Prolog

1047 Words
Sepasang kaki jenjang dengan sepatu berhak lima centimeter berwarna Navy itu berjalan dengan anggun memasuki gedung perusahaan Lew's group pagi itu. Blazer berwarna senada dengan rok selutut dan sepatunya saat itu terlihat sangat serasi dengan kemeja putih yang mempermanis penampilannya. Dialah Samara Nadine Narendra, gadis berusia dua puluh lima tahun yang resmi diangkat sebagai Manajer Operasional di perusahaan kontruksi terbesar di kota Jakarta, tepat di HUT perusahaan yang ke Dua puluh tahun yang diadakan Minggu lalu. "Pagi mbak Samara", sapa resepsionis saat melihat Samara melewati mereka . Samara menurunkan kaca mata hitamnya sebatas hidung, lalu mengangguk dan tersenyum tak kalah ramah dengan mereka. Lalu kembali memakai kaca matanya dan melangkah dengan yakin dan percaya diri. Samara memasang senyuman terbaiknya saat melewati penghuni gedung tersebut, menunjukkan betapa ramahnya dirinya kepada dunia. Samara selalu bersikap ramah dan baik kepada siapapun, gaya bicaranya juga dia jaga sedemikian rupa agar terkesan elegan, ditambah lagi gesture nya yang selalu dia pastikan dapat menunjukkan dimana kelasnya berada. Kecuali pada satu nama, Edwin Lewis Malik, yang sialnya dia adalah makhluk tampan yang merupakan putra pemilik perusahaan dimana dia bekerja. Ting Samara membalikkan badannya ketika melihat Edwin didalam lift yang sedang terbuka itu, "mari ibu Samara", senyum ramah Edwin yang membuat Samara mau tidak mau harus membalikkan tubuhnya kembali lalu menyapa Edwin dengan sopan, yah karena saat itu banyak karyawan yang berdiri di lift khusus karyawan yang bersebelahan dengan lift khusus petinggi perusahaan dimana dia berdiri sekarang. Dengan langkah malas, Samara memasuki lift tersebut dan Edwin pun dengan sigap menekan tombol untuk menutup lift tersebut. "Nggak capek?", Tanya Edwin sambil mencebikkan bibirnya. "Ini masih pagi, capek ngapain coba!", Gerutu Samara yang masih didengar Edwin. Edwin terkekeh, "capek pura-pura senyum dan capek ngangkat dagu biar dikira berkelas". Samara hanya diam dan memutar bola matanya, "kok diem aja". "Kalau nggak ada cctv, udah gue cakar mulut Lo". Bentak Samara kesal, minimal cctv nggak ngerekam suara kan. Edwin terkekeh senang dengan reaksi samara. "Waw, mau donk di cakar". Kebahagian tersendiri bagi Edwin bisa menggoda Samara meski hanya sekitar dua menit didalam lift itu. Samara membanting tas mahal miliknya di sofa lalu mendudukkan dirinya di sana, sebelum itu Samara memastikan dia menutup pintu ruangannya rapat. Akan jadi memalukan jika ada orang yang tau jika Samara sedang emosi meledak saat ini. Bagaimanapun selama ini dia sangat menjaga image nya di depan semua orang, kecuali Edwin Lewis Malik, pria urakan, pecicilan dan yang menyedihkan dia adalah pengangguran, "iyuuuuhhhhhhh", Samara menghela nafas panjangnya saat memikirkan laki-laki itu. Di ruangan lain "Ed, hari ini kamu coba ikut om Hasan cek Pembangunan gedung Sarita di Jakarta Barat, kamu harus tau gimana Om Hasan menangani pembangunan itu secara langsung". Perintah pak Lewis kepada putra sulungnya yang sedari datang hanya sibuk menundukkan kepalanya pada ponsel ditangannya. "Aduh pah, harus ya?". "Iya donk, kamu harus tau segalanya". Jawab Pak Lewis yakin. "Gini ya pah, yang penting itu Aku belajar manajerial disini pah, biar tau seluk beluk cara mengatur perusahaan, kalau masalah lapangan biar orang yang kompeten yang nge handle. papa gitu juga kan, papah lulusan apa coba, ekonomi kan, tapi punya perusahaan kontruksi". Papar Edwin yang hanya di angguki papanya. Pak Lewis mengambil gagang telepon disampingnya, lalu dia menghubungi seseorang, " Hallo, bisa keruangan saya sebentar, tolong bawa data tentang perkembangan perusahaan tiga tahun terakhir". Tok tok tok "Masuk!". Edwin meletakkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Pria itu merentangkan tangannya hingga dapat memeluk punggung sofa yang dia duduki. Bibirnya menyimpulkan senyum licik karena rencananya untuk menemui bahkan mendekati gadis itu berjalan sangat lancar seperti dijalan tol yang bebas tanpa hambatan. "Samara silahkan duduk!", Perintah pak Lewis yang dibalas senyuman oleh gadis itu lalu dia mendudukkan dirinya di kursi depan meja pak Lewis . "Silahkan pak, laporan perkembangan perusahaan selama tiga tahun terakhir", dengan yakin Samara memberikan map berwarna merah kepada pak Lewis. "Thanks Samara", "Edwin kamu pelajari ini", ucap pak Lewis masihlah dalam posisinya. Edwin pun segera mendekati meja papanya. Samara Melihat Edwin yang mendekati meja itu dengan senyum termanisnya yang membuat Samara memutar bola matanya malas. Edwin duduk di kursi disebelah Samara, lalu dia mengambil map itu, dia membuka isi map tersebut lalu membaca deretan angka yang menunjukan kondisi perusahaan dalam hal keuangan. "Pah, kayaknya Edwin perlu belajar deh pah tentang ini, Edwin tertarik!", Kalimat Edwin itu membuat Samara kembali memutar bola matanya. "Oh ok, Samara seminggu ini kamu jadi mentor Edwin ya dalam hal operasional perusahaan ya!", permintaan pak Lewis yang bernada perintah. "Baik pak!", Jawab Samara sopan meski dengan hati yang kesal. "Mari pak Edwin saya jelaskan di ruang meeting". Ajak Samara sopan. "Saya permisi pak Lewis", pamit Samara yang di angguki pak Lewis. Edwin dan Samara berjalan beriringan untuk menuju Ruang meeting di gedung itu. Samara mulai menjelaskan kondisi perusahaan kepada Edwin yang duduk di kursi yang biasa dipakai oleh pak Lewis di ruangan itu. Edwin akui Samara memang gadis yang sangat cerdas, penjelasannya dapat di tangkap dengan baik oleh Edwin. "Ada yang ditanyakan pak Edwin?". "Udah punya pacar belum?", Tanya Edwin dengan seringai nakalnya. "Mohon maaf itu dipoint yang mana?", Samara melebarkan matanya. "Aku cinta suka sama kamu!". Kata Edwin lagi. "Saya tidak tau maksud bapak". Samara masih dengan sikap formalnya yang membuat Edwin tertawa geli. Sampai akhirnya Edwin menyadari CCTV tepat di sudut ruangan yang juga memasang microphone. "Oh I know Samara". Edwin tersenyum lagi, " ok kita lanjutkan besuk ya, aku ada urusan". Edwin meninggalkan ruangan itu dengan sekali mengedipkan mata pada Samara. "Hari ini kita jadian!". Teriak Edwin sebelum membuka pintu". Samara memutar bola matanya malas melihat punggung Edwin menjauh dari dirinya. " Cuma dalam mimpi Lo", gumam Samara sepelan mungkin. * * * Haii, back to my new story ya gaissss. Omaigot, cerita ini tiba-tiba hadir di benak aku ya gaes pas lagi nyelesain cerita "Before the destiny". Dan kayaknya cerita ini bakalan cepet selesai karena pas buat prolog ini, udah ada beberapa bab yang aku tulis.. Oiya seperti biasa aku suka banget buat cerita yang cewek-cewek kuat pinter berani dan kaya jagoan neon gitu lah Mak. Jadi jangan harap ketemu Samara yang jadi cewek manis, penurut dan suka nangis Bombay ketika di sakiti. Because that is Big No. Kalau suka cerita aku jangan lupa dukung dengan tekan bintang dan tinggalin jejak ya gaes.. Oiya follow Ig dyahvyta47 Add sss : Dyah Vita K Makasih love u.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD