Badut Bandar Informasi

2080 Words
Demi sebuah tata krama, Angkasa mengambil satu potong lalu meletakkannya di atas piringnya sendiri sambil mengangguk berterima kasih. “Saya rantauan, Tuan,” jawab Angkasa singkat. Pria berambut coklat gelap sepanjang bahu itu mengangguk-angguk berpikir. Dia memungut satu gorengan dari piring mereka dan menggigitnya. “Kami orang Zakaffa tapi terus berpindah-pindah. Kami berdagang,” jawabnya memperkenalkan diri. Angkasa terseyum ramah sambil menyempatkan menyeruput kopinya yang mulai dingin. Sembari meladeni keakraban para pedagang ini, Angkasa terus menerus mencuri perhatian ke arah lain. Matanya sesekali menelisik ke sudut-sudut lain yang berpotensi besar menjadi lokasi kemunculan para Benang Merah itu. Angkasa cepat-cepat menyantap makan malamnya meski hari belum gelap. Perutnya terasa melilit luar biasa dan matanya mulai berkunang-kunang karena perutnya kosong.              “Kau sudah tahu kalau Benang Merah kalah dari pasukan Zakaffa?” Tiba-tiba celetukan mereka menarik perhatian Angkasa.             “Aku dengar mereka kalah karena bom sendiri yang meledak?”             “Isunya begitu. Tapi Zakaffa membantahnya. Mereka mengklaim itu adalah bom mereka dan memang dijadikan senjata tersembunyi!”             “Berati Benang Merah kalah telak?”             “Ya, begitulah. Militer Zakaffa juga menangkap pimpinan Benang Merah! Ini benar-benar kemenangan besar!”             “Benarkah?” sahut Angkasa ikut antusias dengan cerita mereka.             “Semua berita mengatakan begitu. Bahkan ada petugas-petugas khusus yang dikirim istana untuk menyebarkan kemenangan mereka,” jawab pria yang duduk di hadapan Angkasa dengan menggebu.             “Bukan hanya kaki tangan yang mereka tangkap?” timpal Angkasa dengan tatapan percaya diri. Nada bicarannya seperti orang yang antusias menyelidiki. Keempat pria itu spontan mencondongkan wajah mereka ke Angkasa bersamaan. Wajah kaget mereka dengan tatapan penuh kebingungan itu menjadi hiburan ringan untuk Angkasa. Empat orang ini benar-benar seperti kelompok sirkus. Apalagi dengan warna baju mereka yang seperti pelangi, merah kuning hijau dan biru keunguan. Angkasa menjauhkan wajahnya dari mereka. Dia menegakkan sikap duduknya dan kembali menikmati kopi terakhirnya.             “Darimana kau tahu berita itu? Kami tak pernah mendengarnya,” bantah mereka.             “Benar. Kami tangan pertama informasi itu,” timpal pria yang duduk di samping Angkasa.             “Bahkan dia tak mengatakan apapun soal kaki tangan itu saat kita melakukan transaksi,” dukung yang lain meminta dukungan pada rekan warna-warninya. Angkasa tersenyum tipis. Rupanya mereka adalah pedagang informasi. “Tangan pertama sialan,” batin Angkasa tertawa dalam hatinya menyumpahi mereka. Mereka berempat terdiam, fokus menunggu jawaban Angkasa yang tak kunjung menunjukkan hilalnya. Angkasa justru menikmati tatapan mereka yang penuh harap dan semacam ada perasaan terhina yang hebat jika sampai mereka ketinggalan informasi penting nan mahal.             “Kau mengatakan informasi palsu?” desak pria berbaju hijau di sebelah Angkasa. Dia mencondongkan wajahnya hingga membuat Angkasa tak nyaman.             “Zakaffa tidak menangkap pimpinan Benang Merah, mereka hanya menangkap kaki tangan. Dan kalian tahu? Bahkan kaki tangan yang ditangkap jenderal Zakaffa itu salah,” tegas Angkasa sambil mendorong wajah pria di sebelahnya menjauh.             “Maksudmu mereka salah tangkap?” sahut pria berbaju merah yang duduk tepat di hadapan Angkasa. “Bukankah ini berita yang sangat luar biasa?” serunya kepada ketiga rekannya dengan mata berbinar-binar. Angkasa mengangguk-angguk mendukung pria berbaju merah itu. “Kalian pedagang informasi?” tanya Angkasa tiba-tiba. Ia pelankan suaranya sambil membuat gestur berbisik untuk menguatkan kesan kerahasiaan. Mereka berempat tiba-tiba bungkam dan saling pandang antar sesama.             “Aku punya informasi yang bagus, tergantung seberapa mahal kalian mau membelinnya,” bisik Angkasa dengan senyum menggoda. Lalu ia menarik dirinya lagi, menyeruput sisa-sisa kopi yang sebenarnya sudah habis. Empat pria itu segera berunding. Mereka bahkan menganggurkan makanan mereka yang masih utuh. Sementara menunggu para penjual gosip itu membuat keputusan, sekali lagi Angkasa mengedarkan pengawasannya ke sekitar. Dia mengamati setiap orang yang duduk di warung sederhana yang sangat ramai ini. Dengan total meja dan kursi yang ada, secara kasat mata Angkasa menaksir setidaknya ada empat puluh orang yang duduk dan berlalu lalang setiap lima belas sampai tiga puluh menit. Dia amati pakaian mereka. Dia cari ornamen-ornamen dan tanda khusus yang selalu dipakai orang Benang Merah. Tanda-tanda yang tak selalu sama, dipakai tersembunyi dan tak akan dipahami orang di luar Benang Merah. Terkadang tanda itu berupa tato, motif pakaian, warna-warna tertentu atau apapun. Bisa juga seperti Angkasa yang enggan memakai satu tanda apapun yang mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota bahkan petinggi elit di organisasi pemberontak itu.             “Mereka tidak di sini,” batin Angkasa kecewa. Spontan, dia berdiri setelah mencapai kesimpulan pencariannya. “Aku harus segera masuk ke sana,” imbuhnya. Wajahnya menoleh ke arah gerbang markas militer pusat. Dia sudah melangkah hendak meninggalkan mejanya, tapi, “Tunggu!” cegah pria berbaju hijau. Pria itu menahan pergelangan tangannya sambil menatap serius Angkasa. “Berapa yang kau minta?” tanyanya.             “Ahya, aku hampir lupa dengan mereka,” batin Angkasa ingin menepuk jidatnya. Dia duduk lagi, memasang wajah antusias dan meyakinkan. “Berapa yang kalian tawarkan?” balas Angkasa. Pria berbaju biru yang duduknya paling jauh dari Angkasa, mengeluarkan sekantong kecil uang pecahan perak dan menyodorkannya pada Angkasa. “Biasanya kami mendapatkan sepuluh informasi dari uang sebanyak ini. Tapi kali ini, akan kami beri semua untuk satu informasi yang kau berikan,” ucapnya meyakinkan. Angkasa tersenyum lalu melambaikan tangannya meminta mereka mendekat.             “Kaki tangan yang salah tangkap itu adalah dua mahasiswa sekolah paling elit di Zakaffa. Seorang jenderal wanita melukai mahasiswi itu dan dia terancam lumpuh sekarang. Kalian tahu kan tidak semua orang bisa masuk ke sekolah elit itu? Itu artinya dua mahasiswa ini datang dari keluarga pejabat tinggi istana.” Angkasa bergantian memandangi wajah bingung mereka satu per satu. Lalu dia menghela napas berat sekali. Empat wajah itu tak mampu menghubungkan setiap data yang ia berikan.             “Lalu kenapa jika yang salah tangkap adalah mahasiswa sekolah pedang paling elit di negeri ini? Cetus pria berbaju merah dengan wajah bingung nan lugu. Angkasa menyapu wajahnya sendiri sambil menghembus napas panjang. Ketiga temannya mendukung kebingungan pria baju merah.             “Itu artinya sebentar lagi akan terjadi keributan di kalangan pejabat atas. Bagaimana mungkin mereka terima keluarga mereka dituduh sebagai kaki tangan pemberontak? Jelas mereka akan protes pada raja!” terang Angkasa. Pria berbaju kuning mengangguk-angguk mulai paham dengan berita yang ia dengar. “Tapi apa dua mahasiswa itu benar-benar kaki tangan?” cetusnya sambil berpikir.             “Di situlah justru inti masalah ini. Aku jamin kalian akan benar-benar menjadi tangan pertama untuk informasi ini!” seru Angkasa tegas tapi berbisik lirih. Wajahnya semringah, tangannya perlahan mengambil kantung uang perak yang menganggur di meja. Dia harus bersikap seperti makelar gosip sesungguhnya. Lagi-lagi, mereka saling menatap dengan sesama.             “Ini akan jadi berita menggemparkan!” cetus pria berbaju biru dengan tatapan berapi-api. Angkasa ikut mengangguk, mendukung mereka sambil berharap berita itu akan tersebar luas secepatnya. “Berapa lama kalian bisa menyebarkan berita ini?” tanya Angkasa mendadak.             “Tidak sampai satu hari,” jawab pria yang berbaju hijau.             “Bisakah kalian memastikan para pejabat tinggi ibukota mendengarnya dalam satu jam?” tantang Angkasa dengan wajah bersemangat. “Akan kubayar kalian seharga informasi ini,” imbuhnya cepat.             “Setuju!” jawab mereka serempak. Angkasa merasakan pengawasan dari sudut buta yang tak bisa ia lirik diam-diam. Di tengah riuh empat pria pedagang gosip itu, diam-diam Angkasa terus mencuri pandang ke titik-titik buta tempat ia merasakan tanda bahaya. Seperti ada pasang-pasang mata yang tak lepas dari segala gerak-geriknya. Angkasa berdiri, sengaja berpindah tempat duduk di antara pria berbaju hijau dan merah untuk bisa melihat titik buta pada tempat duduknya yang sebelumnya. Dia melirik ke satu titik di arah jam 7, seseorang mungkin bersembunyi di balik bangunan itu dan menunggunya bergerak. Mereka belum lama, mungkin beberapa menit lalu. Atau sebenarnya Angkasa yang terlalu lengah hingga tak menyadari kehadiran mereka? Sambil mengumbar tawa berpura-pura mendengar dan mendukung strategi penyebaran gosip empat sekawanan itu, Angkasa terus mengamati sekelilingnya. Lalu pada satu saat, perlahan ia berdiri dari kursinya, berpamitan pergi secara singkat, lalu menghilang di tengah barisan pembeli warung yang antre. Dua pria bersetelan bebas yang tak bisa teridentifikasi identitasnya benar-benar muncul dari balik dinding begitu mereka kehilangan visual Angkasa. ------------------ Angkasa menghilang ke satu lokasi yang agak jauh dari warung itu, di sebuah balik bangunan lain di sebrang, yang dari tempat itu, ia bisa mengawasi titik buta yang ia tinggalkan.             “Kawan atau lawan?” pikir Angkasa tanpa jawaban. Dia tak peduli. Entah mereka anak buah yang dikirim Eztyo ataupun Buros untuk mengejarnya, yang terpenting adalah Angkasa tak suka diikuti dan diawasi oleh siapapun. Dia akan bergerak hingga tak seorang pun mampu melihat bayangannya. Setelah memastikan dua mata-mata itu bergerak ke arah sebaliknya, Angkasa berlari menuju dinding batas markas militer. Tak ada lagi waktu bermain-main. Hari sudah gelap dan ini saatnya dia masuk ke sana. Angkasa mengambil jalur memutar meski sudah memilih jalan terdekat dengaan gerbang markas. Dia harus melalui jalan-jalan yang aman namun tetap cepat. Butuh berlari sejauh tiga kilometer untuk memutari gerbang depan menuju gerbang belakang markas. Namun Angkasa berhenti di tengah-tengah. Titik terlemah pengamanan gerbang adalah di sisi kanan, atau di sisi selatan yang itu menjadi titik terjauh dari gerbang. Tak ada penjaga yang siaga setiap jam di sana. Dan di titik itu, sangat dekat dengan pemukiman penduduk. Hanya berjarak lima ratus meter dari rumah paling luar. Dalam hitungan ke tiga, Angkasa melompat zig zag ke dinding itu, menendangnya untuk memberi gaya tolak yang kuat, pada pijakan ke tiga, tangan Angkasa meraih puncak dinding. Dia memanjat lalu melompat naik ke permukaan atas dinding yang tebal. Ada jalanan sempit selebar satu meter di puncak dinding itu. Angkasa merunduk di atas sana, merapat ke sisi dalam dinding, bagian dalam markas, kosong. Angkasa berjalan merangkak dengan cepat menyusuri atap dinding itu. Ia sampai di menara pantau dengan pintu menyambutnya. Dia kemudian menuruni tangga di dalam menara itu, dengan senyap dan cepat. Sampai ia di lantai dasar, Angkasa mendengar derap langkah dua pasang sepatu prajurit. Cepat-cepat sembunyi ke sisi lain tangga tepat sebelum dua prajurit itu muncul dari sebuah pintu yang menuju koridor luar. Angkasa muncul mencegat mereka. Ia pukul tenggorokan prajurit pertama lalu meninju tulang pedang prajurit kedua tanpa memberi jeda dan kesempatan mereka berteriak. Dua prajurit yang pingsan itu diseret ke tempat yang gelap, di bawah tangga ada sebuah ruangan sempit yang tak terpakai. Angkasa menyembunyikan mereka di sana dalam keadaan seragam terlucuti.             “Sepertinya aku salah memilih target. Pakaian ini terlalu pendek untukku!” gerutunya sambil menggerak-gerakkan kakinya mengamati celana yang hanya sampai atas mata kakinya saja. Setelah menyesuaikan diri agak lama, dan sudah menemukan kenyamanan di pakaian barunya, Angkasa keluar dengan langkah santai keluar dari menara. Dia pernah ke tempat ini sebelumnya, bahkan tak cukup sekali, berkali-kali. Sehingga denah bangunan markas ini sudah ia hafal di luar kepala. ----------------------- Di rumah sakit militer, Faritzal didampingi Eurfo berdiri di belakang dinding kaca ruang perawatan Naviza. Dengan pakaian santai yang sederhana, Faritzal keluar dari istana hanya bersama Eurfo. Dia menunggang kuda selama lima belas menit untuk sampai ke lokasi ini setelah Eurfo menjemputnya. Ada setim dokter berbaris di belakang Faritzal menunggu sang Raja memberi perintah. Sejak kedatangannya lima menit lalu, bahkan bertanya keadaan perempuan itu saja belum ia lakukan.             “Aku tidak paham soal kedokteran,” ucap Faritzal pelan. Tiga orang dokter itu langsung menegakkan kepalanya menyambut ucapan Faritzal. “Tapi pastikan gadis ini hidup.”             “Baik, Yang Mulia,” jawab tiga dokter itu serempak. Lalu mereka pamit undur diri. Setelah hening beberapa lama sejak para dokter pergi, Faritzal melangkah pergi ke luar dari rumah sakit. Eurfo masih mengawal di belakangnya tanpa bertanya apapun. Raja duduk di sebuah bangku taman yang dibuat dari batang asli pohon tanpa diubah bentuknya. Dia meminta Eurfo duduk di sampingnya. Mereka menghadap sebuah lapang rumput yang tak terlalu luas dengan pohon trembesi setinggi empat lantai.             “Jadi perempuan itu bernama Naviza dan dia adik Danu, mantan jenderal yang hampir menjadi panglima? Itu berarti Danu adalah sainganmu saat kau dipromosikan jadi panglima. Benar begitu, Eurfo?” tanya Faritzal dengan antusias.             “Benar, Yang Mulia,” jawab Eurfo tegas.             “Ralin sudah tahu?” tanya Faritzal makin antusias. Dia sampai menghadapkan tubuhnya ke samping demi melihat ekspresi Eurfo. Dan menaikkan sebelah kakinya ke atas kursi. Faritzal menjadi sangat santai setiap kali ia hanya berdua dengan Eurfo, sekalipun di ruang terbuka, apalagi di luar istana. Eurfo mengangguk ragu dengan ekspresi yang berat. Dia menghela napas cukup berat dan menoleh sekilas pada Faritzal sebelum akhirnya membuang wajahnya menghadap liuk batang trembesi yang dipenuhi tumbuhan paku itu.             “Bukankah mereka berdua pernah terlibat hubungan asmara?” tanya Faritzal lagi. Dia semakin penasaran. “Apa Ralin baik-baik saja jika Danu menampakkan dirinya lagi? Dia pasti muncul.” Suara Faritzal melemah di akhir kalimatnya.             “Anda percaya dua mahasiswa itu adalah kaki tangan Benang Merah?” tanya Eurfo dengan wajah serius. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD