PART 2 - MARTIN SELINGKUH

2165 Words
  PART 2  - MARTIN SELINGKUH Seperti yang sudah Clarisa rencanakan. Hari minggu ini ia akan memberi kejutan pada kekasihnya. Jika Martin minta kiss, mungkin ia akan memberikannya. Tapi, tentu saja ia akan memberikan izin memegang tangannya dulu lebih lama. Yah, semua perlu proses. Jika biasa Martin menggenggam telapak tangannya dalam waktu lima menit, kali ini Clarisa akan memberikan waktu lebih lama, sepuluh menit mungkin? Clarisa  Amalia Putri  tampak berulang kali mematut wajahnya di cermin, dengan senyum bahagianya. Setahun mengenal Martin, lelaki itu menerima jika ia trauma akan sentuhan. Dan tak pernah memaksa Clarisa untuk bercerita, apa penyebabnya. Hanya dirinya, Anggita dan Abdi sang kaka dari sahabatnya yang tahu itu semua. Riasan tipis di wajah tirusnya membuatnya terlihat cantik mempesona. Karena merasa belum maximal, ia kembali memberi  polesan pada bibirnya. Dan tersenyum  pada cermin di depannya. “Clarisa, you’re beautiful girl,” bisiknya dengan bangga. Lalu terdengar decakan dari mulutnya, seperti sedang memberi ciuman jarak jauh. Ia mengulum senyum. Kekasihnya itu suka sekali jika ia memberikan ciuman jarak jauh. Mungkin Clarisa beruntung memiliki kekasih seperti Martin. Mau menerima semua kekurangannya. Atasan  baju polos warna hitam dan  tanpa lengan, dipadupadankan dengan jeans biru tua, membuat tubuhnya terlihat tinggi semampai. Masih dengan mengulas senyum, ia meraih tas  selempangnya untuk ia sampirkan ke bahu. Hari minggu ini, Clarisa hendak menemui sang kekasih hatinya, Martin. Setelah semalam mereka tidak bertemu, karena kesibukan Martin yang padat  sebagai seorang  marketing di sebuah perusahaan Asuransi terkemuka. Dengan bersenandung, Clarisa keluar dari kamarnya, dan melihat kedua orang tuanya sedang sarapan pagi. “Kamu mau kemana?” tanya  Ayahnya sambil meneliti pakaian sang putri cantiknya. “Mau pergi, Yah.” Clarisa meminum segelas s**u yang sudah ibunya siapkan. “Dengan pakaian seperti ini?” Merasa tidak ada yang salah, Clarisa meneliti kembali pakaian yang ia kenakan. Ini model terbaru yang ia beli bersama Anggita minggu lalu. “Memangnya ada yang salah?” Ayahnya menggeleng. “Kamu ganti baju lagi, atau pake rompi untuk menutupi lengan kamu itu,” titah Ayahnya. Clarisa  berdecak. “Ck, Ayah. Ini kan sudah modis.” “Kamu ganti atau gak usah keluar!” Mendapat teguran yang tak ia terima, wajah cantik itu melirik sang Ibu. “Bu,” rengeknya. “Benar kata Ayah, Risa. Kenakan luaran lagi. Kamu gak mau kan ….” “Oke, oke.” Lalu Clarisa kembali ke kamar, meraih sweater berbahan halus untuk ia kenakan sebagai luaran pakaiannya. “Bagaimana?” tanya Clarisa ketika kembali menemui orang tuanya. “Hmmm.” Cuma itu jawaban sang Ayah. “Sarapan dulu sayang,” saran ibu. “Gak usah bu. Risa  pergi sekarang. Dah Ibu, dah Ayah.” “Eh sebentar Risa,” cegah sang Ayah. “Kapan kamu ajak kekasihmu bertemu Ayah?” “Hari ini Ayah. Semoga dia gak sibuk ya.” “Kamu belum beritahu kami siapa namanya nak?” tanya Nisa. Clarisa menepuk dahinya. “Namanya Martin bu. Dia marketing disebuah perusahaan Asuransi.” “Memangnya sudah berapa lama kalian dekat?” Clarisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Setahun.” Firman membenarkan letak duduknya. “Setahun? Dan kamu belum pernah mengajaknya kemari? Mengapa?” “Maaf,” cicit Clarisa. “Risa belum yakin, makanya belum Risa ajak kemari Ayah.” Firman menghela napas panjang. “Oke kalau gitu Ayah tunggu segera.” “Siap Ayah, Ibu. Aku berangkat dulu ya.” Lalu tubuh langsing itu menghilang di pintu luar. ** Rumah  dua lantai tempat kost-kostan sang kekasih sudah nampak didepan mata. Clarisa segera menuju lantai atas, yang memang Martin tempati. Saat bertemu beberapa penghuni kost lainnya yang berjenis laki-laki, terdengar siulan dari  beberapa mulut. Mungkin mereka seperti melihat bidadari turun dari langit, saat Clarisa dengan anggunnya melangkah. Clarisa berdehem, demi menyegarkan tenggorokannya, sebelum mengetuk pintu. Ia bahkan berulang kali merapikan rambutnya. Ia ingin tetap terlihat cantik di mata kekasihnya. Tangannya mengudara, hendak mengetuk pintu. Belum sampai tangannya mendarat untuk mengetuk, pintu di depannya terbuka. “Cla-Clarisa?” Wajah Martin nampak di depan Clarisa. Dengan mengenakan celana jeans dan berterlanjang d**a. “Selamat pagi Martin,” sapa Clarisa sambil menampilkan wajah cantiknya, walau dia agak risih melihat sang kekasih bertelanjang d**a. Teringat akan sesuatu yang harus ia enyahkan secepatnya dari pikirannya. Ia sudah berjanji bukan, akan memberi kesempatan Martin mencoba menyentuhnya, dalam arti tidak melanggar batas. Martin yang sempat terkejut segera keluar dan kembali menutup pintu kamarnya. Kegugupan tak bisa ia sembunyikan, karena tidak biasanya Clarisa mengunjunginya. Biasanya gadis ini akan memberi kabar sebelum berkunjung. Clarisa merasakan suatu keanehan, biasanya Martin menyuruhnya masuk ke dalam. “Ka-kamu ngapain ada di sini?” gugup Martin. Tampak lipatan terlihat di kening Clarisa. Benerkan Martin aneh. “Memangnya aku gak boleh ketemu pacar aku sendiri?” “Owh gak, bukan gitu kok, cuma ….” Belum selesai Martin bicara, pintu yang tadi tertutup dibuka dari dalam. Clarisa dan Martin menoleh bersamaan. Saat itulah terlihat seorang wanita muncul dari dalam kamar. Mata Clarisa membola, karena pakaian yang dipakai wanita itu hanya piyama tidur, yang bahkan kancingnya terbuka dua, dan rambut yang berantakan. Khas orang baru bangun tidur. “Martin siapa yang datang?” tanyanya dengan suara serak. Sontak Clarisa menatap bergantian Martin dan wanita yang kini juga menampilkan wajah bingung. “Siapa dia?” tanya Clarisa dengan berdesis pelan, tapi syarat emosi. Martin mendadak gugup. “Oh … eh … itu …” “Saya pacarnya Martin, mbaknya siapa?” wanita di depan Clarisa justru dengan lugas menjawab pertanyaan Clarisa. “Eh Dona, jangan sembarangan kamu bicara. Gak kok Sa, gak seperti itu.” Martin mulai kalut. Sedang Clarisa, jangan di tanya bagaimana hatinya kini. “Gak gimana? Semalam kamu bilang kamu cinta sama aku.” Kembali wanita dihadapan Clarisa bersuara. “Apa? Kamu menginap semalam?” tanya Clarisa  dengan wajah penuh keterkejutan. “Bukan hanya semalam saja sih, kemarin dan kemarinnya juga.” Wanita itu bicara seolah apa yang ia bicarakan, suatu hal yang wajar. Mata Clarisa kini  mendelik tajam pada sang kekasih. Menginap bersama wanita lain? Sementara dia masih berstatus kekasihnya? Ini selingkuhkan namanya? Martin Wibowo, lelaki yang mengaku mencintainya justru kini ibarat maling yang tertangkap. “Ris, maaf. Aku ….” “Kita PUTUS!!” teriak Clarisa tak terima apapun alasan lelaki dihadapannya. Lalu ia melangkah pergi. Martin segera mengejar. “Clarisa tunggu.” Martin menahan lengan gadis itu, namun segera Clarisa tepiskan. “Ini gak seperti yang kamu bilang, sayang.” “Wanita itu bahkan menginap di kamarmu. Menurutmu, aku gak tahu apa yang kalian lakukan berdua?” Clarisa memandang jijik pada wajah kekasihnya. “Kamu udah selingkuh dibelakang aku, Martin.” “Aku gak berbuat apa-apa sama dia, percayalah padaku.” Mata Martin sarat permohonan. “Kalau begitu kasih tahu sama aku, apa yang kalian lakukan berdua semalaman di dalam kamar itu?” Martin mengerjap. Bingung. Otaknya mendadak nge-blank demi mencari alasan yang masuk akal. Clarisa berdecak.  “Gak mungkin kan kalian berdua cuma ngitung berapa jumlah doraemon yang ada di walpaper kamarmu itu?” Martin menggeleng. Tampaknya dia tak bisa lagi berkelit. “Ini semua gara-gara kamu, Ris.” Martin justru berbalik menyalahkan. Tatapan tajam Clarisa layangkan pada lelaki tukang selingkuh itu. “Aku?” Clarisa menunjuk pada dirinya sendiri. “Aku lelaki yang normal Ris, aku hanya ingin sesekali bermesraan dengan kekasihku. Tapi jangankan bermesraan, aku dekatipun kamu sudah ketakutan.” “Itu bukan alasan Martin. Lagipula kalau kamu pikir aku bisa kamu paksa melakukan hal diluar norma agama, kamu salah.” Clarisa sudah geram bukan main. “Astaga Risa, kamu ini normal apa tidak sih? Aku cium pipi kamu aja, kamu habis tampar aku. Gimana aku paksa kamu melanggar norma agama? Yang ada aku bisa mati ditangan kamu.” Sialann. Dia yang selingkuh, dia yang bilang gue gak normal. Karena kesal, Clarisa melayangkan tas slempangnya ke wajah Martin. Membuat Martin mengaduh dan melepaskan cekalannya. “b******k kamu! Mulai hari ini jangan pernah temui aku lagi!” Tak pikir panjang Clarisa langsung berlari keluar, naik taxi yang  memang parkir di depan kost-kostan. ** Clarisa  meradang, emosi, kesal maximal. Tak mungkin ia pulang ke rumahnya. Apa kata orang tuanya jika ia tak membawa kekasih, yang ada pasti ia di anggap tukang bohong. Ia harus menemui seseorang yang bisa membantunya melunturkan hawa kesalnya. Martin sialann! Hampir hari ini ia memberi kesempatan lelaki itu untuk menggenggam telapak tangannya, dan bahkan ia akan belajar menerima ciuman mesra dari sang kekasih. Tapi tadi? Bahkan Martin menyimpan wanita di kamar kostnya. Astaga! Jadi selama ini Martin tidak seperti yang ia kira. Bahkan lelaki itu bilang dia gak normal? Dia emang gak normal karena menerima Martin menjadi kekasihnya setahun ini. Dan taxi yang membawa Clarisa berhenti di sebuah rumah, yang  sering Clarisa datangi. Begitu turun dari taxi, Clarisa melihat  seorang laki-laki yang sedang mencuci mobilnya. “Pagi  Kak Abdi,” sapa Clarisa. Abdi Samudra, lelaki tampan dan berkerja sebagai manajer di sebuah perusahaan kontraktor tersenyum manis pada Clarisa. Gadis cantik sahabat sang adik. “Risa, selamat pagi.” “Angginya ada?” “Oh ada, dia masih tidur. Kamu masuk saja ya,” pesannya. Ketika Clarisa melewati tubuhnya, Abdi bahkan ikutan berdecak kagum melihat kecantikan Clarisa pagi ini. Gadis ini teramat cantik, di tambah kegemarannya ke salon. Clarisa sebelas dua belas dengan adiknya. Mereka gemar mengunjungi salon kecantikan. Sayang Clarisa melihatnya hanya sebagai kakak Anggita, sahabatnya. ** Hari minggu, hari bebas bangun siang, tanpa suara weker yang biasa Anggita pasang.  Hari minggu adalah hari santainya. Jadi ketika di tengah lelapnya bermimpi, ia cukup kesal saat  pintu kamarnya di gedor orang dari luar. Cara menggedornya pun melebihi gedoran tukang bangunan yang sedang membetulkan pagar rumahnya. “Iya-iya, sebentar,” keluhnya. “Gak sabaran banget sih.” Dengan mata terkantuk-kantuk, Anggita membuka pintu. Seketika tubuhnya hampir terjungkal ke belakang karena mendapat serangan tak terduga. “Anggi ….” Anggita segera menyambut pelukan sang sahabat. Keningnya mengeryit mendengar isakan kecil dari dekapannya. Dilerainya pelukan, dan di amati wajah sembab sahabatnya sejak mereka duduk di bangku taman kanak-kanak. “Kamu kenapa Risa?” Clarisa menghapus pipinya yang basah. “Martin, selingkuh. Dia bawa wanita lain masuk kost-kostnya, terus mereka ….” Clarisa terisak lagi. Sementara Anggita hanya menatap bingung. Sudah terganggu tidurnya, kini harus menghadapi drama sahabatnya yang baru saja putus cinta. ** Anggita membuatkan teh manis hangat  ke hadapan Clarisa yang saat ini sedang membersit hidungnya di ruang tamu. Sementara tisue sudah berbaris di atas meja. Ini anak produksi ingusnya banjir karena menangis atau memang dia sedang flu? “Terus  kalian putus?” Anggita bertanya sambil menguap. Clarisa mengangguk sambil mengerjapkan mata cantiknya. “Kamu di putusin sama Martin gitu?” Kini Clarisa menggeleng. “Aku yang putusin dia, Anggi!” teriak Clarisa tak terima. Anggita menatap wajah Clarisa sesaat. “Lalu kenapa kamu nangis kejer gini?” “Aku di selingkuhi, Anggi. Kamu kok masih tanya sih!” Bibir Anggita mengerucut. “Terus mau kamu gimana?” tanya Anggi lagi. Clarisa membersit kembali hidungnya. Sementara mulut Anggi terbuka tanpa di minta. Jorok sekali. “Aku merasa gak terima. Harusnya aku yang selingkuh, bukan Martin. Cowok tampang pas-pasan gitu berani-beraninya selingkuhi aku. Di kira dia siapa? Ganteng kaga, tajir kaga! Cuma  sales doang yang kerjanya cuap-cuap, belagu mau selingkuhi aku!” Kini Anggita justru terbelalak. Lantas  air mata tadi sebenarnya untuk apa? “Terus kamu mau balik sama Martin gitu?”  Clarisa meradang. “Enak aja, gak ya. Cowok kaya gitu lebih baik aku lempar ke tong sampah. Amit-amit balik sama dia.” “Good girl.” Anggita mengusap lengan sahabatnya itu. “Gue merasa terhina sebagai perempuan. Selingkuhannya bahkan jelek banget. Masih cakepan gue kemana-mana.” “Emang dia gak bisa apa cari yang lebih cakepan dari gue gitu.” “Martin selingkuh karena gue gak kasih kiss kali ya,”bisik Clarisa sambil menerawang. “Bisa jadi.” Anggi mengangguk pasti. “Padahal hari ini gue udah rencana mau kasih dia cium kening gue. Eh gak deh, pegang tangan gue dulu lamaan. Kalau gue dah nyaman mungkin bisa jadi gue akan kasih dia cium kening gue.” Clarisa mengerjap dan menoleh ke arah sahabatnya. “Anggi, gue bahkan dah latihan dari semalam. Supaya saat dia cium kening gue, gue gak nabok pipi dia lagi.” Anggita gak bisa membayangkan latihan apa yang Clarisa sebut tadi, mengingat banyaknya boneka teddy bear di kamar gadis itu.   “Lupakan cowok brengsekk itu.” “Gue nyesel Gi.” “Nyesel mutusin Martin?” “Nyesel kenapa gue gak tabok aja sekalian tadi. Ya ampun Anggi, masa gue di selingkuhi ya. Kurang cantik apa gue coba. Cuma gara-gara gak gue kasih cium, dia bawa cewek masuk ke kamarnya.” Clarisa mengangkat cangkir berisi teh yang tersedia di atas meja. Ia haus sekali sejak tadi menangis. “Lo tahu, bahkan gue dah janji bawa Martin ke hadapan kedua orang tua gue hari ini. Terus apa coba alasan gue ama mereka.” Ia menyesap sedikit. “Lo bawa aja abang gue.” Ucapan Anggita membuat Clarisa tersedak. Judul : Benang Cinta Sang Duda. Romance 18+ Pen Name : Herni Rafael. https://m.dreame.com/novel/tOaXZ4PBN2yegw4OowaHVA==.html Semoga suka yaaa. Love Herni Jakarta 6 April 2021  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD