Arya mengatur beberapa alat di samping ranjang dengan gerakan tenang dan terukur. Suasana ruangan terasa hening, hanya terdengar bunyi lembut alat medis.
“Kamu jangan mikir terlalu jauh dulu,” ucap Arya tanpa menatap langsung. “Kita lihat satu-satu dari hasil pemeriksaan. Jangan menyimpulkan sebelum ada fakta.”
Evelyn mengangguk kecil. “Iya, Mas…”
Arya lalu melirik ke arahnya. “Suamimu tahu kamu periksa ke sini hari ini?”
“Tahu,” jawab Evelyn lirih. “Tapi katanya banyak kerjaan di kantor. Dia bilang… nanti saja baru ikut.”
Gerakan tangan Arya terhenti sesaat.
“Dia… orangnya gimana ke kamu?” tanya Arya hati-hati.
Evelyn menatap langit-langit ruangan, matanya kosong sejenak.
“Baik,” jawabnya singkat, lalu menambahkan, “Dia nggak maksa aku harus cepat punya anak. Cuma… Mama sama ibu mertuaku yang sering menekan. Apalagi kalau lagi kumpul keluarga.”
Arya terdiam cukup lama. Rahangnya terlihat mengeras, lalu ia mengembuskan napas perlahan agar suaranya tetap tenang.
“Kamu sering kepikiran soal itu, kan?”
“Enggak,” jawab Evelyn cepat. Terlalu cepat.
Arya menarik sebuah kursi, lalu duduk di samping ranjang sehingga posisi mereka sejajar.
“Evelyn, stres itu bisa sangat memengaruhi hormon. Mas dokter. Kamu nggak bisa bohong sama mas.”
Evelyn tersenyum kecil, pahit. “Kalau begitu… semua ini salah aku?”
“Bukan,” Arya langsung memotong tegas. “Dalam masalah kehamilan, bukan cuma istri yang harus diperiksa. Suami juga punya peran yang sama besarnya.”
Evelyn menoleh pelan. “Arthur… belum mau periksa bareng.”
Arya menatapnya lebih tajam. “Kenapa?”
Evelyn ragu, lalu akhirnya jujur.
“Katanya… dia yakin yang bermasalah itu aku.”
Ruangan langsung terasa lebih sunyi. Arya mengepalkan tangannya perlahan, lalu kembali mengendurkannya.
“Itu nggak adil,” ucap Arya dingin. “Kamu nggak boleh sendirian nanggung beban seperti ini.”
Evelyn terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Mas…” suaranya bergetar. “Kalau nanti ternyata aku memang susah hamil? Apalagi umurku juga nggak muda lagi.”
Arya menunduk, lalu menatapnya dengan sorot yang jauh lebih lembut.
“Dengar… masih banyak jalan. Program hamil, terapi hormon, sampai bayi tabung. Dunia medis sekarang sudah jauh berkembang.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan suara tenang,
“Dan satu hal yang harus kamu ingat… masalah keturunan itu bukan cuma soal perempuan. Bisa juga dari pihak laki-laki. Kualitas s****a, hormon, gaya hidup… semuanya berpengaruh.”
Evelyn menelan ludah. “Jadi… belum tentu aku yang salah?”
“Belum tentu,” jawab Arya pasti. “Karena itu mas ingin kalian diperiksa bersama.”
Evelyn memejamkan mata sebentar.
“Kalau aja Arthur mau ngerti…”
Arya menatapnya dalam. “Mas akan bantu sebisa mungkin sebagai dokter. Tapi kamu juga harus berani memperjuangkan diri kamu sendiri.”
Arya menyiapkan alat USG di sisi ranjang. Suaranya terdengar tenang, berusaha tetap profesional.
“Evelyn, tarik napas pelan dulu ya. Kita mulai pemeriksaan awal.”
Evelyn mengangguk gugup. “Iya, Mas… aku siap.”
Arya memposisikan alat pemeriksaan dengan hati-hati. Tatapannya fokus ke layar monitor. Beberapa detik berlalu dalam keheningan.
“Untuk sementara, rahim kamu terlihat normal,” ucap Arya akhirnya. “Belum ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan dari hasil awal ini.”
Evelyn membuka matanya. “Berarti… aku masih punya harapan, Mas?”
Arya menoleh. “Tentu. Tapi kita belum bisa menyimpulkan apa pun hanya dari ini.”
Ia lalu meletakkan alatnya kembali.
“Besok, kamu datang lagi ke sini bareng suami kamu.”
Evelyn tampak ragu. “Untuk apa, Mas?”
“Kita bicarakan semuanya dengan terbuka,” jawab Arya tegas tapi lembut. “Program kehamilan itu harus dijalani berdua. Nggak bisa separuh-separuh.”
Evelyn menunduk. “Kalau Arthur tetap nggak mau datang?”
Arya menatapnya dalam. “Mas akan jelaskan sendiri ke dia. Tapi kamu juga harus berani meminta hak kamu sebagai istri.”
Evelyn mengangguk pelan. “Aku usahakan, Mas.”
Arya duduk kembali ke mejanya lalu menulis resep. “Ini vitamin dan obat penunjang kesuburan. Diminum rutin dulu.”
“Baik, Mas.”
Evelyn turun dari ranjang pemeriksaan, merapikan pakaiannya, lalu berdiri di depan Arya.
“Aku permisi dulu ya, Mas. Terima kasih.”
“Iya,” jawab Arya pelan.
Saat Evelyn hendak melangkah keluar, tiba-tiba Arya memanggilnya.
“Eve…”
Evelyn berhenti dan menoleh jantungnya berdetak kencang,tangannya gemeteran.
“Iya, Mas? Ada apa?”
Arya ragu sejenak, lalu hanya berkata,
“Hati-hati di jalan.”
Evelyn tersenyum kecil. “Iya, Mas.”
Ia melangkah keluar ruangan. Sementara itu, Arya tetap berdiri di tempatnya, menatap pintu yang sudah tertutup.
“Evelyn…” gumamnya pelan.
“Seandainya kamu tahu… rasa cinta Mas dari dulu tidak pernah berubah sedikit pun.”
Evelyn menebus obat di apotek rumah sakit. Ia menerima bungkusan kecil berisi harapan sekaligus beban.
Di luar, langkahnya melambat.
“Besok harus ngajak Arthur ke sini…” batinnya.
“Entah dia mau atau tidak.”
Setelah membayar obat di apotek, Evelyn melangkah menuju lift. Tangannya masih menggenggam kantong kecil berisi resep dari Arya. Pintu lift menutup perlahan.
Di dalam lift yang sepi, Evelyn bersandar pelan ke dinding kaca.
“Kenapa deg-degan begini, sih…” gumamnya lirih.
Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri.
“Sadar, Evelyn. Kamu sudah punya suami.”
Lift sampai di lobi. Evelyn melangkah keluar dan menuju mobil yang sudah menunggu di depan rumah sakit. Pintu dibukakan oleh sopir.
“Ke kantor suami saya, Pak,” ucap Evelyn sambil masuk ke dalam mobil.
“Baik, Mbak Evelyn,” jawab sang sopir.
Mobil mulai melaju perlahan meninggalkan halaman rumah sakit. Evelyn menatap keluar jendela, pikirannya kembali ke ruangan tadi.
“Kenapa jantungku berdetak kencang waktu Mas Arya menyentuh tanganku?” batinnya gelisah.
“Itu cuma sentuhan biasa… dia hanya bilang hati-hati.”
Ia meremas jari-jemarinya sendiri di atas pangkuan.
“Tapi kenapa rasanya seperti bukan sekadar perhatian biasa?”
Evelyn memejamkan mata sebentar.
“Tidak, Evelyn. Kamu sudah bersuami. Arthur adalah suamimu.”
Namun bayangan wajah Arya kembali terlintas. Nada suaranya yang tenang. Tatapannya yang hangat.
“Berhenti… berfikir aneh-aneh,” bisiknya pada diri sendiri.
Mobil terus melaju, membawa Evelyn menuju kantor namun pikirannya masih melayang di ruangan Arya tadi.