Konflik

1742 Words
Cerita ini dimulai dari dua hati yang dimabuk cinta dan berjuang untuk bersama. Strata keluarga, menjadi penghalang bagi keduanya. Namun, perjuangan dua insan terus berlanjut dan mereka dapat bersatu dalam ikatan pernikahan yang indah. Sayang, putra putri merekalah yang menjadi korban sesungguhnya. *** Bunga Oktora, gadis sederhana yang begitu indah. Ia seperti angsa putih dengan leher jenjang nan memukau. Ketika tersenyum, lesung pipi menyambut siapa saja, hingga menghadirkan keindahan dunia yang sebenarnya. Bunga sangat enak untuk dipandang. Mereka tidak memiliki emosi ataupun konflik. Itulah yang sering Lucky katakan kepada teman-temannya. Bagi laki-laki keturunan darah biru itu, gadis ini adalah satu-satunya keindahan dunia yang sangat ingin ia miliki. Sementara Lucky, dia bagai raja yang sangat dihormati. Paras rupawan dengan sikap rendah hati, membuatnya begitu banyak teman dan digemari. Bagi para gadis, Lucky merupakan sosok pria idaman yang sempurna. Lucky berdiri di hadapan Bunga sambil tersenyum, "Kamu kembali berada di posisi tertinggi?" tanyanya seraya menatap ujung hidung dan bibir Bunga yang ranum, dari atas. Jika tengah berdiri berdampingan, wajah Bunga hanya sebatas dadaa Lucky. Sehingga ia harus menengadahkan kepala cukup tinggi, hanya untuk menikmati tatapan hangat dari sang idola. Bunga mengangkat wajah dan tersenyum manis. "Iya," jawabnya dalam anggukan kepuasan. "Kalau begitu, kita jadian dong?" tanya Lucky yang sudah melakukan perjanjian kecil dengan gadis berlesung pipi tersebut. "A-apa?" Bola mata Bunga membesar karena ia sangat terkejut dan malu. "Aku ... ." "Aku juga mendapatkan nilai tertinggi di kelas." Lucky memperlihatkan hasil nilai semester tujuh kepada Bunga. "Sesuai perjanjian, kita akan bersama jika aku berhasil." "Soal itu ... ." "Jangan lagi pikir panjang! Ayo kita pacaran!" ajak Lucky sambil menarik tangan Bunga dan mengajaknya berlari mengelilingi taman kampus, di mana keduanya biasa menghabiskan waktu untuk belajar dan bercanda. "Pelan-pelan, Ky! Aku bisa jatuh." "Tenang saja! Tanganku ini sangat kokoh dan bisa menjadi tempatmu untuk meletakkan semua beban dan berat badan." "Jangan mengejekku!" pinta Bunga yang sudah mengikuti langkah cepat dari laki-laki yang sejak awal telah bersemayam di dalam jiwanya. "Ha ha ha ha ha. Sebentar lagi, kita akan menikah Bungaaa!" pekiknya seolah tidak punya rasa malu. Suara itu mengalihkan pandangan mahasiswa lainnya hingga menjadikan Bunga dan Lucky sebagai objek pemandangan, sekaligus hiburan, di siang hari ini. "Kita masih kecil, dasar konyol!" sambut Bunga dalam tawa. *** Lima tahun berlalu, mereka berdiri seperti bunga dan tangkainya. Saling menyokong, saling menyayangi, saling percaya, saling cinta, dan memberi semangat. Hari ini, Lucky menjadi pengusaha muda yang sukses. Di kediamannya, keluarga besar keturunan bangsawan itu, merayakan kesuksesan sang putra semata wayang dari keluarga utama Sanur. "Selamat ya, Sayang," ucap nyonya Susan dengan suara ekstra lembut yang dibalut rasa bangga, terhadap putranya. "Makasih ya, Ma. Semua ini buat Mama," sahut Lucky santun seperti biasanya. "Selamat, Lucky!" tuan Sanur merentangkan kedua tangan dan memeluk hangat putranya. "Thanks, Pa. Semua ini, berkat ajaran Papa," puji Lucky yang tidak ingin berbangga hati seorang diri. "Duh, Jeng ... putramu. Jadi gemes saya," kata teman sosialita nyonya Susan dengan senyum sumringah. "Buat saya aja ya! Kebetulan banget, putri saya seorang pramugari. Cantik loh," pujinya pada diri sendiri. "Ha ha ha ha ha. Iya, aman. Besok, kita ketemuan saja!" saran nyonya Susan dalam senyum kebahagiaan. "Iiih, tunggu dulu!" potong yang lainnya. "Putri saya dong, dokter kecantikan. Dijamin cantiknya," sambung yang lainnya, seraya merapikan peluh di wajah yang sudah dipoles dengan berbagai pewarna dunia. "Wah-wah, sabar ya semuanya!" pinta nyonya Susan. "Nanti, biar Lucky saja yang memilih. Sesuai dengan keinginannya." "Ya sudah kalau begitu. Lagian nih ya, saya yakin sekali kalau putri saya akan terpilih. Wong cantiknya sampai terbang ke angkasa kok," ujar perempuan berikat rambut mutiara asli, seraya mengipasi wajahnya. Lalu perempuan tersebut, meninggalkan nyonya Susan. "Daaah ... ," jawab rekan lainnya. "Kalau gitu, saya pamit dulu ya? Mau bilang sama Lucky, kalau besok akan ada pertemuan nyonya sosialita dan dia bisa memilih wanitanya di sana." "Oke, Jeng. Silakan!" "Permisi." Nyonya Susan berjalan ke arah putranya yang tengah mengobrol berat bersama koleganya. Setibanya di sisi Lucky, "Sayang, sebentar! Mama mau bicara dong!" pintanya dengan suara tenang. "Sebentar ya, Pak!" pinta Lucky pada rekan kerja lainnya. "Ada apa, Ma? Kita lagi bahas cabang yang di Pulau Bali," jelas Lucky, mengisyaratkan bahwa dirinya masih ingin berbincang. "Sini dulu!" nyonya Susan menarik tangan kanan putranya. Mereka pun berjalan cepat ke arah tuan Sanur. "Papa!" panggil sang istri dengan suara manja. "Ada apa sih, Ma?" tanya tuan Sanur. "Kok putranya yang sudah dewasa ditenteng sana-sini?" "Papa ih, gini loh. Mama dan teman-teman punya rencana besok. Mereka, ingin Lucky menjadi anak menantu. Makanya, kita bakalan ngadain pertemuan dan Lucky berhak memilih siapa saja yang ia sukai." "Tunggu-tunggu, Ma!" Lucky mematahkan percakapan tersebut. "Sebelum itu, ada yang ingin Lucky sampaikan terlebih dahulu." "Soal apa, Nak?" tanya sang papa dalam tatapan hangat. "Sebenarnya, Lucky sudah punya wanita idaman, Pa, Ma." Lucky memberi jawaban langsung dan itu membuat kedua orangtuanya sangat terkejut. "Nggak mungkin ah," jawab nyonya Susan sambil menggelengkan kepala. "Mama dan Papa juga kenal banget kok sama orangnya," sambung Lucky penuh percaya diri. "Begini saja. Nanti malam, bawa perempuan itu ke rumah ini!" tantang tuan Sanur dengan wajah serius. "Oke, Pa. Pada jam makan malam," sahut Lucky tampak bersemangat. "Lucky pamit dulu ya?" Kemudian Lucky meninggalkan semua orang untuk menemui Bunga, dan mempersiapkan diri demi makan malam spesial, serta pertemuan keluarga. "Papa ini, kok diiyakan aja sih? Sebel!" Nyonya Susan meninggalkan suaminya dengan wajah yang masam. "Mama!" panggil tuan Sanur, lalu ia menghela napas panjang karena tidak didengarkan. "Kebiasaan sekali," celotehnya sambil memegang dadaa. *** Sekitar pukul 19.30 WIB, Lucky membawa Bunga ke kediamannya yang mewah. Setelah bersusah payah meyakinkan hati wanitanya, ia berhasil memperlihatkan Bunga kepada kedua orang tua serta kerabat utama Sanur. "Selamat malam semuanya," sapa Lucky dalam senyum cemerlang. "Perkenalkan, ini Bunga dan dia adalah salah satu orang yang menjadi alasan kesuksesan saya," kata Lucky penuh semangat dan ia tidak berbohong. "Dia!?" nyonya Susan berdiri dengan wajah tegang. Tampak sekali gurat wajah tak suka, di sana. "Iya, Ma. Mama kenalkan?" tanya Lucky sambil terus tersenyum. Sedangkan Bunga mencubit pakaian yang ia kenakan, demi bertahan dari tatapan tajam nyonya besar tersebut. "Kamu keterlaluan sekali, Lucky," bantah nyonya Susan terdengar begitu emosional. "Apa kata dunia nanti? Kamu ingin mencoreng wajah Mama?" "Ma, apa yang salah? Selama ini, Bunga yang sudah mengajarkan Lucky banyak hal, termasuk strategi bisnis yang saat ini berkembang pesat." "Jangan membuat Mama tertawa sampai muntah ya!" tukasnya dengan wajah beringas. "Dan kamu, jangan mengambil kesempatan di dalam kesempitan!" perintahnya sambil menunjukkan kasar ke arah Bunga, dengan tangan kirinya. "Lucky, sebaiknya aku pamit. Sejak awal aku sudah pernah bilang kan? Semuanya tidak akan mungkin." Manik mata Bunga berkaca-kaca. "Bagus kalau kamu sadar diri," timpal nyonya Susan sambil bergerak ke arah Bunga. "Sekalian, bawa ibu kamu keluar dari rumah saya! Mulai hari ini, dia saya pecat." Ibu Widuri memejamkan kedua mata untuk menghalau air matanya. Bukan sakit hati karena dipecat, tetapi terluka akibat kalimat tajam yang dihujam ke arah putrinya. "Nyonya ... ." "Pintar kamu ya. Kamu jadikan dia umpan untuk merebut anak saya. Ternyata, diam-diam kamu ingin menjadi nyonya besar di mana kamu mengais rezeki. Ih, sangat menjijikkan," hina nyonya besar tersebut tanpa henti. "Tidak, Nyonya." Ibu Widuri membela diri. "Demi Allah, saya dan putri saya, tidak memiliki niat buruk seperti itu," sanggahnya sambil melipat kedua tangan di depan dadaa, seolah memohon pengampunan. "Keluar kamu dari rumah ini!" perintah nyonya besar itu dengan suara yang sangat kasar, sembari melemparkan sejumlah uang ke arah asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak 25 tahun yang lalu. "Dasar bedebaaah! Tidak tahu malu," umpatnya sekali lagi. "Mama, please!" pinta Lucky sambil terus menahan tangan Bunga. Ia tidak ingin melawan sang mama, tetapi juga tidak tega akan hinaan terhadap Bunga. "Tolong, lepasin aku!" pinta Bunga dengan mata yang sudah basah. "Aku tidak bisa melihat ibu terhina. Semua ini, sudah cukup!" "Bunga, Sayang!" Lucky memohon dalam pinta. "Bertahanlah sedikit saja!" "Tidak masalah jika itu aku, tapi ini ibu." Suara Bunga bergetar. "Satu-satunya keluarga yang aku miliki, aku mohon!" pinta Bunga dengan suara mendayu-dayu. Kemudian ia memaksa Lucky untuk melepaskan genggaman tangannya. "Kalau Mama tidak bisa menerima Bunga, lebih baik Lucky pergi." "Kamu sudah berani melawan Mama hanya karena wanita miskin itu?" "Ma, Lucky sangat mencintai Bunga. Lucky juga cinta sama Mama, tapi sikap Mama begitu buruk." "Baik, pergi saja! Tapi jangan menyesal jika Mama bunuh diri!" ancamnya tampak serius. "Mama ... Lucky juga bisa mati tanpa Bunga." "Pergilah! Dan jangan pernah menyesal!" Lucky terdiam di persimpangan. Ia bingung harus berbuat apa. Pada saat yang bersamaan, nyonya Susan mengambil pisau buah yang berada di atas meja makan dan berniat untuk menyayat nadinya. "Mama, jangan!" Lucky berlari sangat cepat untuk menahan rencana gila tersebut. Dibantu dengan yang lainnya, nyonya Susan pun selamat tanpa luka. Berbeda dengan Lucky yang sudah terlanjur menggenggam pisau buah, hingga meninggal sayatan panjang pada telapak tangannya. "Ada apa ini?" tanya tuan Sanur dari luar. Beliau memang tidak tahu tentang apa pun yang terjadi, tetapi tidak berniat untuk bertanya. "Obati lukanya Lucky!" perintahnya kepada ibu Widuri. "Kenapa harus wanita itu sih, Pa?" tepis nyonya Susan yang kembali terbakar hatinya. "Apa salahnya, Ma?" tanya tuan Sanur. "Toh, selama ini yang mengurus Lucky sejak bayi adalah mbak Widuri." "Tapi kali ini berbeda, Pa. Mama nggak rela ya, kalau putra Mama disentuh oleh perempuan rendahan seperti mereka. Mama nggak sudi punya besan dari seorang pembantu!" "Cukup, Ma!" pinta tuan Sanur yang selama ini sudah begitu sabar. "Urusan pasangan hidup, serahkan seluruhnya kepada Lucky!" Tuan Sanur memang terkenal baik hati dan bijaksana. Baginya, harta ini adalah titipan dari Tuhan. Itulah sebabnya, beliau selalu dipandang berharga dan menjadi sosok yang dermawan. "Apa?" nyonya Susan terdiam karena tidak percaya akan dukungan yang diberikan oleh suaminya. "Nggak! Nggak mungkin. Jangan bercanda kamu, Pa!" "Apa benar, kamu mencintai Bunga?" tanya sang papa kepada putranya yang masih menahan perih akibat luka. "Sangat, Pa. Lebih dari diri sendiri," jawab Lucky dengan mata berkaca-kaca. Tuan Sanur menoleh ke arah Bunga, "Kamu, Bunga?" "Tuan ... ?" Bunga tidak mampu berkata banyak, apalagi tuan Sanur selalu memegang kepalanya untuk menguatkan, ketika almarhum ayahnya sakit keras dan ia harus bekerja tambahan untuk memenuhi biaya kuliahnya. "Jika semua aset dan harta ini dicabut dari Lucky, apakah kamu akan tetap setia dan mencintai putra saya?" "Bunga sudah terbiasa menderita dan bekerja keras, Tuan. Bunga sangat mencintai Lucky." "Baik. Kalau begitu, siapkan pernikahan mereka secepat mungkin!" titahnya mengambil alih semua keputusan. "Baik, Tuan besar," jawab seluruh asisten rumah tangga di dalam kediaman megah tersebut. Sementara nyonya Susan, hanya terduduk dalam napas yang terasa sesak. "Tidak mungkin!" gumamnya dalam segudang amarah. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD