“Ugh…Ah” suara lenguhan memenuhi kamar saat Arthur menyelesaikan puncak permainannya diranjang, lalu turun dari tubuh Evelyn sambil duduk di tepi ranjang.
“Udah, gimana kamu puas Sayang? ” katanya singkat.
Evelyn masih terdiam beberapa detik, menatap langit-langit kamar dengan d**a naik turun. Lalu ia menoleh cepat ke arah suaminya.Menujukan wajah tak puas dengan kinerja suaminya.
“Mas… kamu serius?”
Arthur langsung berdiri, meraih celana pendek di lantai. “Kenapa emangnya?”
Evelyn duduk, selimutnya ia tarik hingga sebatas d**a. “Perasaan belum lima menit masuknya, Mas? Masa kamu udah keluar?”
Arthur mendesah sambil memasukkan kaki ke celana. “Ya maklum, Eve. Mas capek. Kerjaan di kantor lagi numpuk.”
“Capek?” Evelyn tertawa kecil, hambar. “Terus menurut kamu aku ngapain dirumah,Mas? ”
Arthur tidak menjawab. Ia langsung naik ke ranjang, membelakangi Evelyn dan menarik selimut.
“Nyebelin banget kamu!” Evelyn menaikkan suaranya. “Aku masih ngomong, Mas! Kamu malah ditinggal tidur!”
“Mas ngantuk,” sahut Arthur malas. “Besok ada meeting penting. Jangan drama, deh.”
Selimut ditarik lebih rapat. Punggungnya benar-benar membeku, tak peduli pada Evelyn yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Halah… selalu aja itu alasan kamu,Mas,” gumam Evelyn pelan.
Tak ada jawaban.
Evelyn mengatupkan bibir, lalu bangkit. Ia meraih piyama yang tergantung di kursi, memakainya dengan gerakan kasar. Tanpa menoleh lagi, ia membuka pintu kamar dan melangkah keluar.
Tangga ia turuni pelan. Dapur dalam keadaan gelap, hanya lampu kecil di atas kompor yang menyala. Ia mengambil gelas, menuangkan air, lalu meneguknya perlahan.
“Tiga tahun menikah…”
Evelyn menatap bayangan dirinya di kaca lemari.
“Tiga tahun, Arthur.”
Tangannya gemetar menggenggam gelas.
“Jangankan punya anak…”
Ia tertawa lirih, nyaris seperti isak.
“Puas dengan permainan kamu aja enggak pernah.”
Ia mengusap wajahnya sendiri, menahan emosi yang sesak di d**a.
“Cape, loh, jadi istri yang selalu suruh maklumi tapi nggak pernah dimengerti…”
Dapur kembali sunyi. Hanya bunyi gelas yang perlahan ia letakkan di atas meja.
Evelyn melangkah keluar dari dapur sambil membawa gelas kosong. Baru beberapa langkah, pintu salah satu kamar di lantai bawah terbuka. Laura muncul dengan rambut masih terurai, tampak heran melihat putrinya masih terjaga.
“Evelyn?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa tumben turun jam segini? Biasanya kalau malam selalu bawa tumbler ke kamar.”
Evelyn berhenti melangkah. “Kelupaan, Mah. Haus.”
Laura menyipitkan mata, menatap wajah Evelyn lebih lama. “Kamu habis nangis?”
Evelyn langsung menggeleng. “Nggak, Mah. Cuma capek.”
Laura mendekat, suaranya melembut tapi penuh rasa ingin tahu. “Eve… kamu sama Arthur kenapa sih? Udah tiga tahun menikah, tapi belum juga hamil. Kamu baik-baik aja kan?”
Evelyn terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang. “Kita sudah berusaha, Mah. Kita juga sudah ke beberapa dokter. Tapi mungkin memang belum dikasih aja.”
Laura menatapnya iba. “Mama tahu kamu kelihatan kuat, tapi mama juga tahu kamu pasti kepikiran.”
Evelyn tersenyum tipis. “Namanya juga perempuan, Mah… pasti kepikiran.”
Laura lalu seperti teringat sesuatu. “Gini aja. Arya sekarang sudah kerja di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Kalian periksa ke dia aja. Biar mama yang buatin janji.”
Evelyn refleks menoleh. “Mas Arya?”
“Iya, Arya,” jawab Laura. “Anak Papa dari istri pertamanya dulu. Sekarang dia dokter kandungan. Dulu kan waktu kamu SMP, dia masih SMA. Kalian juga pernah dekat, kan?”
Evelyn tertawa kecil, gugup. “Mah… itu kan dulu banget.”
“Dulu tetap dulu,” kata Laura. “Lagipula, dia nggak datang waktu kamu nikah karena masih di luar negeri. Nanti Mama minta nomor teleponnya sama papa ,mama buatin janji. ”
Evelyn berpikir sejenak. “Apa nggak aneh nanti, Mah? Ketemu lagi setelah bertahun-tahun?”
“Yang penting sekarang kamu sembuh dan bahagia,” sahut Laura tegas. “Soal canggung itu urusan belakangan.”
Evelyn kembali diam, lalu mengangguk pelan. “Baiklah, Mah. Besok aku bicara sama Mas Arthur. Kita ke sana.”
Laura tersenyum lega. “Nah, gitu dong. Sekarang kamu naik tidur. Mama juga mau minum, terus istirahat.”
“Iya, Mah.”
Laura melangkah menuju dapur. Evelyn berdiri sebentar di anak tangga, pikirannya melayang.
“Mas Arya…” gumamnya pelan.
“Cinta monyetku dulu.”
Ia menggeleng kecil, pipinya terasa hangat.
“Aduh… aku bahkan pernah ngasih dia surat cinta. Malu banget kalau keinget.”
Perlahan, Evelyn naik ke lantai dua. Ia membuka pintu kamar dengan hati-hati. Arthur masih membelakangi, napasnya teratur dalam tidur. Evelyn memandang suaminya sesaat, lalu menghela napas lirih.
Ia naik ke ranjang, menarik selimut, lalu memeluk Arthur dari belakang tanpa bicara apa-apa.
“Semoga kali ini benar-benar ada jalan supaya aku bisa hamil…” bisiknya nyaris tak terdengar sebelum matanya terpejam.