Bab.5 Mengusik Orang yang Salah

1764 Words
  Kali ini mereka tidak bisa berkata apa-apa. Welly membalikkan badan dan pergi, tetapi malah dihentikan ole Navita. "Welly, dari mana kamu punya uang sebanyak itu?" Navita bertanya dengan nada bicara seperti memalaki orang. "Sepertinya ini tidak ada hubungannya denganmu, bukan?" kata Welly dengan dinginnya. "Ini uangku sendiri."   "Huh! Uangmu? Yang benar saja! Keluarga kalian sangat miskin, dari mana datangnya uang seratusan juta itu?" Navita berkata dengan dingin pula. "Jangan-jangan itu hasil curianmu, ya?” Lebih baik kamu berbicara dan bertindak jujur, kalau tidak, aku akan lapor polisi!"   Dari mana dia mendapatkan uang itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan Navita, kan? Walaupun memang ang itu hasil curian, tetapi dia tidak berhak ikut campur.   Welly menatap Navita dengan tatapan menghina. Lalu berkata dengan serius, '   "Ini terakhir kalinya aku berkata padamu, ini adalah urusanku sendiri, tidak ada hubungannya denganmu.   "Siapa yang bilang padamu kalau ini tidak ada hubungannya denganku? Kamu adalah teman sekelasku, jika kamu berbuat kejahatan, maka kamu sudah mencoreng nama baik kelas kita. Orang rendahan sepertimu memang seharusnya berada di penjara agar kamu bisa mendapatkan pelajaran baik-baik! Dasar miskin, tidak bisa hidup malah jadi maling, hebat ya kamu?   Ternyata orang rendahan memang tingkah lakunya juga rendahan, hehe..." Mulut Navita akhirnya kembali mengucapkan kata-kata yang angkuh."Hati-hati kalau kamu berbicara, kalau tidak aku tidak akan segan-segan padamu!" Welly menatapnya dengan sorot mata penuh amarah. Sesabar-sabarnya Welly, tetapi orang lain tidak dizinkan untuk menghinanya.   Melihat Welly yang mulai emosional, Navita lebih menjadi-jadi, lalu berkata dengan mengejeknya lagi, "Aku berkata seperti itu, memangnya kamu bisa apa? Orang miskin, bodoh, maling, pecundang! Memangnya kenapa kalau aku mengataimu seperti itu? Huh, memangnya kamu siapa? Berani-beraninya kamu mengancamku!" "Kamu..." Kali ini, wajah Welly merah padam. Ketika dia hendak berbicara sesuatu, tiba-tiba sebuah bayangan orang hadir di hadapannya dan langsung menyerang Navita dengan memberikannya sebuah tamparan yang meluncur dengan lancar dan cepat.   "Plak..."   "Ah..." Navita berteriak kesakitan. Dia langsung terjatuh dan terpelanting hingga duduk di kursi. Sebuah bekas telapak tangan berwarna merah segar ditampilkan secara jelas di wajahnya.   "Lebih baik kamu menutup mulutmu! Jika kamu berani lancang sekali lagi, kujamin kamu akan segera menjadi orang bisu!" Monica menaikkan alisnya tinggi-tinggi, melirik Navita dan lainnya dengan sangat dingin.   Navita dan lainnya melongo, setelah mengembalikan kesadaran mereka, Navita langsung bangkit seperti seekor harimau betina yang hendak menerkam mangsanya.   Lalu, dia berkata, "k*********r, siapa kamu? Kenapa menmpark? Kamu tahu siapa aku? Ayahku adalah Benny Limanto pemilik Restoran Chapel yang mahal di Jakarta. Percaya atau tidak jika aku memberi tahu hal ini kepada ayahku, orang tua kalian pasti akan hancur berantakan!"   "Benar, memangnya km siap? Atas dasar apa kamu memukulnya? Kami juga tidak mengenalmu, cepat kamu minta maaf!" Pria yang memakai anting-anting itu juga menambahkan ucapan Navita. "Tahukah kamu siapa orang yang sudah kamu singgung? Kami sedang memberi pelajaran pada si maling bodoh ini, memangnya ada hubungannya denganmu?"   Mengancam?   Namun, ancaman ini bagi Monica, tidak lebih hanya sebuah lelucon yang kekanak-kanakan.   Dia adalah pengurus Keluarga Wijaya di Jakarta. Jika dia takut dengan ancaman kecil ini, bukankah akan menjadi bahan lelucon orang-orang yang mengetahuinya?   "Huh, sekarang putri bos sebuah restoran sudah berani sok seperti itu, ya? Karena orang tuamu tidak mendidikmu dengan baik, maka biarkan aku yang mendidikmu."   Monica langsung melengos dan menekan tombol telepon di ponselnya.   Monica sangat tahu jelas, asalkan dia menelepon nomor ini, jangankah Navita dan pria yang memakai anting-anting itu, bahkan orang tua dan keluarganya, semuanya akan hancur. Mungkin keluarga mereka berakar kuat dan cukup ternama di Jakarta, tetapi bagi Keluarga Wijaya yang sangat besar itu, mereka hanyalah butiran debu yang tidak berarti apa-apa. Menghancurkan mereka hanya semudah membalikkan telapak tangan.   Namun semua ini, entah itu Navita, ataupun pria yang memakai anting-anting, tentu saja mereka tidak tahu apa-apa. Di mata mereka, Welly tetaplah orang miskin.   Sedangkan seorang wanita yang tiba-tiba muncul in tidak lebih hanya orang yang sok berani.   Saat Monica hendak menelepon nomor itu, tiba-tiba sebuah tangan menghadang di depan matanya. Tak disangka itu adalah Welly. Dia menggelengkan kepalanya seraya berkata,   "Sudahlah, biarkan mereka perei saja." Monica terdiam sejenak, dia agak tidak bisa memercayai hal ini. Padahal tadi dia sudah diperlakukan seperti it oleh mereka semua, tetapi sekarang dia malah menyudahinya.   "Mereka tadi..." Belum selesai Monica berbicara, Welly sudah menyelanya. mulai mengejek lagi, "Wah, wah, wah, sudah begitu saja, ya? Bukankah kalian hebat?   Cepat panggil seseorang untuk menghadapiku. Hehe, semuanya sudah membual, benar-benar tidak tahu diri! Jika kamu berani menyentuhku, ayahku pasti akan membuat kalian menderita selama di Jakarta!"   Monica menatap Navita dengan tatapan tajam dan dingin. Tiba-tiba dia agak menyesal telah mendengarkan ucapan Welly. Orang yang tidak tahu cara menghargai kesempatan yang diberikan macam Navita memang tidak pantas hidup di dunia ini.   "Hehe, baiklah, kalau begitu coba perlihatkan padaku seberapa hebatnya ayahmu," Monica berkata sambil tertawa merendahkannya. Jarinya menyentuh ponsel, sebuah pesan singkat langsung terkirim.   Setelah pesan singkat itu terkirim, hanya dalam beberapa menit, muncul pergerakan di seantero Jakarta. Targetnya hanya satu, yaitu Restoran Chapel.   Hanya saja semua ini mash belum diketahui Navita. Setelah dia mendengarkan ucapan Monica, dia mengejeknya lagi dan berkata, "Terus saja kamu berpura-pura, kamu kira kamu siapa? Hehe, bisa-bisanya membela si miskin itu. Akhirnya sekarang aku tahu   mengapa Tinamencampakkan si bodoh Welly, makanya kenapa aku merasa aneh mana mungkin kamu berani memesan wine seratusan juta itu. Ternyata kamu 'dipelihara' seseorang, ya? memang orang miskin yang tidak punya harga diri, tidak mampu hidup, malah menjual diri."   Begitu Monica mendengar ucapan Navita, dia hanya menatap Navita dengan tatapan seperti menatap orang yang i***t. Lalu, dia berkata dengan datar, "Ayo kita pergi, bicara dengan orang macam dia hanya akan merendahkan kita! Welly menganggukkan kepala dan mengikuti Monica meninggalkan tempat. Navita yang malahan saat itu naik pitam. Dia menatap bayangan kedua orang itu, melototinya dengan tatapan penuh hina, lalu berkata dengan keras, "Berengsek!" "Aku tidak ingin membuat masalah semakin besar, sudah lupakan saja." kata Welly dengan datar.   Tentu saja dia tahu jelas, jika dia membiarkan Monica mengatasi masalah ini, dengan kekuatan Keluarga Wijaya, keluarga Navita mungkin akan terlibat. Navita hanya menamparnya, tindakannya juga tidak mengakibatkan kematian. Welly merasa tidak tega.   Karena Welly sudah berkata seperti itu, Monica pun terpaksa melepaskan mereka.   Dia menghela napas diam-diam di dalam hatinya dan berkata dengan agak tidak ikhlas, "Anggap saja kalian beruntung. Jika lain kali terjadi lagi, kujamin akan membuat kalian menyesal seumur hidup!" Monica berkata dengan tegas, tentu saja tidak ada kebohongan dari apa yang diucapkannya. Sebagai pengurus Keluarga Wijaya yang sah, dia selalu berbicara apa adanya.   Namun, Navita tidak tahu, begitu Monica akan pergi, dia malah tertawa dingin dan Dasar tidak tahu diri! Kalian kira kalian orang yang hebat, ya? Yang satu W***********g yang haus belaian, yang satu peliharaannya yang bodoh. Ternyata memang dua orang rendahan yang hina!" "Navita,   apakah tamparan tadi menyakitimu?" tanya anak laki-laki bertindik itu pada Navita. "Aku kenal dengan beberapa mafia, perlukah kusuruh mereka untuk menghabisi kedua manusia berengsek itu?" Navita memanyunkan bibirnya sambil menganggukkan kepala, lalu berkata, "Benar, ayo kita habisi mereka, orang- orang yang tidak tahu diri, agar mereka mendapatkan pelajaran!" Sedangkan Welly dan Monica langsung keluar dari bar.   Monica melihat penampilan Welly yang lush, tiba-tiba muncul suatu hasrat ingin melindunginya, tetapi setelahnya, dia tertawa pahit.   Dia adalah putra kandung tuan besar di Keluarga Wijaya, pantaskah mendapat perlindungan dari bawahan sepertinya? Dia hanya menerima tugas yang diberikan oleh Yohan Sardinan.   "Mengapa kamu tidak membuat perhitungan pada mereka?" Monica berpikir sejenak, lalu rasa penasarannya membuatnya tidak than untuk bertanya pada Welly. "Asalkan kamu tadi tidak mencegahku, sekarang mereka mungkin sudah mendapatkan hukumannya." Welly tertegun, dia menatap Monica dengan perasaan agak cemas. "Hukuman yang kamu maksud itu... membunuh mereka?" Monica tertawa kecil. "Mungkin saja, tapi terlalu mudah bagi orang macam mereka untuk mati." Lontaran hidup dan mati seseorang terdengar begitu mudah keluar dari mulut Monica. Welly tiba-tiba merasa tegang. "Jadi, sudahlah." Welly berkata, "Dia hanya menamparku, bukankah kamu sudah mengembalikannya? Anggap saja sudah impas. Kelak balas perbuatan mereka seperti apa yang pernah mereka perbuat, tidak perlu sampai mengaitkannya dengan nyawa." Monica agak tertegun. Tuan Besar di hadapannya in terlihat jelas perbedaannya dibandingkan dengan Tuan Muda lainnya yang pernah dia temui.   Orang-orang seperti itu biasanya jika disinggung oleh seseorang, dia pasti akan membalas lebih k***m dengan menggunakan kekuatan keluarganya untuk menekan lawannya. Bahkan menganggap ini sebagai kebanggaan. Namun, Welly sangat berbeda dengan mereka.   "Apakah biasanya saat di sekolah, mereka juga bersikap seperti itu?" Mendengar pertanyaan Monica, Welly menggelengkan kepalanya. "Kamu benar- benar berbeda, Tuan Muda Welly." Welly segera menggelengkan kepalanya.   Dia takut jika dia menjawab "iya", nanti Monica akan mengutus seseorang untuk membuat masalah menjadi besar.   Bagaimanapun mereka semua hanya teman. JIka memang benar ada nyawa yang melayang karena dirinya, mungkin Welly akan merasa bersalah seumur hidupnya.   "Baiklah, kuantar kamu kembali ke Universitas." Monica tersenyum pada Welly dan merogoh kantong mengambil kunci mobil dan menekannya. Dalam seketika, dari jarak yang tidak jauh di sana, sebuah mobil Mercedes-Benz G500 berwarna putih berbunyi.   "Kamu mengendarai mobil ini?" Welly terkejut melihat mobil itu. Walaupun dia tidak terlalu paham, tetapi dia juga pernah mendengarnya. Harga mobil in setidaknya 2 miliar. Sedangkan jika dilihat dari penampilan Monica, dia terlihat hanya lebih tua beberapa tahun dari Welly.   "Kamu suka ini?" Monica melihat sorot mata Welly yang sepertinya sedang terpana dengan mobil itu sambil tertawa. "Jika Tuan Muda Welly suka, mobil ini untukmu saja." Welly langsung menggelengkan kepala. Dia memang sangat menyukai mobil itu, tetapi dia tidak berani sembarangan meminta barang berharga milk orang lain. "A... aku tidak punya SIM." Welly menggelengkan kepala dengan canggung, lantas menaiki mobil.   Monica juga tidak banyak bicara. Jika tadi Welly berkata "mau", dia akan menyerahkannya pada Welly tapa ragu Bagaimanapun membuat putra Son Wijaya senang dengan sebuah mobil Mercedes-Benz hanyalah hal kecil.   Beberapa menit kemudian, mereka tiba di gerbang Universitas Batang. Lalu Welly turn dari mobil dan berkata, "Terima kasih kamu sudah mengantarku pulang." Monica tersenyum dan berkata tidak masalah. Dia juga memberikan nomor teleponnya pada Welly. "Jika ada kesulitan, kamu telepon aku saja.   Welly menganggukkan kepalanya, membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam sekolah. Monica juga mulai mengemudikan mobilnya dan perlahan- lahan meninggalkan tempat.   Di saat itu, sebuah mobil BMW X1 perlahan- lahan meluncur masuk ke sekolah. Di dalam mobil duduklah Nelson dan Tinayang baru pulang setelah bersenang-senang.   Pandangan Nelson terus tertuju pada mobil Mercedes-Benz yang bar saja meninggalkan tempat itu. Dalam hatinya berkata, "Entah konglomerat dari mana itu?" Dibandingkan dengan BMW X1-nya, harga Mercedes-Benz itu jauh lebih mahal berkali-kali lipat. Sedangkan Tinayang berada di jok sebelah menengadah dan melihat Welly yang berjalan masuk ke kos-kosannya. Tiba-tiba dia berteriak dengan nada penuh ejekan, "Sayang, bukankah itu si bodoh Welly?"   Nelson tersadar dari lamunannya, dia ikut menengadah dan melihatnya. Tiba-tiba muncul hasrat ingin mengerjainya. Lalu, dia mengegas mobilnya hingga suara knalpot terdengar keras dan mobil BMW-nya meluncur ke arah Welly...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD