Reuni

2074 Words
Dua penjaga pintu masuk tenda komando membungkuk memberi hormat begitu Ralin turun dari kudanya. Seorang prajurit kemudian berlari mengambil alih tali kuda Ralin dan menuntunnya pergi. Ralin membuka kain tenda yang menjadi pintu masuk. Dia lepas helm dan baju zirah luarnya. Digantungnya dua perlengkapan itu di tiang khusus gantungan di sebelah kanan pintu masuk. Tenda komando sangat besar. Ukurannya tiga kali lipat tenda biasa yang menjadi tempat tidur para prajurit. Berbentuk lingkaran dengan dua tiang besar yang menyangga bagian puncak di tengah-tengah. Seluruh sisi tenda ditutup dengan kain putih gading yang tebal. Ada satu set tempat tidur dengan ranjang berkelambu, satu nakas coklat terang di sisi petiduran dan satu sofa merah bersandaran tinggi dekat dengan ranjang itu. Di sisi yang lain, agak jauh dari komplek petiduran itu, satu set meja besar dengan satu kursi menjadi jujukan Ralin setiap kali dia harus pusing dan stress dengan kondisi peperangan. Di hadapan meja itu pula semua komandan pasukannya datang melaporkan keadaan dan menerima perintah darinya. Hampir jarang sekali ia menyentuh kasur empuknya dengan selimut tebal super nyaman yang sudah disiapkan untuknya. Dia tak punya waktu untuk menikmati istirahatnya. Lalu ia berdiri tercenung dengan bertolak pinggang sambil menyeringai. Angkasa masih belum sadar. Pria itu didudukkan di kursi kayu dengan sandaran tinggi. Tangan, d**a dan kakinya diikat rapat-rapat ke kursi. Pelan, Ralin mendekati Angkasa sambil menyeret kursi tamunya hingga sampai tepat di hadapan Angkasa. Dia duduk di sana, hanya berjarak satu meter di depan Angkasa yang masih menutup matanya.             “Berhenti pura-pura,” ucap Ralin pelan. Suaranya agak serak, tenggorokannya kering, bibirnya juga pucat. Belum lagi dengan wajahnya yang masih kotor dan tampang lelah itu benar-benar berantakan. Ralin menyilangkan sebelah lututnya di atas lutut satunya dan menyandarkan punggungnya ke sandaran. Kedua tangannya melipat di depan d**a. Angkasa membuka matanya. Tatapan marah itu langsung membidik netra Ralin yang puas dengan pencapaiannya hari ini.             “Apa kejutan itu perbuatanmu?” serang Angkasa. Hening. Tatapan mereka bertemu dalam emosi yang mencapai puncaknya. Ralin meresponnya netral. Ujung bibirnya terangkat naik hampir membentuk senyuman. Sementara netra Angkasa terus mengunci mata Ralin dengan kebencian dan rasa jijik yang luar biasa. Ralin beranjak dari kursi itu setelah mengulas senyum setengah hati. Dia lepas ikatan rambutnya lalu merapikannya lagi hingga membuat gulungan rambut yang baru. Kemudian dia lepas jubah luarannya dan tinggal menyisahkan kemeja putih tipis yang sudah kotor. Tanpa memperdulikan Angkasa yang terus mengawasinya, Ralin melempar dirinya ke kasur empuk penuh dengan selimut lembut nan tebal sambil memejamkan mata.             “Kau tak mengacuhkanku?” seru Angkasa jengkel.             “Aku sangat mengacuhkanmu, Angkasa. Karena itu aku membawamu ke tempatku,” jawab Ralin dengan nada malas. Lalu dia kembali duduk. “Kau pikir kau masih hidup jika kubiarkan di sana? Di tempat ledakan itu, maksudku.” Tenda itu kembali tenang. Angkasa tak banyak berkomentar, tapi bulatan penuh bola matanya tak menyipit sedikit pun. Dia berusaha berdiri agar kursinya ikut terangkat sedikit lalu memutar arahnya menghadap Ralin yang sudah kembali merebahkan dirinya.             “Kau tidak tahu aku belum tidur selama empat hari?” seru Ralin curhat.             “Bukan urusanku!” bentak Angkasa.             “Karena aku sudah menyelamatkanmu, sebaiknya kau diam dan tenang. Aku ingin istirahat sebentar,” protes Ralin bernada sedikit lebih melengking. Angkasa menahan napasnya untuk mengontrol emosinya yang sudah diambang batas. Dia tutup matanya, dia tarik napas perlahan hingga sangat dalam memenuhi semua kapasitas paru-parunya, lalu ia buang karbondioksida itu sedikit demi sedikit. Setelah emosinya cukup stabil, ia buka lagi matanya dan Ralin sudah berdiri tepat di hadapannya. Angkasa mendongak, melihat wajah wanita itu, yang datar, namun menyiratkan kejengkelan luar biasa.  Ralin membungkuk sembilan puluh derajat hingga wajahnya lurus dengan Angkasa. “Aku tahu kau bisa melepaskan tali itu dengan mudah, tapi jangan dilepaskan. Kau mungkin akan mati saat keluar dari tenda ini,” tegasnya. Angkasa bergeming dengan tatapan tak setuju.             “Dengar, bukan aku yang menyulut bom itu. Seseorang mencoba membunuhmu di sana,” bisik Ralin di telinga Angkasa. lalu dia menegakkan punggungnya lagi.             “Lebih mencurigakan untukku ketika kau mengatakan sedang melindungiku!” protes Angkasa dengaan setengah berbisik.             “Kau pikir aku melakukan ini karena kita pernah menjadi kekasih? Tidak. Sama sekali tidak, Angkasa. Aku hanya ingin melindungi diriku sendiri,” tegas Ralin. Angkasa memejamkan kelopak matanya sambil menyeringai lalu terkekeh singkat. Ada sebongkah harga diri yang tersayat karena kata-kata Ralin yang justru seperti hinaan untuknya. Tiba-tiba saja dia menjadi begitu rendah di hadapan wanita ini dan Angkasa sangat membenci itu. Kenapa dia harus tak berdaya dalam ikatan yang begitu mudah ia membebaskan diri? Kenapa dia harus menjadi si lemah yang berlindung pada mantan kekasihnya? Dan kenapa dia harus mempercayai semua ucapan tak berbukti itu?             “Aku juga tak mengharapkan kejujuranmu, Ralin. Lebih baik kita hentikan saja pembicaraan tak berguna ini,” ucap Angkasa. matanya menatap tajam wanita itu dengan eskpresi keseriusan tingkat tinggi, sedangkan tangannya sibuk membuat manuver untuk membebaskan diri dari simpul tali yang tak kokoh itu. Dia tak tahan lagi bersabar menghadapi drama wanita itu. Ralin melirik sibuknya tangan Angkasa di belakang punggungnya. Tapi ia membiarkannya. “Kau percaya Rheno memihakmu?” tanya Ralin mendadak. Angkasa berhenti. Pertanyaan itu spontan menghentikan semuanya.             “Sebaiknya kau menyelidikinya sendiri. Aku curiga bom itu ulahnya,” cetus Ralin serius. Belum selesai mereka bicara, pintu tenda dibuka mendadak. Empat komandannya masuk bersamaan dengan wajah serius. Mereka berjajar lalu membungkuk hormat pada Ralin. Angkasa membuang mukanya dari mereka sedangkan Ralin reflek mundur tiga langkah menjauhi Angkasa.             “Jenderal, kami sudah siap kembali!” lapor salah satu dari mereka. Ralin tak menjawab. Dia hanya mendekati pintu tenda lalu menyingkap kain putih itu. perkemahan benar-benar sudah kosong. Semua tenda sudah dilipat, perkakas lainnya, termasuk pagar kayu yang mengelilingi lokasi ini sudah dibongkar. Hanya tinggal tenda komando ini yang belum dibongkar. Ralin masuk lagi.             “Bawa dia ke kereta tahanan lalu bongkar tenda ini,” perintah Ralin pada para komandannya. Tanpa melihat Angkasa lagi, Ralin memakai kembali jubah merah bepergiannya lalu keluar dari tenda. Dua komandannya menghampiri Angkasa, melepaskan ikatannya pada kursi lalu menggiringnya keluar mengekor di belakang Ralin. Mereka menuntun paksa Angkasa menuju bagian luar dari komplek perkemahan ini. Sebuah kereta yang lebih mirip kandang dengan dua roda yang ditarik dua kuda sudah siap di sana. Keretanya berdinding jeruji besi di keempat sisinya, tanpa atap tertutup, dibiarkan panas apalagi kehujanan. Mereka mendorong Angkasa masuk paksa lalu mengikat kembali pria itu kepada salah satu jeruji besi di sana. Angkasa mendengus lagi, tapi ia berusaha menahan kesabarannya. Harus menahan emosinya, tak boleh sampai muncul ke permukaan. Perlakuan penuh penghinaan ini sangat-sangat merendahkan harga dirinya sebagai salah satu petinggi penting di Benang Merah. Barangkali itu yang semakin membuat mereka semua mewaspadainya dan menganggapnya bahaya level tinggi. Tapi dengan alasan apa mereka sangat merendahkannya seperti ini? Orang-orang Zakaffa ini mengaraknya seperti penjahat menjijikkan.             “Kau memang menjijikkan,” cetus Ralin tiba-tiba sudah berdiri di samping keretanya. Wanita itu menyandarkan dirinya ke sisi lain kereta memunggungi Angkasa. Angkasa memilih diam. Bahkan ia tak mengalihkan pandangannya menatap Ralin.             “Pembicaraan kita belum selesai,” imbuh Ralin yang kemudian membalikkan tubuhnya menatap lekat Angkasa.             “Tidak ada yang perlu dilanjutkan.” Ralin mengatupkan bibirnya sambil melihat Angkasa dengan sorot mata sebal. Dia tersenyum miring lalu melipat kedua tangannya di depan d**a. Wajahnya jadi serius, seperti seorang asing, seorang penegak hukum yang melihat penjahat.             “Nikmati waktumu selagi bisa,” ucap Ralin datar. Dia tersinggung. Mungkin juga marah? Tapi Angkasa justru melihatnya seperti seorang wanita yang sedang merajuk.             “Aku sudah tidak sabar menikmati jamuan kalian untukku,” jawab Angkasa dingin. Ralin pergi. ------------------ Rombongan itu memulai perjalanannya kembali ke ibu kota, ke markas militer mereka yang berada sedikit jauh dari istana. Hanya tersisa sedikit prajurit dalam pasukan itu. Mungkin tidak lebih dari dua ratus orang saja. Kereta Angkasa digiring di tengah-tengah barisan. Selusin orang ditempatkan khusus di sekitar kereta itu untuk mengawasi dan menjaga pergerakan Angkasa demi mengantisipasi dia kabur. Langit mulai bergradasi menyemburkan warna-warna oranye yang menantang biru gelap malam. Bintang-bintang masih bertaburan jarang. Sementara gelap mulai diusir pagi. Angkasa mengedarkan pandangnya mengamati orang-orang yang berjalan dekat dengannya. Bahkan seorang komandan sampai berkuda di belakang keretanya untuk mengawasi dirinya. Sebuah senyum kecil terbit di wajah Angkasa. bukan senyum bahagia, tapi justru menertawai situasi ini. Haruskah mereka berbuat sampai sejauh ini? Angkasa melihat mereka semua dalam keadaan yang lemah sekali. Wajah-wajah yang kelelahan, hilang harapan, kecewa dan kehilangan kehendak. Kemana nyawa mereka? Kenapa sama sekali tak ada terlihat kebanggaan sebagai seorang prajurit kerajaan besar seperti Zakaffa? Sebuah suasana yang jauh berbeda dengan seperti di dalam markas Benang Merah. Ya, sangat berbeda. Senyum miris Angkasa terbit juga pada akhirnya. Kenapa motivasi yang begitu tinggi di dalam kebanggaan menjadi seorang prajurit justru dimiliki oleh mereka yang memerangi pihak yang benar? Angkasa merasakan sensasi yang sebaliknya pada orang-orang Benang Merah. Mungkin mereka juga sama lelahnya, namun selalu terasa bagaimana idealisme dan semangat mereka menghancurkan Zakaffa kapan pun itu. pasukan Benang Merah memiliki nyawa yang lebih kuat. Nyawa mereka hadir dalam sukmanya. Tidak seperti para prajurit yang mengitarinya saat ini, yang hanya berjalan sesuai perintah demi gaji setiap bulan.             “Benang Merah lebih militan dari kalian,” gumam Angkasa lirih.             “Kau tidak punya hak mengomentari kami!” sergah komandan pasukan dengan wajah tersinggung. Dia menyusul kereta Angkasa hingga posisi mereka beriringan.             “Kenapa tidak? Aku juga orang Zakaffa,” sanggah Angkasa santai.             “Ya. Tapi kau pemberontak,” bantah komandan itu, geram. Wajahnya semakin merah.             “Seorang pemberontak pun punya hak mengkritik,” ucap Angkasa lagi. Dia mengucapkannya dengan santai sekali, menganggap ini seperti hiburan yang cukup lucu.             “Hanya seorang intelek yang berwenang yang berhak memberikan kritik, apalagi pada pemerintah. Untuk seseorang tahanan sepertimu, jangan berharap,” terang komandang berambut ikal itu. Dia bahkan mengatakannya dengan serius. Angkasa jadi tertarik dengan ucapannya. Sangat menggelitik. “Lalu bagaimana kau akan menjelaskan semboyan Zakaffa yang katanya akan menegakkan pemerintahan transparan dan menerima semua masukan rakyatnya? Mungkinkah rakyat yang dimaksud raja hanya mereka yang beruang dan berjabatan? Ah, bukan, maksudku hanya orang-orang intelek saja.” Angkasa menyungging senyum lagi.  Komandan terdiam. Bibirnya seakan terkunci. Ingin membantah, tapi terasa begitu lengket untuk terpisah. Sulit sekali untuk sekadar membuka mulutnya. Sang komandan hanya menatap Angkasa dengan mata tersudut, kehabisan jawaban dan kalah. Dia mengutuk dirinya sendiri. Merutuki kebungkaman yang tak bisa ia lawan. Sementara Angkasa masih terus tersenyum menantang. Pembicaraan ini mulai membosankan jika sang komandan tak menyangkal lagi. Debat yang sekali serang lalu kalah itu sangat tidak menyenangkan. Hanya dalam hitungan detik, senyum di wajah Angkasa memudar dan sorot matanya kembali tajam. Dia tidak lagi tertarik. Rombongan itu kini berjalan menuju timur, menuju sumber cahaya putih yang mulai silau. Gelapnya langit perlahan sirna, memberikan ruang untuk kekuatan baru yang memberi energi pada semua orang. Angkasa memutar posisi duduknya menghadap depan. Dia pejamkan matanya, lalu menarik napas dalam-dalam dan membiarkan sejuknya udara pagi menjelajah setiap rongga hidung hingga ke pangkal paru-parunya kemudian kembali berputar pada gelembung-gelembung alveolus. Ia tahan sebentar udara itu di dalam dadanya sebelum akhirnya dihembuskannya sedikit demi sedikit. Angkasa merasakan hangatnya sinar matahari pagi menerpa wajah dan tubuhnya yang dingin dan sepi.             “Ini sangat menentramkan,” ungkapnya pelan. Sementara ia terus menikmati kehangatan itu, dia buka kelopak matanya pelan. Ia amati lagi situasi di sekitarnya. Orang-orang ini bahkan tidak lagi memperhatikan segala tindak tanduknya. Mereka hanya fokus berjalan ke depan dengan kepala menunduk atau tatapan yang kosong. Angkasa mulai menggerak-gerakan tangannya yang diikat ke belakang dan menempel pada salah satu jeruji besi kereta itu. jemarinya berusaha menjangkau simpul ikatan untuk memeriksa jenis dan cara melepaskan diri. Dengan ekspresi dan sikap yang tetap tenang, Angkasa melakukan manuver di belakang punggungnya. Butuh beberapa lama sampai ia berhasil merenggangkan ikatannya dan berhasil melepaskan simpul itu. tak terlalu mencolok, dia tetap tenang meski sudah bebas. Masih mempertahankan kedua tangannya di belakang punggung, Angkasa mempelajari kuncian gembok kereta tanpa berpindah tempat. Dia tak ingin membuat mereka sadar terhadap apa yang baru ia lakukan.             “Mereka serius menganggapku berbahaya? Atau aku yang terlalu bodoh tidak menyadarinya?” Angkasa terkekeh sendiri. Kereta tahanan itu cukup tinggi, Angkasa mendadak berdiri, merenggangkan otot kedua tangannya hingga cukup menarik perhatian semua penjaga yang ditempatkan di sekelilingnya. Angkasa tak memperdulikan mereka. Wajahnya dingin, datar tanpa ekspresi. Dia tendang gembok pintunya dengan kekuatan yang sudah terukur, lalu sekali lagi menendang pintunya hingga engselnya reyot. Angkasa masih berdiri menikmati ini sementara semua prajurit panik dan bergegas mengerubunginya dalam kebingungan. Bagaimana bisa? Mungkin itu yang terpikir di benak mereka. Angkasa mendorong pintunya ke luar sementara tombak dan pedang terhunung kepadanya.             “Mau kuajarkan bagaimana menjadi seorang militan?” seru Angkasa menyapa mereka. ------------------------
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD