Menjelang Pertunangan

2044 Words
Tasya menoleh ke arah pintu kamar abangnya, menutup bibirnya tak percaya saat melihat seorang wanita tengah berdiri di sana dengan dress yang tak asing baginya. Tatapan matanya ia alihkan menatap ke arah abangnya yang kini tengah memijit kepalanya pelan, apa dirinya merasa ketahuan?. "ABANG" teriak Tasya lagi, membuat Gerald hanya bisa diam mendengarnya, selain itu, dirinya lebih memilih untuk menoleh ke arah Alisya yang tengah terkejut saat mendengar teriakkan adiknya, terlihat sekali jika wanita itu baru bangun tidur. "ABANG KENAPA JADI BR*NGSEK SIH? SEJAK KAPAN ABANG SERING AJAK KAK ALISYA KE SINI?" Teriak Tasya lagi yang langsung di bungkam erat oleh Gerald. "Diam nggak!" Seru Gerald gemas sendiri dengan bibir adiknya, kenapa bundanya menurunkan kecerewetannya pada Tasya sih?. "Ak---ku aduin bunda ya," ancam Tasya lagi tak mau kalah, mencoba melepaskan bungkaman abangnya di bibirnya. "Mas jangan gitu, nanti Tasya nggak bisa nafas" kata Alisya pelan setelah berhasil mendekat ke arah keduanya. Gerald terdiam, melepas tangannya dari bibir Tasya begitu saja saat mendengar suara Alisya. "MAS?" tanya Tasya tak percaya, menatap ke arah abangnya yang juga menatapnya. Gerald mikir kepalanya pelan, ia akan mendapatkan ceramah yang panjang. "WAH!" Seru Tasya tak percaya saat mendengarnya. "Selama ini Tasya sama bunda benar-benar sibuk memikirkan masa depan Abang yang suram karena Tasya pikir Abang akan memilih batang sesama batang" kata Tasya yang berhasil membuat Gerald langsung menatap ke arah Alisya yang terkejut mendengarnya. "Tapi lihat, Abang bahkan sudah mengajak kak Alisya menginap?" Lanjut Tasya tak percaya. "Ini salah faham" kata Alisya mencoba menjelaskan. "Pokoknya bakalan Tasya aduin sama bunda" putus Tasya seraya berbalik, mencari tas yang tadi ia lempar ke atas sofa, ia membutuhkan ponsel untuk melaporkan semuanya. "Sya, ini beneran bukan seperti itu, Alisya di sini karena di usir dari rumah kakaknya" Tasya menghentikan gerakannya saat mendengar kalimat yang baru saja di katakan abangnya. Tasya menoleh ke arah Alisya yang menunduk. Terkutuk lah dirinya yang sudah berpikiran macam-macam tentang kedua manusia itu. Tasya menoleh ke arah abangnya, bertanya apa yang harus ia lakukan tanpa mengeluarkan suara, Gerald pun yang tak tahu harus menjawab apa, hanya mengendikkan kedua bahunya, seolah-olah mengatakan jika dirinya juga tak tahu apa yang harus dilakukan. Tasya semakin ingin mengutuk abangnya itu menjadi seekor kodok jika saja laki-laki itu bukanlah keluarganya, benar-benar buta akan wanita. Keadaan yang mulanya gaduh kini menjadi hening, Gerald lebih memilih menghampiri Alisya dan membawanya duduk di sofa yang ada di sana, berbeda dengan Tasya yang kini terlihat canggung, bingung hendak mengatakan apa lagi. "Sebenarnya Tasya ke sini bukan mau pergokin kalian kok, Tasya ke sini di suruh Abang" kata Tasya tiba-tiba seraya menunjuk ke arah Gerald yang melotot mendengarnya. Apa-apaan adiknya itu, memang benar dirinya yang memanggil tapi kan tidak untuk membuat kecanggungan seperti ini?. Alisya menoleh ke arah Gerald yang melotot ke arah Tasya, di banding peduli dengan tujuan Gerald memanggil adiknya, kini Alisya lebih bersimpati dengan tatapan Gerald yang menatap tajam ke arah Tasya, apa laki-laki yang akan menjadi suaminya juga akan bersikap seperti itu padanya?. Gerald menghela nafasnya pasrah, mematikan sorot tajam yang menguat dari tatapannya, menatap ke arah Alisya yang terlihat mengernyitkan dahi saat melihat ke arahnya. "Kenapa?" Tanya Gerald pelan, tak ada nada khawatir atau apapun yang tersimpan, yang ada hanya suara dingin yang terdengar sangat pelan, mengurangi kesan dingin yang terdengar. Alisya menggeleng, menolehkan tatapannya ke arah Tasya yang kini terlihat tersenyum canggung ke arahnya, jangan lupa dengan deretan giginya yang di paksa untuk terlihat. Sangat-sangat tidak nyaman untuk di lihat. "Kamu jangan salah faham, aku manggil Tasya ke sini buat nemenin kamu tidur, takutnya kamu keberatan kalau tinggal berdua sama aku di sini" kata Gerald membuka percakapan dengan memberitahukan niatnya memanggil Tasya agar datang ke appartemennya. "Sok banget deh, udah terlanjur jadi kali" bantah Tasya tanpa sadar. Alisya menunduk mendengarnya, memang benar, mau bagaimanapun dirinya menghindar, tetap saja dia tak bisa mengulang waktu. Di dalam perutnya sudah janin yang semakin hari akan tumbuh di dalamnya, kalaupun menghindari Gerald itu juga percuma. Gerald menatap marah ke arah Tasya, bisa-bisanya menjadikan hal itu sebagai bahan candaan. "Ah, maksud Tasya bukan seperti itu," kata Tasya menggantung, ia benar-benar bingung harus mengatakan apa. Salahkan saja bibir sialan miliknya yang tak bisa mengontrol kalimat yang ia katakan. "Aku ngerti kok," kata Alisya pelan, membuat Tasya semakin tak enak mendengarnya, ia sudah benar-benar menyakiti perasaan calon kakak iparnya. ***** Gerald mengenakan jas sebagai kain terakhir untuk menutupi tubuhnya, di lihat dari sudut manapun dirinya terlihat sangat tampan, bagaikan seorang pangeran yang pantas untuk di puja siapa saja dan di mana saja yang melihat ke arahnya. Kemeja putih dengan dasi kupu-kupu ia pakai sebagai pelengkap penampilannya hari ini, hari pertunangan yang akan ia lakukan secara tiba-tiba. Mutlak karena keputusan yang sudah dirinya tentukan sendiri. Bagaikan anak angkat, Gerald mempersiapkan semuanya di appartemen miliknya, berbeda dengan Alisya yang kini sudah ada di rumahnya, dengan di kelilingi semua keluarga terdekatnya. Meskipun begitu, Gerald merasa lebih baik seperti itu. Setidaknya ada yang memperhatikan wanita ceroboh itu. Suara ponsel yang berdering membuat Gerald menghentikan gerakannya untuk merias dirinya sendiri, tak ada bantuan satupun yang di kirimkan oleh keluarganya, benar-benar terlantar. "Hem?" Jawab Gerald saat tahu yang menelpon adalah adiknya, membuat dirinya tiba-tiba merasa malas saat mengingat apa yang terjadi semalam, sangat canggung dan mengesalkan. "INI JAM BERAPA? SUDAH BUNDA BILANG KAN JAM DELAPAN TEPAT SUDAH HARUS SAMPAI, KAMU TAHU KAN BUNDA NGGAK MENERIMA KETERLAMBATAN WAKTU?" teriakan dari sebrang telpon membuat Gerald segera menjauhkan ponselnya dan menepuk pelan telinganya yang terasa sangat panas, bundanya ini benar-benar bisa membalikkan keadaannya. Suara terputusnya sambungan telepon membuat Gerald menghela nafas panjang, padahal dirinya belum sempat menjawab, belum sempat membuat alasan, tapi bisa-bisanya bundanya itu memutus sambungan ponselnya, benar-benar anak yang di tirikan. ***** Berbeda dengan Alisya. Seperti seorang anak Ratu, Alisya kini tengah duduk di depan meja rias yang ia sendiri tak tahu milik siapa. Kamar luas dengan desain yang elegan membuat Alisya tak berhenti untuk menoleh ke sana ke mari untuk memperhatikan semua interior yang sangat indah dalam ruangan itu. Gaun berwarna putih nan indah dengan bagian bawah yang mengembang kini sudah terpasang sempurna di tubuh rampingnya. Waktu yang ia habiskan untuk mandi, merawat kulit, kuku, serta rambutnya memakan waktu hampir tiga jam lamanya, di tambah riasan yang mereka lakukan pada wajah biasanya yang memakan waktu dua jam, dengan total waktu selama lima jam, dirinya benar-benar berubah jauh dengan dirinya yang asli. Kaca mata yang ia pakai terlepas, tergantikan dengan lensa kotak yang kini membuat matanya semakin indah, riasan wajahnya pun benar-benar berbeda dengan dirinya, riasan bisa merubah itik buruk rupa menjadi seekor merak dengan ekor yang indah. Suara pintu terbuka membuat Alisya menoleh, menatap wanita paruh baya yang masih terlihat cantik tengah melambaikan tangan ke arahnya dengan senyuman ramahnya. Di banding dengan semua hal yang pernah ia baca dan dengar, keluarga Pratama jauh dari kata itu. Dirinya mengakui jika khayalan tentang penolakan yang akan dirinya terima dengan lemparan uang yang banyak serta perintah menggugurkan anak yang ia kandung benar-benar sirna dari pikirannya. Alisya menatap ke arah Krystal dengan sambutan yang hangat, seperti kata semua orang, wanita itu benar-benar awet muda di usianya. "Apakah ada yang kurang?" Pertanyaan yang di lontarkan Krystal membuat Alisya mengernyitkan alisnya, di banding bertanya, wanita paruh baya itu lebih terlihat seperti ingin memberitahu dirinya. lihat saja ekspresinya yang terlihat sedang berpikir. "Tunggu sebentar," kata Krystal yang langsung segera beranjak kembali untuk keluar ruangan. Sunyi, lagi-lagi dirinya kembali ditinggal sendirian, menatap ke arah pantulan dirinya yang ada di cermin. "Meskipun ayah tidak menyukai bunda, bunda akan tetap menikah dengan ayah, karena bagaimanapun kamu membutuhkan ayah dalam hidupmu." Lirih Alisya seraya mengelus perutnya yang belum terlihat menonjol. Krystal masuk dengan kotak di tangganya, meletakkan kotak itu di meja rias, membuat Alisya kebingungan melihatnya. Alisya semakin menaikkan Alisya saat melihat calon mertuanya itu malah duduk di meja rias, membuka kotak yang Alisya sendiri tak tahu apa yang ada di dalamnya. Alisya terkejut saat melihat satu set perhiasan yang ada di dalam kotak, terlihat bersinar dan sangat mahal. "Dulu, keluarga bunda selalu kasih cincin turun-temurun untuk anak cucu kita saat mereka menikah," kata Krystal seraya tersenyum memperlihatkan cincin yang kini di pakainya. Alisya mendengarkannya dengan seksama, menyimak apapun yang akan di katakan oleh calon mertuanya yang kini tengah asik tersenyum melihat cincin yang melingkar di jari manisnya. "Perhiasan ini cuma ada satu set di dunia," lanjut Krystal yang berhasil membuat Alisya terkejut bukan main, dirinya benar-benar tak tahu jika ada sesuatu yang seperti itu. "Meskipun sudah banyak model yang seperti ini di pasaran sebagai barang tiruan, banyak generasi sekarang yang tak tahu jika ini sebenarnya yang asli," lanjut Krystal seraya melepas anting yang sudah terpasang di telinganya. "Tan," cegah Alisya saat melihat Krystal yang ingin memasang set anting edisi terbatas untuknya. "Sebagai ganti cincinnya, aku memilih memberikan ini untuk kamu," kata Krystal seraya tersenyum dan menyakinkan Alisya untuk memasang anting itu di telinga Alisya. "Aku berdo'a jika kehidupan kalian nanti akan berjalan lancar," lanjut Krystal dengan suara yang terdengar bergetar, jangan lupakan jemarinya yang kini tengah bergerak asik memasang set kalung yang sama. "Dulu, bunda sama ayah pernah bercerai, bunda waktu itu benar-benar telat menyadari perasaan bunda, dan dengan berat hati harus merelakan mereka semua pergi dari sisi bunda," lanjut Krystal yang entah sejak kapan sudah meneteskan air mata. Krystal mendongakkan kepalanya, menatap ke arah Alisya dengan mata yang sudah basah dengan air mata yang mengalir. "Sebagai orang tua dari Gerald, saya benar-benar meminta tolong, tolong jaga Gerald dengan baik, dan saya memohon dengan sangat, sabarlah dengan Gerald" kata Krystal seraya memeluk Alisya dengan erat, dirinya takut jika putranya akan ditinggalkan seperti dirinya yang dulu meninggalkan putra-putrinya. Trauma akan perpisahan itu masih terus membekas di hati putranya, meskipun putranya hidup sehat dengan kecerdasannya yang bahkan tak bisa di katakan biasa saja. Bisnis yang di tangani olehnya selalu berhasil dengan untung yang memuaskan, membuat dirinya bangga dengan prestasi yang Gerald peroleh. Namun, sikap dingin yang Gerald dapatkan dari lamanya menahan untuk mempertanyakan keberadaannya membuat Gerald sedikit tak bisa hidup normal. Karena putranya itu pernah bilang akan menikah dengan siapapun, karena dirinya hanya akan mencintai Krystal sepenuhnya. Tak ada yang tahu tentang trauma itu kecuali Krystal, Krystal tahu itu semua saat Gerald beranjak dewasa, ketidaktertarikan Gerald pada lawan jenis di masa abu-abunya membuat Krystal mulai cemas, di saat teman sebayanya sudah bergonta-ganti pacar, putranya malah asik mempelajari bisnis dengan Kai, suaminya. Alisya melepas pelukannya, menatap ke arah Krystal dengan sendu, di bandingkan dengan pemikiran wanita paruh baya di depannya, Alisya lebih khawatir pada dirinya sendiri. Dirinya takut, bingung harus dari mana menjelaskan semuanya, bagaimana jika putra wanita itu yang mempersulit hidupnya? "Saya akan berusaha sebisa mungkin untuk menjaga mas Gerald, tapi saya tidak bisa berjanji untuk terus bersabar jika sesuatu yang mas Gerald lakukan pada saya itu sudah di batas wajar" jawab Alisya dengan menunduk. Alisya tahu, di dalam diri Gerald itu bukanlah orang yang hangat, melainkan sangat dingin, hingga terkadang membuat dirinya ingin mati kedinginan saat tak sengaja berbuat salah pada laki-laki itu. Andai kata Alisya boleh memilih, Alisya lebih memilih untuk menghindari pernikahan palsu ini dan pergi dengan calon anaknya sendirian. Alisya iri, dirinya iri dengan keluarga Gerald, di saat laki-laki itu berbuat kesalahan, kenapa orang tua serta kerabatnya masih membuka lebar pintu untuk kembali, kenapa keluarganya tidak seperti itu? Belum lagi dengan permohonan wanita paruh baya di depannya yang sangat mengkhawatirkan putranya, berbeda dengan dirinya yang tak ada siapapun yang peduli dengan keadaannya. "Sebenarnya Gerald bukan orang yang seperti itu, dia akan sangat hangat jika sudah mencintai seseorang, bahkan jika kamu meludah di wajahnya, dia tak kan peduli," Suara Krystal yang terdengar berhasil membuat Alisya mendongak, menatap ke arah wanita paruh baya itu tak percaya, apakah benar-benar seperti itu? Tapi, sekali lagi dirinya sadar, kualifikasi apa yang dirinya miliki agar dapat di cintai laki-laki itu? Dirinya bahkan tidak punya kualifikasi apapun untuk mendapatkan cinta itu, bermimpi pun tak akan pernah. "Tolong buat putraku jatuh cinta padamu, aku tak peduli jika dia akan menjadi b***k mu, karena aku ingin putraku hidup seperti teman-temannya yang lain, yang bisa merasakan cinta dan kasih sayang untuk seseorang," kata Krystal sekali lagi seraya menggenggam jemari Alisya dengan sorot mata penuh permohonan. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD