungi. Kaka ingin bertemu sebelum kaka pulang ke Singapore!”