Bagian 5

1980 Words
Seorang wanita tengah sibuk berkutat dengan peralatan dapur di depannya tanpa menghiraukan seorang pria yang tengah memperhatikannya dari kursi pantry. "Astaga." Rara kaget, begitu dia membalikkan badannya dia sudah melihat masnya duduk dengan tangan yang menopang dagunya. Seperti layaknya seorang suami yang tengah memperhatikan istrinya memasak. "Bisa ngga sih Mas jangan bikin kaget." gerutu Rara seraya menuangkan lauk yang dia masak ke dalam piring. "Kamunya aja yang kagetan. Orang Mas dari tadi duduk di sini, enak merhatiin ibu-ibu masak." gurau Aryo. Dia tahu adiknya itu tidak suka disebut ibu-ibu. "Enak aja ibu-ibu. Aku tuh emak-emak milenial tahu." bela Rara seraya melangkahkan kakinya ke meja makan. Aryo ikut membantu Rara menyiapkan sarapan untuk mereka, "Sejak kapan kamu bisa masak?" "Dih, ngeledek aja. Aku bisa masak tahu dari dulu, Mas aja yang ngga tahu." "Iya tah?" "Iya, tanya aja mamah Dita." "Okey, Mas percaya." Lagi asik menghidangkan lauk yang dia masak, Rara mendengar suara tangisan anaknya. "Biar Mas aja. Kamu lanjutin aja masaknya." Aryo sudah berlalu menghampiri keponakannya. Rara bersyukur bisa menemukan keluarga yang memang bisa di bilang keluarga seutuhnya. Dan yang lebih bersyukurnya bunda Inggit dan Aryo mau menerima kehadirannya. Kenapa tidak dari dulu saja dia bertemu dengan ayahnya. Hah, takdir memang terkadang selucu itu. "Da- da..." panggil Nalen yang baru bisa menyebutkan panggilan setengah-setengah. "Selamat pagi anak Bunda." Rara menghampiri Aryo dan mencium pipi gembil putranya. "Belum pada bangun ya Mas?" "Ayah udah, tapi masih di ruang gym. Mas panggil dulu ya." "Iya Mas." Rara tidak tinggal diam saja. Dia juga mencari keberadaan penghuni rumah yang lain. Bunda Inggit sedang asik bercocok tanam di halaman belakang. "Bun, makan dulu yuk. Masakan aku udah jadi." Inggit yang tengah memasukkan tanah ke dalam pot, sontak menghentikan kegiatannya. "Eh, iya Ra bentar ya." Inggit langsung melepaskan sarung tangan yang dia gunakan dan menggantung kembali di tempat yang tersedia. "Maafin Bunda ya Ra, ngga bantuin kamu." sesal Inggit. Bukannya dia bermaksud tidak mau membantu anaknya memasak, tapi tadi setelah solat subuh dia melihat tanaman di halaman belakang banyak yang di acak-acak tikus dan berakhir dirinya yang bekerja bakti membereskan kerusakan yang ada. "Iya Bun gak papa. Udah beres tanamannya Bun?" "Alhamdulillah udah Ra." "Syukurlah. Aku mau bangunin Chika dulu ya Bun." "Iya sayang." Rara melangkahkan kakinya ke kamar tamu. Tempat di mana sahabatnya bermalam di rumah orang tuanya. Chika memang semalam bermalam di sini, Rara lah yang meminta. Dan Chika juga dengan senang hati menerima tawaran Rara. Ceklek, Ketika pintu kamar tamu terbuka, Rara tidak menemukan keberadaan sahabatnya. Tempat tidur kosong, tidak ada tanda-tanda jika ada orang yang menidurinya. Padahal seingat dirinya, semalam setelah sedikit bercerita, Chika langsung tidur di kasur. Tapi ini tidak ada. Aneh, tapi Rara curiga ke suatu tempat. Tidak mau membuang waktunya, Rara segera menuju tempat kecurigaannya. Ceklek, Gotcha! Benar saja dugaannya. Rara melihat sang sahabat tengah tertidur pulas di dalam kamar seorang pria yang mana kamar itu adalah kamar Aryo. Kakak tiri Rara. Rara meletakkan tangannya di sisi pinggangnya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Selimut yang menutupi tubuh Chika langsung Rara buka. Setidaknya Rara bisa bernafas lega ketika mendapati sahabatnya masih mengenakan pakaian lengkap seperti semalam. Berarti masnya masih menghargai Chika sebagai sahabatnya. "Weh, k*****t. Bangun lu." ujar Rara seraya membuka jendela agar cahaya matahari langsung masuk ke dalam kamar. Dan benar saja, merasa terganggu dengan tidurnya, Chika langsung mencari selimutnya kembali guna menutupi kesilauan matahari yang mengenai wajahnya. "Anjir, malah berlindung." Rara kembali menghampiri ranjang dan kembali menyingkap selimut yang menutupi wajah Chika. "Bangun bangke, udah jam berapa ini." "Ra, gue ngantuk." gumam Chika dengan suara seraknya, suara khas bangun tidur. "Gue itung ampe tiga, kalo kagak bangun gue vcall Dika. Satu... Dua... Ti—" "Anjim, iya ini gue bangun." dumel Chika yang sudah mendudukkan dirinya di atas kasur. Tapi matanya seperti enggan terbuka. Rara langsung menarik tangan Chika dan membawa sahabatnya itu ke kamar mandi yang ada di kamar masnya. "Gece cuci muka. Gue tunggu di ruang makan. Sampe sepuluh menit lu belom dateng, gue aduin ke Dika." ancam Rara. Dia yakin, Chika paling takut dengan ancaman yang membawa nama Dika. Pasalnya Chika tidak mau Dika salah sangka. Itu yang sangat Chika hindari. Ketika kembali ke ruang makan, ternyata semuanya sudah berkumpul. Hanya tinggal menunggu dirinya saja. "Kok pada belom makan?" tanya Rara seraya mendudukkan bokongnya di sebelah Aryo dengan Nalen di sebelahnya yang duduk menggunakan kursi khusus bayi. Aryo lah yang membelikan kemarin ketika adiknya dan keponakannya tiba di Indonesia. "Kita nungguin kamu sayang." "Yaudah, ayo makan." Rara mempersilakan keluarganya untuk menyantap masakannya. Rara sendiri menyiapkan makanan untuk putranya baru setelah itu dia menyantap makanan untuk dirinya sendiri. Sudah terbiasa hidup sebagai single parent, jadi bukan hal yang sulit untuk Rara melakukan hal semacam ini. Awalnya Rara memang seperti kaget, tapi lama kelamaan dia sudah terbiasa. Nalen lah yang selalu dia utamakan. Melihat Chika sudah datang, Rara langsung mengkode sahabatnya itu dengan matanya untuk duduk di hadapannya. "Pagi Om, Tante." sapa Chika. "Pagi Chik." Apa yang Rara lakukan tidak luput dari pandangan Zein. "Kamu ngga makan sayang?" tanya Zein merasa kasihan dengan putrinya. "Nanti Yah, abis nyuapin Nalen." Zein bahkan sudah menyelesaikan makannya, sedangkan putrinya belum makan sama sekali. "Mau Ayah sewain baby sitter?" "Eh, jangan Yah. Aku ngga mau Nalen di asuh bukan sama keluarganya." Inggit sendiri berdecak kagum mendengar apa yang Rara katakan. Dirinya saja yang baru beberapa tahun mengenal Rara, dia sudah merasa Rara memang wanita yang tangguh. Tidak ada penyesalan sedikit pun di hati Inggit ketika menerima Rara di keluarganya. Hanya melihat dari foto saja, Inggit sudah jatuh cinta dengan anak dari suaminya itu. "Kamu ngga merasa kerepotan Ra?" tanya Inggit yang ikut angkat bicara. "In syaaAllah ngga Bun. Rara masih sanggup kalo cuman ngurusin Nalen doang." "Bilang ya kalo kamu mau sewa baby sitter. Biar Ayah yang bayar, kamu ngga usah takut." Sebenarnya bukan masalah bayar membayar seorang baby sitter bagi Rara. Jika di suruh bayar pun, Rara lebih dari mampu dari penghasilannya di kafe. Tapi dia memang tidak mau Nalen di bawah pengasuhan seorang baby sitter. Lagipula dirinya masih sanggup mengurus Nalen seorang diri. "Alhamdulillah, abis. Yeay." Rara bersorak senang diikuti Nalen yang juga bertepuk tangan. Walaupun anak itu tidak mengerti maksud dari bundanya menepuk tangan. "Cucu Kakung udah rapih makannya? Yuk, kita ke halaman belakang." Nalen yang memang tipikal anak yang mudah mengenali seseorang, langsung mau menerima uluran tangan Zein dan tidak menangis sama sekali ketika sudah di gendong. Kebanyakan balita di luar sana pasti susah untuk mengenal orang baru. Zein merasa bersyukur memiliki cucu seperti Nalen yabg sama sekali tidak menyulitkan siapapun. "Kamu makan Ra. Jangan ngapa-ngapain lagi." "Iya Bunda sayang. Ini mau makan." sesuai apa yang Inggit suruh. Rara langsung mengambil piring kosong dan menyendokkan nasi ke dalam piringnya. Tapi baru saja dia mau menyendokkan nasi, tangan seseorang langsung menghentikan pergerakannya. "Biar Mas aja yang ambilin nasi kamu." ujar Aryo yang tidak mau menerima bantahan. Dan langsung mengambilkan adiknya nasi beserta lauk pauknya. "Segini udah?" tanya Aryo yang diangguki oleh Rara. "Makasih Mas." "Sama-sama." Rara mulai menikmati sarapannya. Setidaknya jika di Indonesia, Rara bisa makan dengan pelan. Jika di tempat tinggalnya, di Singapur sana ketika sarapan Rara selalu was-was. Makan pun matanya tidak lepas dari pengawasan Nalen. "Assalamu'alaikum." salam seseorang dari arah pintu depan. Rara yang sudah dapat mengenali suaranya hanya diam saja. "Assalamu'alaikum Tante." salam Dika seraya menyalimi punggung tangan Inggit dan bergantian menyalimi punggung tangan Aryo. "Wa'alaikumsalam, udah makan kamu Dik?" tanya Inggit. "Alhamdulillah udah Tante." Dika tanpa disuruh sudah duduk disamping Chika. Melihat ada sesuatu yang menggoda mulutnya, Dika langsung mengambil nugget di piring Chika dan membuat sang empu mendengus kesal. "Itu banyak Dik, ngapa harus ganggu Chika sih." tegur Aryo yang malas mendengar perdebatan dua manusia itu. Pasalnya akhir-akhir ini ada saja yang selalu mereka debatkan ketika bertemu. "Nugget di piring Chika lebih menarik Mas dari yang itu." kekeh Dika di akhir kalimatnya. Rara sendiri yang sudah terbiasa, lebih memilih diam. Jika dirinya ikut mengomeli yang ada malah bertambah parah. "Ra, diem-diem bae lu. Sakit gigi ya?" ledek Dika. Memang dasarnya Dika yang suka mengganggu Rara dan juga Chika. Jadi jangan salahkan mereka jika terpancing dengan ledekan laki-laki itu. "Dik, diem." tegas Rara. Dia malas meladeni Dika untuk pagi ini. Oke, Dika memilih untuk bungkam saja, "Nalen ke mana?" tanyanya. Lebih baik dia bermain dengan keponakannya saja. "Sama ayah di belakang." sahut Aryo seraya bangkit dari duduknya. Dika pun langsung menuju halaman belakang seperti apa yang Aryo katakan tadi. "Ra, ini biar nanti Bunda aja yang beresin. Bunda mau ke kamar sebentar." "Iya Bun." Melihat Inggit sudah masuk ke dalam kamarnya, barulah Chika bisa menghela nafas panjangnya. "Lu kenapa sih Chik sama Dika? Gue perhatiin lu kek marah banget gitu ama dia?" "Gue sebel banget ama Dika. Dia demen banget tebar pesona di kampus. Giliran gue ya, padahal cuman ngejedai rambut aja, langsung marah ampe tiga hari sama gue." "Ya mungkin Dika ngga mau leher lu keliatan sama orang di luar sana." ujar Rara berusaha untuk menengahi pertengkaran keduanya. "Ya tapi ngga gitu juga caranya." Chika memilih untuk bangkit dari meja makan dan berjalan menuju tempat cuci piring. Rara sendiri hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia heran, keduanya sudah sama-sama dewasa, tapi hal sekecil itu saja bisa menjadi besar. Apa kabar dirinya yang memiliki masa lalu seperti itu? Mengingat masa lalu, Rara jadi ingat lagi tentang pria itu. Pria yang membuat cinta dan benci menjadi satu. Andaikan dia bisa mengulang, mengulang di mana dirinya tidak pergi ke club malam dan sampai terjadi hal yang tidak dia inginkan. Tidak, Rara langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. Jika dia menyesali, berarti dia juga tidak mau adanya kehadiran Nalen. Kehadiran Nalen menurut Rara sebuah anugerah yang Tuhan titipkan untuk dirinya. Nalen itu bagaikan air yang datang di kehidupannya di kala dirinya tengah berada di padang pasir. Dengan adanya Nalen di kehidupannya, hidup Rara menjadi berwarna. "Ra, temenin gue yuk." ajak Chika yang sudah duduk di tempatnya lagi. "Ke mana?" "Ke mall beli kado. Temen kampus gue ada yang ultah besok." "Okey, ajak Nalen gak papakan?" "Jangan, Nalen biar sama Mas aja." bukan Chika yang menjawab, melainkan Aryo yang baru datang dari halaman belakang dengan Nalen di gendongannya. "Gak papa Mas?" Rara kurang yakin jika mau meninggalkan putranya. Pasalnya walaupun Nalen itu gampang mengenali seseorang tapi tetap saja dirinya yang paling di cari. "Iya, kamu taro aja s**u Nalen di kulkas." Aryo berlalu menuju ruang keluarga. "Tuh, turutin aja Ra." imbuh Chika meyakinkan Rara. Dia tahu, sahabatnya itu sudah terbiasa jika ke mana-mana pasti anaknya ikut. Tapi di Indonesia, Chika mau Rara menikmati masa mudanya yang hilang. Ya walaupun Chika tahu, naluri seorang ibu di diri Rara sangatlah kuat. Rara menghela nafas beratnya, "Yaudah. Gue mau mompa asi dulu." dan memilih bangkit menuju kamarnya guna memompa asi untuk dia letakkan di lemari pendingin. "Ikut Ra." Chika menyusul langkah Rara ke dalam kamarnya. Seperti itulah kehidupan seorang Almaira setelah dirinya memutuskan untuk menjadi single parent. Mengenai putranya, pihak dari pria yang mana adalah ayah kandung Nalen tidak mengetahui keberadaan Nalen. Rara pernah mengatakan kepada Aryo untuk memberi tahu mereka jika kandungannya sudah dia gugurkan. Jadi mereka tidak perlu merasa untuk bertanggung jawab atas dirinya. Rara sudah lelah jika harus bertemu kembali dengan pria itu. Tapi disamping itu, dia juga merindukan sosok yang dulu selalu ada untuknya. Sosok yang sangat mengerti dirinya dalam keadaan apapun. Tapi semua berubah semenjak adanya perkataan yang membuat hati Rara mencolos. Sebelumnya Rara tidak pernah mendengar perkataan itu keluar dari mulut pria masa lalunya. Tapi entah apa alasannya sampai kata-kata yang membuat hatinya sakit, bahkan sampai sekarang jika mengingat, dadanya akan terasa nyeri. "Ra, jangan bengong. Tuh liat asi lu sampe tumpah-tumpah." Rara tersentak kaget begitu melihat asi yang sedang dia pompa. Benar apa yang sahabatnya katakan. Ah, ini semua gara-gara dirinya kembali mengingat masa lalu. Yang seharusnya dia kubur tapi dia malah mengingat kembali. "Lu masih nyimpen fotonya Aldo Ra?" Deg, Padahal Rara mati-matian tidak mau menyebutkan nama itu. Tapi Chika malah dengan entengnya menyebutkan nama pria itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD