2] Kandidat Calon Suami

1438 Words
Sore itu aku ke butik yang Aqila maksud. Aku hanya tinggal mengambil karena Aqila sudah menjelaskan semuanya kepada penjaga butik. Gaun yang cukup panjang serta jas Lian di-pack dengan dua kantong sungguh besar. Lumayan berat untuk ukuran tubuhku yang tidak begitu besar. Aku memang cukup tinggi tetapi tidak membuatku memiliki tenaga lebih kuat. Aku agak kesusahan membawa dua kantong besar ke parkiran. Sore itu adalah hari tersialku. Gaun Aqila dan jas Lian kujatuhkan begitu saja di paving block saat menyadari sepeda motorku tidak ada di tempat aku meletakkannya. Akhirnya, di sinilah aku sekarang. Aku duduk di depan hakim dan jaksa sebagai saksi di pengadilan menjawab pertanyaan hakim dengan suara bergetar. Sudut mataku menangkap pergerakan terdakwa yang menarik dan mengembuskan napas. Aku tidak habis pikir, mengapa manusia itu suka mencuri? Jika diperhatikan, terdakwa pencurian sepeda motorku itu mempunyai wajah yang enak dipandang. Wajahnya tidak menunjukkan kesan seorang kriminal. Siapa sangka lelaki dengan wajah baik-baik seperti dia melakukan pencurian. Sebenarnya aku juga bersalah dalam kasus ini karena teledor meletakkan kunci. Dalam sidang kedua ini, aku serasa berada dalam sel tahanan itu sendiri. Hakim ketua tidak henti menatap tajam dan membeberkan keteledoranku saat meninggalkan kunci sepeda motor. Rasanya aku ingin bersembunyi di balik meja hakim dan menghilang dari pandangan hadirin sidang. *** “Mbak Lezya?” Seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah yang mampu membuat d**a berdesir melihati diriku dengan kebingungan. Dia polisi yang kutemui di kantor polisi. “Pak Polisi, silakan duduk.” Segan, aku menunjukkan kursi kosong di hadapanku. Kabetulan restoran sedang ramai. Mungkin berbagi meja lebih baik. “Saya dengar kasusnya sudah selesai, Mbak?” Lelaki itu duduk di tempat yang aku tawarkan. Seorang jomblo berhadapan dengan lelaki tampan merupakan sebuah ujian. Aku harus menekan teriakan di dalam sana yang mengeja ’Nikahin aku, Pak!’. Aku tersenyum dengan manis. “Alhamdulillah sudah. Saya tidak ingin berurusan lagi dengan kepolisian,” sahutku. Tapi jika berurusan dengan polisi seperti Anda, ayuk Pak! “Tahu tidak Mbak, kasus pencurian sepeda motor menjadi industri di negara kita? Jika tidak ada penadah barang curian, maka pencuri akan berpikir lagi saat melakukan tindakan mereka. Misalnya mereka telah mencuri, tapi tidak ada yang mau membeli, untuk apa mereka susah-susah mengambil barang yang tidak bisa diuangkan?” “Jadi kasus pencurian sepeda motor seperti yang saya alami sangat banyak?” “Mbak Lezya adalah korban yang beruntung karena terdakwa pencurian bukanlah orang lama.” “Maksud Anda?” “Dia masih amatir, Mbak Lezya ini korban pertamanya,” jelasnya. Korban pertama? Ternyata dia bukan kriminal. Hatiku mulai goyah. Aku ingin bertemu dengan terdakwa untuk meminta maaf. Kalau bukan karena aku yang meninggalkan kunci motorku di depan butik, dia mungkin tidak akan menjadi pencuri. Kasus ini ibarat anekdot yang diberikan kepada wanita, yaitu kucing disodori ikan asin pasti akan disambar. “Semoga dengan kasus ini dia jera dan tidak akan mengulangi di kemudian hari,” sahutku. “Oh iya, panggil saja saya Siwi,” tambahku. “Baik, Mbak Siwi. Anda sering makan di sini?” “Free range chicken dengan saus kacang hitam dan sayuran adalah yang terbaik. Dan ya saya sering makan di sini. Oh iya, jangan pakai mbak, cukup Siwi saja, Pak.” “Kamu juga jangan panggil saya bapak, nama saya Allan.” Lihat senyuman Allan sangat memesona. Ya Allah, tolong jauhkan aku dari zina mata, hati, pikiran, dan perbuatan. *** Sekarang, aku tengah mengumpulkan keberanian untuk bertemu dengan Gara. Ketika pintu dibuka dan seorang sipir muncul bersama Gara, aku menegakkan kepalaku. “Selamat siang, Mas Gara. Saya sangat menyesal kejadian ini menimpa kita. Hhhmm... Saya... saya ingin meminta maaf atas kecerobohan saya waktu itu. Saya akan membantu meringankan hukuman Anda, saya akan berusaha melakukannya untuk Mas Gara.” Aku menunduk setelah menyampaikan maksud kedatanganku. “Ingin jadi malaikat, heh? Atau supaya saya lebih terlihat sebagai pesakitan yang butuh dikasihani?” Aku menegakkan kepala ketika Gara bersuara. Mata tajamnya seperti pisau cutter yang dapat mengiris jemariku hanya dengan sentuhan ringan. Dia memiliki suara khas yang sepertinya tidak mampu kulupakan hingga hari-hari ke depan. Niat saya tulus untuk menolong Mas Gara keluar dari sini. Segera. *** “Kamu meminta keringanan hukuman untuk Gara?” Aku terlonjak oleh bentakan Allan. Sudah kuputuskan, aku ingin mengeluarkan Gara dari penjara. Melalui Allan aku ingin mengetahui cara-caranya. “Dia sedang mempertanggungjawabkan perbuatannya di dalam sana. Berikan dia kesempatan untuk introspeksi diri!” “Kamu yang memberi tahu kalau Gara tidak sengaja melakukannya. Sudah cukup beberapa minggu dia di dalam sana. Dia tidak akan mengulangi kejahatan seperti itu.” “Hukum bersikap tegas. Tidak ada rasa kasihan,” pungkas Allan. “Pasti ada cara untuk meringankan hukuman Gara. Tolonglah, Allan!” kejarku. “Tidak bisa, Siwi. Gara sudah divonis lima belas bulan. Dia hanya menghabiskan selama satu koma tiga tahun untuk menyesali perbuatannya.” “Hanya? Itu terlalu lama. Bagaimana dengan keluarganya? Mereka membutuhkan Gara. Seseorang yang melakukan tindak kejahatan karena berada dalam situasi mendesak. Dia pasti salah satunya. Dia memiliki alasan kenapa melakukan pencurian. Lagi pula, itu kesalahanku.” “Penyesalan memang selalu berada di belakang. Tidak ada orang menyesal dulu sebelum berbuat.” “Dan saya percaya, dia pasti sudah menyesali perbuatannya,” tegasku. “Hal itu akan tampak selama dia menjalani masa kurungan,” pungkas Allan. Allan masuk ke dalam fortunernya. Dia sangat keras dengan pendiriannya. Mungkin karena Allan adalah seorang polisi jadi selalu taat hukum. Dia bersifat tegas. Baik, aku akan mencari polisi lain dan meminta pertolongan sesuai prosedur. *** Inspeksi lemari es mami kumulai sejak pukul sembilan pagi. Ada ayam dan daging sapi. Ide cemerlang langsung berdenting. Melihat nanas, aku ingin memasak ayam kuluyuk. Saus tomat dicampur nanas pasti akan terasa segar sebagai sambalnya. Tidak lupa aku tambahkan kaldu ayam dan kecap manis. Sepertinya sayur kailan yang hijau bisa dijadikan campuran daging. Daging sapi yang telah disayat agak tipis ditumis ke dalam bumbu. Wanginya sangat menggoda ketika dagingnya sudah matang. Sekarang tinggal menaruhnya di atas kukusan kailan. Cah daging kailan ala Siwi sudah dapat dinikmati. “Memangnya Lian ada di rumah?” Lian lagi, Lian lagi. Kenapa setiap hari aku harus mendengar namanya? Aku saja bosan, masak mami tidak? “Siwi tidak tahu.” “Lalu makanan itu untuk siapa? Mami sudah masak untuk kita.” “Tidak mungkin aku memasak untuk dia. Dia punya mama dan calon is.tri.” “Kamu calon istrinya.” “Siwi mau antar makanan ini. Ada sedikit yang Siwi sisakan untuk Mami. Pasti Mami suka masakanku.” “Mau ke mana?” “Ke penjara.” “Kamu sudah gila? Apa yang kamu lakukan di sana?” “Mengantar makanan untuk Gara.” “Siapa itu Gara?” “Yang akan mencuri sepeda motor Siwi.” “Itu bahaya. Jangan tunjukkan wajahmu kepadanya. Eh tunggu... tunggu! Bukan itu yang penting. Kenapa kamu repot-repot memberi dia makan? Di sana sudah ada makanannya. Ya ampun Siwi, dia itu napi. Dia yang telah maling sepeda motor kamu.” “Kenyataan tidak akan berubah. Aku tahu, dia telah melakukan kesalahan. Tetapi setiap manusia wajib saling memberi maaf. Siwi sudah memaafkan dia. Lagi pula kejadian itu sudah lewat.” “Tidak ada maling yang tobat. Nanti setelah dia keluar, dia pasti akan mencarimu. Dia akan mencelakaimu. Jadi urungkan niatmu bertemu dengan dia.” “Mami ... Sekali ini saja, Siwi sudah masak banyak.” “Kamu bisa mengantarkan kepada Nora. Lian suka daging.” *** “Mau apa kamu datang lagi?” “Saya ingin mengantarkan makanan ini untuk Mas Gara. Saya masak sendiri tadi pagi. Ada ayam kuluyuk dan cah daging. Semoga Mas Gara suka. Ini masakan baru bagi saya. Biasanya saya hanya memasak ayam goreng dan makanan biasa lainnya.” Kuulurkan tupperware ke hadapannya. Aku juga membawa termos stainless tempat kopi s**u. Menunggu Gara mengambil makanan itu, aku menuangkan kopi s**u ke dalam cangkir plastik. PRANG! “Aaaaaah.” Perih menyentuh punggung tanganku. Dengan sekuat tenaga kukibaskan tanganku ke udara. Dalam beberapa detik tubuhku sudah dipindahkan ke sebuah lorong. Tepat di luar pintu tempat aku menemui Gara. Petugas yang tadi menemaniku bergerak ke dalam dan menggiring Gara ke sel tahanan. Wajahnya datar tiada emosi. Diseret seperti itu, Gara menurut saja. Aku lebih bersimpati melihat dia seperti itu. Lalu pandanganku jatuh pada ayam kuluyuk dan cah daging kailan yang kubuat dengan sepenuh hati. Tadi pagi aku sangat senang melihat hasil karyaku. Selama memasak bahkan aku tersenyum membayangkan makananku akan dinikmati oleh Gara dengan lahap. Dan kopi itu... “Ini rupanya yang kamu cari ke tempat seperti ini.” Aku berbalik. Allan berdiri dengan posisi tangan di dalam saku celana. Ia menyandar di dinding. Aku tidak mengerti kenapa Allan marah kepadaku. Kualihkan pandangan ke tanganku yang melepuh oleh kopi panas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD