Setelah Wela menutup pintu, Frank bergerak mendekati Kara. Sebelah tangannya terangkat mengelus pipi yang pucat itu. Gerakannya begitu ringan seolah takut menambah rasa sakit di sana. "Maafkan aku," bisiknya lirih. "Kalau tahu ini bisa terjadi, aku lebih baik membiarkanmu memakan cokelat dari Ben." Frank mengira perasaannya akan membaik setelah mengucapkan kata-kata itu. Namun ternyata tidak. Bayangan Kara terhuyung-huyung ke dalam dekapannya malah semakin sering terulang. Ringisan gadis itu mengiris jantungnya. Selang satu embusan napas cepat, Frank bangkit dari tepi ranjang. Ia lebih baik melanjutkan pekerjaan daripada terus berkutat dalam penyesalan. Ketika terbangun, Kara langsung mengernyitkan dahi. Kepalanya masih terasa berat, tetapi dunia sudah tidak berputar seperti tadi.

