Menjadi Umpan Iblis

1132 Words
Cahaya ungu yang keluar dari batu mulia yang berada di tangan Orel bergoyang. “Czar tahu?” guman Orel. Laki-laki itu sejenak menepis pertanyaan itu dan segera memacu kudanya menyusul Ksatria Barat dan Ksatria Utara yang sudah mendahului mereka. Sekelompok tentara yang jumlahnya makin menyusut itu turut mempercepat lari kuda-kudanya setelah sejenak ikut melambatkan kaki-kaki kuda mereka.      “Aku sudah pulih,” ucap Shura lirih. Misha seketika kembali melompat ke kudanya yang berwarna coklat itu. “Apa bisa lanjut?” sahut Misha khawatir. “Kita akan segera menyusul Barat dan Utara, mereka berdua pasti membutuhkan kita, Misha,” balas Shura seraya menghentakkan tali kekang kuda. Seketika kuda putih itu melesat. Misha yang bergelar Ksatria Selatan itu hanya bisa menggelengkan kepala. Berikutnya kuda coklat itu melesat menjajari kuda putih Shura.      Di pusat desa makhuk pucat dengan ukuran tak normal sedang mengayunkan tangannya berusaha meraih Lev yang mengayunkan pedang sementara tangan yang lain masih menggenggam batu mulia bersinar biru itu. “Barat! Cari titik lemahnya!” seru Zeno pada Lev yang sedang menyerang makhluk tinggi besar itu. Asap-asap yang tadi mengitari makhluk itu tersedot ke tubuh makhluk itu karena menjauhi cahaya-cahaya dari batu mulia yang di bawa oleh para laki-laki yang mengepungnya.      Angin dingin menguar dari serangan balik makhluk dengan wajah pucat itu. Mata yang bersinar kuning itu menatap nanar pada Lev yang dengan gesit melompat menghindari terkaman mahkluk pucat itu. Shura dan Misha datang ketika Zeno, Orel dan tentara yang dipimpinnya menyerang makhluk itu bersama-sama. “Ke sini!” teriak Shura pada makhluk dengan bentuk manusia tinggi besar yang tak bisa bicara itu. Teriakan Shura membuat makhluk pucat itu menoleh, makhluk itu langsung tertarik pada Ksatria Timur yang tidak menggenggam batu mulia.      Makhluk pucat itu meninggalkan Lev dengan kembali memanjangkan tubuh bagian atasnya untuk menerkam Shura. “Shura memang gila!” teriak Zeno yang melihat Shura menjadikan dirinya sebagai umpan. “Utara! Lindungi Timur!” teriak Lev kencang pada Zeno yang sedetik kemudian terlihat menghentikan serangan melihat kenekatan Shura. “Tidak! Tetap serang makhluk aneh ini!” teriak Shura seraya membalikkan arah kuda dan berlari kencang. “Misha!” teriak Zeno sambil kembali menyerang makhluk tinggi besar itu. Seketika Misha membalikkan arah kudanya dan menyusul Shura. “Utara, Taaffeita Selatan ‘kan tinggal pecahan,” teriak Lev, ada nada khawatir dalam teriakannya itu. “Tak ada cara lain,” sahut Zeno tanpa daya.        Orel yang sedang memerintahkan tentaranya untuk membuat lingkaran mengelilingi makhluk itu terkejut. “Apa yang sebenarnya terjadi?” teriaknya pada dua petarung yang berusaha menyabetkan pedang pada kaki makhluk itu. Sabetan pedang itu seolah sia-sia, karena setiap sayatan yang mengeluarkan asap hitam itu dengan cepat pulih seperti sedia kala. “Tak ada yang tahu, Orel,” teriak Lev dan Zeno hampir berbarengan.      Orel menatap dengan sorot khawatir. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Panglima itu berdiri di salah satu sisi lingkaran yang dibuat oleh tentara-tentaranya. Dan menurunkan Amethyst yang ada dalam tangannya yang dari tadi terangkat. Batu mulia yang berada dalam bingkai perak dengan rantai itu tetap mengeluarkan pendar cahaya magis. Laki-laki itu mengikatkan rantai perak itu di pergelangan tangan. Kemudian mengeluarkan batu mulia dengan bentuk tak beraturan dari bajunya.      Sementara itu Shura makin merasakan hawa dingin yang mengelilinginya. “Ikuti aku, Sayang!” seloroh Shura pada makhluk yang mengejarnya dengan memanjangkan tubuhnya itu. “Hiat!” teriak Misha sambil melompat kemudian menebaskan pedang ke punggung ke makhluk itu. Tidak seperti tadi, sayatan di punggung makhluk itu tidak membuat makhluk itu menjauh dari Shura. Misha membelalakan mata ketika dari ketinggian melihat sayatan yang mengeluarkan asap hitam itu kembali seperti semula.      “Misha bergabunglah dengan Lev dan Zeno!” teriak Shura kencang. Laki-laki ini melihat pendar cahaya Taaffeita di tangan Misha meredup. “Tidak aku tidak akan membiarkanmu sendiri,” sahut Misha cepat walaupun di dalam hatinya mulai ada kekhawatiran. “Tenang saja! Percayalah! Aku tahu apa yang kulakukan,” teriak Shura sambil terus berkelit dari cengkeraman makhluk itu. “Ya aku percaya sekali dengan kegilaanmu itu,” seru Misha setelah kembali duduk di pelana kuda.      Misha mendengar Shura yang terkekeh panjang. Mendadak Misha melihat Shura menarik tali kekang dan membalikkan arah kuda. Kemudian berhadap-hadapan dengan kepala makhluk yang mengeluarkan desisan itu. Misha yang terkejut dengan gerakan mendadak Shura, turut membalikkan arah kuda. Shura mencabut pedang sambil terus menyebarkan energi tak terlihat dari dalam tubuhnya untuk mentawarkan hawa dingin yang terasa menusuk tulang itu. Kemudian menyabetkan pedang-pedang itu ke tangan makhluk itu yang terus menjulur ke arahnya.      Misha kembali melompat ke atas punggung makhluk itu dan menebas punggung itu tanpa ragu. “Shura! Tebasan ini terus pulih!” seru Misha masih berada di atas punggung makhluk itu. Shura menatap mata dengan sorot mata kuning itu. “Tunggu! Sepertinya ada yang kutangkap dari wajah itu,” seru Shura dalam hati. “Terus serang dia, daya pulihnya mengurangi kekuatannya,” jawab Shura cepat. Serangan kedua ksatria itu seolah tak berarti. Namun, tubuh makhluk aneh itu terus memendek. Kini Shura dan kuda putihnya yang seolah berbalik mengejar makhluk itu.      Misha kembali melompat ke kuda coklatnya dan mengarahkan kuda itu ke bawah tubuh Makhluk yang terlihat melengkung itu. Misha menusukkan ujung pedang ke sepanjang d**a makhluk itu. “Hei!” guman Shura seolah menangkap sesuatu. Entah gelombang apa yang ada di pikiran Shura. Laki-laki yang bergelar Ksatria Timur itu seperti mampu menangkap apa yang ada dalam otak makhluk yang tak bisa bicara itu. “Misha!” panggil Shura dengan lantang. Yang dipanggil menghentikan sayatan panjang di d**a makhluk itu dan mengarahkan kudanya berlari mendekati Shura.      Shura menggerakkan pedang dan kepalan tangan yang kosong, lalu membentuk isyarat dengan pura-pura menggores pedang itu pada udara kosong yang mengisi genggaman. Kemudian laki-laki itu menunjuk arah pusat desa. “Cepat!” seru Shura kemudian. Misha yang menangkap arti gerakan itu langsung mengangguk dan memacu kuda setelah sejenak menepis kekhawatiran pada Shura.     Shura tersenyum menyeringai. Makhluk itu seperti membaca apa yang ada di benak Shura. “Kau khawatir?” seru Shura sambil tersenyum. Makhluk itu kini meliuk-liukkan tubuhnya. “Arrgh!” Mulut makhluk itu mengeluarkan suara menggeram. Seketika tubuh bagian atasnya membesar. Tangan yang menjulur itu juga membesar. Telapak tangan yang kaku itu mengeluarkan asap pekat hitam tapi kali ini asap itu mengeluarkan percikan api.      Shura kembali tersenyum menyeringai. Mata makhluk yang kuning menyala itu kini merubah merah bak nyala api. “Kau marah?” ejek Shura sambil terus menebaskan pedang. Sayang sekali kini sabetan pedang Shura tak bisa menahan tangan yang kian membesar itu. Tangan itu berhasil mencengkeram pinggang Shura. “Agh!” teriak Shura sambil berusaha mengusir hawa aneh dari telapak tangan itu. Hawa yang semula dingin menusuk berubah menjadi panas yang menyengat. Tangan besar itu mengangkat Shura dari atas pelana kuda putihnya. Dan membawa Shura mengikuti gerakan memendek tubuhnya. Shura merasakan energi jahat yang seolah menariknya ke dalam lobang gelap. “Argh!” teriak Shura kencang. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD