Evelyn kembali ke meja dengan langkah pelan. Ia duduk di samping Arthur, wajahnya masih sedikit pucat. Arthur menoleh, menatapnya sebentar.
“Kamu kenapa? Lama banget,” bisik Arthur.
Evelyn memaksakan senyum.
“Antri panjang, Mas.”
Arthur mengangguk meski matanya penuh selidik.
Tak lama kemudian, MC naik ke atas panggung.
“Hadirin yang berbahagia, acara selanjutnya adalah prosesi pertunangan antara Saudari Imelda Aprilia dan Saudara Arya Saputra.”
Tepuk tangan memenuhi ballroom.
Imel dan Arya melangkah ke depan. Lampu sorot mengarah ke mereka. Kotak cincin dibuka. Mereka saling bertukar cincin di hadapan semua tamu.
Namun, di antara keramaian itu, mata Arya justru terpaku pada Evelyn bukan pada pasangan yang sedang tunangannya. Evelyn menunduk, gelisah.
Setelah prosesi pertunangan selesai, Marco naik ke podium. Suaranya lantang dan penuh wibawa.
“Hadirin sekalian,” katanya.
“Saya ingin menyampaikan bahwa Arya Saputra, putra satu-satunya saya, secara resmi akan menjadi pewaris tunggal PT Cakrawala Tbk.”
Tepuk tangan kembali menggema.
Arthur menoleh pada Evelyn, berbisik pelan tapi tajam,
“Itu perusahaan punya ayah tiri kamu, kan? Bukan punya kamu?”
Evelyn menatap lurus ke depan.
“Iya, Mas… itu perusahaan keluarga Papa.”
Arthur tersenyum tipis, tapi hatinya bergejolak.
“Sia-sia doa gue nikahin dia demi harta…” gumamnya dalam hati.
“Tapi nggak apa-apa. Anak tiri tetap bisa kebagian warisan. Yang penting aku harus cepat punya anak sama Evelyn.”
Setelah acara formal selesai, suasana berubah lebih santai. Tamu-tamu mulai bercengkerama.
Arya mendekat ke meja Arthur dan Evelyn.
“Mas, boleh gabung?”
Arthur tersenyum ramah.
“Tentu saja, Mas. Silakan.”
Arya duduk di sisi Evelyn.
“Besok jangan lupa ya, kalian ada jadwal pemeriksaan.”
Arthur langsung menyahut penuh semangat,
“Pasti, Mas. Aku dan Evelyn memang pengin secepatnya punya anak.”
Evelyn tersenyum kaku.
Di bawah meja, tangan Arya tiba-tiba meremas paha Evelyn pelan dan mengelusnya. Tubuh Evelyn menegang. Napasnya tertahan.
“Mas…” batinnya gemetar.
Arthur sama sekali tak menyadari.
Untuk mengalihkan suasana, Arthur bertanya,
“Mas Arya udah lama di Amerika, ya?”
Arya menarik tangannya perlahan, lalu menjawab santai,
“Iya. Dari lulus SMA sampai selesai sekolah spesialis kandungan. Maaf ya, Mas, dulu nggak sempat datang ke pernikahan kalian.”
“Nggak apa-apa, Mas. Kami paham,” jawab Arthur tulus.
Tak lama kemudian, Marco dan Laura ikut bergabung di meja mereka.
Marco berkata tegas,
“Arya, Papa harap mulai hari ini kamu tinggal di rumah saja. Kita kumpul lagi seperti dulu. Jangan di apartemen kecuali kamu udah menikah dengan Imelda gak apa-apa.”
Laura ikut menimpali dengan senyum lebar,
“Iya, Mama malah seneng kalau rumah rame.”
Arya menghela napas.
“Tapi aku nggak bisa ngurus perusahaan, Pah. Aku lebih suka di dunia kedokteran.”
Marco tersenyum penuh perhitungan.
“Nggak apa-apa. Kan ada Arthur dan Evelyn yang bantu mengelola. Kamu cukup jadi pemiliknya saja. ”
Arthur langsung tersenyum bangga.
“Siap, Pah. Saya akan bantu sebaik mungkin.”
Evelyn hanya diam. Tangannya mengepal di bawah meja. Dadanya sesak oleh rahasia yang tak bisa ia ucapkan.
Di sampingnya, Arya meliriknya dengan senyum samar penuh makna.
Imelda meraih lengan Arya yang sejak tadi tampak menjaga jarak.
“Mas, kamu kenapa sih dari tadi jauhin aku?” tanya Imelda dengan bibir manyun.
Arya tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Evelyn dan Arthur.
“Maaf aku sedang ngobrol dengan keluarga ku. Kenalin dulu. Ini adik tiriku, Evelyn… dan itu suaminya, Arthur.”
Imelda langsung tersenyum ramah.
“Hai…aku Imelda senang banget akhirnya bisa ketemu kalian.”
Arthur mengangguk sopan.
“Kami juga senang ketemu kamu, Mel.”
Evelyn hanya tersenyum kecil, hatinya tidak tenang.
Tiba-tiba ponsel Arthur bergetar. Ia melirik layar, lalu wajahnya sedikit berubah.
“Sayang,” katanya pelan pada Evelyn,
“aku harus ke kantor dulu. Ada urusan mendadak. Kamu pulang bareng Papa dan Mama aja, ya?”
Sebelum Evelyn sempat menjawab, Laura langsung menyahut,
“Papa dan Mama nggak langsung pulang, Sayang. Masih mau ngobrol in pernikahan Arya dan Imelda.”
Marco ikut menimpali,
“Iya. Evelyn nanti pulang bareng Arya saja.”
Arthur sedikit mengernyit, lalu mengangguk.
“Kalau begitu, titip Evelyn ya, Mas.”
Arya berdiri sambil merapikan jasnya.
“Siap.”
Ia menoleh ke Evelyn dan Imelda.
“Ayo, Evelyn. Mel, aku duluan ya.”
Evelyn ikut berdiri.
“Eve duluan ya, Mah, Pah, Mas.”
Laura mengangguk.
“Hati-hati di jalan.”
Di depan pintu ballroom, Arya berkata pelan,
“Kamu tunggu di lobby ya. Aku ambil mobil dulu.”
“Iya, Mas.”
Evelyn berjalan sendiri menuju lobby hotel. Ia berhenti di dekat pintu kaca besar. Orang-orang lalu-lalang, suara tawa masih terdengar dari dalam ballroom.
Tangannya meremas tasnya kuat-kuat.
“Apa yang sebenarnya Arthur sembunyikan dari aku?” batinnya gelisah.
“Kenapa dari tadi rasanya semua aneh…”
Tak lama kemudian, suara klakson terdengar.
“Tin… tin…”
Evelyn menoleh. Mobil Arya berhenti tepat di depannya. Kaca jendela turun perlahan.
“Ayo, masuk,” kata Arya singkat.
Evelyn ragu sesaat, lalu membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.
Begitu pintu tertutup, suasana langsung terasa sunyi dan tegang.
Arya meliriknya sekilas.
“Kamu kelihatan pucat.”
Evelyn menatap lurus ke depan.
“Kecapekan aja.”
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah. Hujan turun makin deras, mengguyur atap dan halaman seperti tirai air yang tebal. Arya lebih dulu turun lalu membukakan pintu untuk Evelyn.
“Hujannya makin deres…” gumam Evelyn sambil berlari dari garasi menuju teras rumah.
Mereka berlari kecil menuju teras. Begitu pintu dibuka, rumah langsung terasa gelap gulita.
Evelyn melangkah ragu.
“Mas… kayaknya mati lampu.”
Arya mencoba menekan saklar. Tak ada cahaya yang menyala.
“Iya, benar. Mati lampu.”
Evelyn menelan ludah.
“Rumahnya sepi banget…”
Arya menoleh menatapnya.
“Tenang. Mas anter kamu ke kamar, ya.”
Mereka berjalan perlahan menyusuri lorong gelap. Hanya suara hujan dan langkah kaki mereka yang terdengar.
Tiba-tiba—
DUAARR!
Petir menyambar disusul suara guntur menggelegar. Seketika Evelyn refleks memeluk lengan Arya erat.
“Mas!”
Arya sedikit terkejut, lalu menoleh padanya.
“Kamu masih takut petir?”
Evelyn tersadar, buru-buru melepaskan pelukannya.
“Maaf, Mas… refleks.”
Arya menatapnya beberapa detik dalam diam.
“Kamu dari dulu memang begitu. Setiap hujan dan petir, selalu lari nyari orang.”
Evelyn tersenyum tipis, menahan gugup.
“Iya… kebiasaan jelek yang belum hilang.”
Arya melangkah lagi.
“Ayo. Pegang dinding saja biar nggak nabrak.”
Mereka kembali berjalan. Suasana terasa makin canggung. Hanya suara napas mereka yang terdengar di antara hujan dan guntur.
Sesampainya di depan pintu kamar, Arya berhenti.
“Ini kamarmu.”
Evelyn memegang gagang pintu, ragu sesaat.
“Mas… makasih udah nganter.”
Arya mengangguk pelan.
“Istirahatlah. Kamu kelihatan capek.”
Evelyn membuka pintu perlahan. Sebelum masuk, ia menoleh lagi.
“Mas…”
“Iya?”
Evelyn menahan tangan Arya.
" Bisa temenin aku tidur?”