"Ya!” Emily memanjangkan lehernya. “Buku-buku di sana lebih banyak. Ruang membacanya lebih luas dan bahkan, ada ruang seminar. Pengunjungnya juga lebih ramai. Louis beberapa kali ditegur Nenek karena mengganggu mereka."
Mendengar laporan saudara kembarnya, mata Louis membulat. "Aku bukan mengganggu, hanya mengajak mereka berkenalan."
"Louis, kamu tahu kalau perpustakaan adalah tempat membaca, bukan?" tanya Kara lembut. Namun, sang putra langsung ciut mendengarnya.
"Baiklah. Aku tidak akan mengganggu pengunjung lagi. Aku hanya akan duduk diam sambil mengamati mereka."
"Itu justru menyeramkan!" celetuk Emily sambil memeluk bonekanya lebih erat. "Kalau ada orang asing yang begitu kepadaku, aku pasti sudah menutup buku dan mencari tempat lain untuk membaca."
Melihat wajah cemberut Louis, Kara pun mencubit pipinya.
"Emily benar. Kamu tidak boleh membuat pengunjung perpustakaan merasa tidak nyaman. Nenek bisa dipecat. Daripada memperhatikan orang-orang, bagaimana kalau kamu melihat-lihat buku di bagian sains dan teknologi? Ada banyak hal menarik yang bisa kamu temukan di sana."
"Termasuk mobil keren dan drone terbang?" Mata Louis kembali berbinar. Ketika mendapat jawaban positif dari sang ibu, kedua tangannya terangkat ke pundak adiknya. "Emily, kita harus mengunjungi bagian itu nanti!"
"Itu bacaan laki-laki. Aku tidak tertarik. Aku berencana mengunjungi bagian dongeng dan cerita anak hari ini."
"Lalu siapa yang akan membacakan buku untukku?" timpal Louis dengan nada kecewa.
"Kamu baca saja sendiri." Emily mengangkat bahu, lalu mengecup pipi Kara. "Mama, aku mau mandi dulu."
Belum sempat Kara menimpali, Louis sudah mengguncang lengan Emily. "Ayolah, Emily. Huruf-huruf itu membosankan."
"Jangan malas! Kamu tidak akan lancar membaca kalau terus mengandalkanku."
"Bukan malas, tapi setiap buku menjadi lebih menarik kalau kamu yang membacakan. Lagi pula, tidak ada ruginya kamu membacakan buku untukku. Kamu mendapat ilmu dan juga pahala."
Melihat bagaimana anak-anaknya berdebat, hati Kara menghangat. Emily bahkan belum masuk TK, tetapi sikapnya sangat dewasa. Sedangkan Louis ... bocah itu memang masih kekanakan, tetapi bicaranya seperti pebisnis hebat.
"Kalian harus menjadi orang-orang sukses, Malaikat Kecilku. Buktikan bahwa kalian bisa tumbuh dengan baik, meskipun tanpa kehadiran seorang ayah."
Begitu wajah si Setan c***l melintas, keharuan Kara langsung surut. Tanpa membuang waktu lagi, ia menyiapkan sarapan, makan bersama anak-anak dan sang ibu, lalu berangkat kerja.
Namun, hingga jam sepuluh pagi, Frank Harper belum juga tiba. Penasaran, Kara pun menghubungi Jeremy.
Ternyata, sang CEO dijadwalkan untuk menghadiri beberapa proyek amal. Ia tidak akan datang ke kantor hingga besok pagi.
"Dia mempermainkanku?"
Sambil memejamkan mata, Kara memadamkan kegeraman.
"Tenang, Kara. Lihat sisi positifnya! Kamu bisa pulang tepat waktu dan mengajak si Kembar makan di Prince and Princess Resto."
Kara tersenyum membayangkan kedamaian. Tanpa ia ketahui, salah satu tempat yang akan dikunjungi bosnya adalah Perpustakaan Savior, tempat anak-anaknya berkeliaran dengan bebas.
***
Dari balik sebuah dinding, Emily mengintip sambil memeluk sebuah buku dongeng. Mata bulatnya tampak lucu. Ia memang selalu terlihat manis, bahkan saat sedang was-was.
"Louis tidak mungkin mencari ke ruang seminar, kan?" gumam Emily sembari celingak-celinguk. Ia sudah bosan membaca buku tentang mobil.
Setelah yakin situasi aman, gadis mungil itu berbalik. Malangnya, ia malah menabrak kaki seseorang.
"Aduh!"
Emily terpental dan mendarat dengan bokongnya. Buku yang ia pegang terlempar entah ke mana.
Merasa sakit dan terkejut, bibir mungilnya pun menguncup. Di bawah alisnya yang berkerut, air mata mulai berkumpul.
"Kalian sudah bosan bekerja denganku, hmm? Bagaimana mungkin anak sekecil ini bisa lolos dari pengawasan?"
Mendengar hardikan itu, Emily memeluk diri sendiri. Kepalanya tertunduk semakin dalam. Ketika ketakutannya tidak lagi terbendung, tangisannya pun pecah.
"Hei, aku bukan memarahimu."
Sang pria menekuk lutut. Dengan hati-hati, ia menyeka air mata yang membasahi pipi tembam Emily. Sekilas, ia tampak peduli. Padahal, ia hanya takut jika ada saksi yang mengatakan bahwa dirinya kejam terhadap anak-anak. Citra sempurnanya bisa rusak.
"Maafkan aku .... Aku tidak sengaja," isak Emily dengan suara gemetar.
"Aku tahu. Jadi, berhentilah menangis."
Sang pria mengusap kepala Emily. Namun, bukannya mereda, tangis gadis mungil itu malah bertambah kencang. Emily paling benci jika ada yang mengacak rambutnya.
"Tuan Harper, gadis kecil ini anak manusia, bukan anak anjing. Anda harus memberinya pelukan dan tepukan pelan di punggung untuk menenangkannya."
"Pelukan?" Frank Harper terbelalak. Tatapannya tertuju pada ingus yang menggantung di ujung hidung Emily. "Kau saja."
"Tapi Anda yang menabraknya. Anda yang harus bertanggung jawab."
Frank menelan ludah. Ia tidak mau jas biru edisi terbatasnya dikotori ingus balita. "Apakah ada tisu?" Ia juga tidak mau sapu tangan sutranya ternoda.
Jeremy dengan cekatan menyodorkan tisu. Namun, bukannya mengambil, Frank malah melotot.
"Kau menyuruhku membersihkannya?" bisiknya sinis.
Belum sempat Jeremy menjawab, Emily sudah lebih dulu menarik tisu dan membersihkan hidung. Ia kesulitan bernapas jika tidak segera membuang ingus.
Namun, setelah menggumpal tisu, tangisannya berlanjut. Mau tidak mau, Frank mengangkat tubuh mungilnya ke dalam dekapan.
"Hei, jangan menangis! Aku tidak marah."
Frank menepuk-nepuk punggung Emily dengan kaku. Ia merasa aneh. Baru kali ini ia berhadapan dengan anak kecil sedekat itu.
"Apakah ada yang sakit?"
Emily menggeleng. Setelah menyeka mata dengan tangannya yang mungil, ia menjauh dari Frank. Tangisannya bersisa sedikit, tetapi wajahnya masih semerah tomat.
"Apakah kakimu sakit?"
Frank bergeming. Bukan hanya karena pertanyaan yang penuh perhatian itu, melainkan juga karena mata yang berkilauan seperti perak. Seumur hidup, ia belum pernah menemukan mata yang lebih indah dari miliknya.
"Tidak," sahut Frank datar. Tatapannya masih terkunci pada wajah imut Emily. Semakin lama mengamatinya, Frank merasa semakin familiar. "Di mana orang tuamu, Gadis Manis? Apakah kau tersesat?"
Emily kembali memeluk diri sendiri. Kepalanya tertunduk khawatir. "Mama sibuk bekerja. Karena tidak ada yang menjaga kami di rumah, kami ikut nenek bekerja di sini."
“Kami?”
“Aku dan saudara laki-lakiku.”
Suara kecil itu terdengar ketakutan sekaligus menggemaskan. Hati Frank melunak menangkap getarannya.
"Nenekmu pustakawan di sini?"
Nada bicara Frank lembut, tetapi Emily tetap ciut.
"Tolong jangan pecat Nenek! Aku berjanji tidak akan membuat masalah lagi. Aku akan lebih berhati-hati agar tidak menabrak siapa pun lagi."
Saat Emily mengangguk, bulu mata lentiknya tampak berkilauan. Frank semakin terhipnotis oleh pesonanya.
"Aku yakin kau anak baik. Jadi, aku tidak akan memecat nenekmu." Sambil tersenyum, ia memungut buku di dekat kakinya. "Ini cerita si Cantik dan si Buruk Rupa. Kau sudah bisa membaca?"
"Ya, sejak berumur 2,5 tahun. Mama yang mengajariku setiap malam, lalu aku berlatih sendiri di perpustakaan."
Emily mengangguk lucu. Frank terpanggil untuk mengelus rambutnya. Namun, sebelum jemarinya tiba, balita itu menutupi kepala dengan kedua tangan.
"Tolong jangan mengacak rambutku lagi, Tuan. Aku tidak suka rambutku berantakan," pintanya dengan wajah cemberut.
Frank kembali tertegun. Sambil memikirkan kemiripan gadis kecil itu dengan dirinya, ia mengamati. Pakaian Emily memang tidak mahal, tetapi sangat rapi. Gadis itu bahkan menyimpan sapu tangan yang menyembul dari saku celananya.
"Siapa namamu, Anak Pintar?"
Gadis bermata bulat itu sempat ragu. Namun, setelah mendesah cepat, ia menjawab, "Emily. Emily Martin."
Jantung Frank spontan melompat. Matanya terbelalak menatap wajah di hadapannya. Ia baru sadar, gadis itu mirip dengan sekretaris barunya, dan nama belakang mereka sama.
Mungkinkah kecurigaannya benar? Kara adalah gadis dari empat tahun yang lalu dan Emily adalah putrinya?