"Kamu kuliah di sini? Buat apa? Papi sanggup membiayaimu ke Harvard!"
Aretha terkekeh getir. "Mimpi apa aku masuk Harvard, Pi?"
"Oke, kalau kamu keberatan ke Harvard, bagaimana kalau MIT? Caltech? Itu ... pusatnya jurusan teknik dan informatika, kan?"
"Amerika itu kan ambisinya Papi, bukan ambisiku. Besides, I'm not that eligible," tolak Ari terdengar tidak tertarik. Sewaktu ia kecil dulu, ayahnya sering bercerita tentang ambisinya menjadi mahasiswa salah satu kampus ternama di Amerika, Harvard, atau yang lebih spesifiknya lagi, Harvard Business School. Hanya saja, neneknya yang posesif tidak membolehkan ayahnya terbang jauh meskipun dari segi finansial mereka sangat berkecukupan, sehingga dirinya yang diproyeksikan untuk mencapai keinginan ayahnya yang belum kesampaian.
Leonardi Naratama mendengus seraya mengempaskan map berisikan ijazah serta catatan nilai rapor SMA putrinya. "Putri Papi dulunya pintar, tapi, kenapa sekarang nilaimu berantakan begini?"
"It was a long time ago, Pi. People changed."
"Kamu bisa mengganti casing-mu, tapi tidak dengan isi kepalamu!"
"Maaf, Pi." Aretha menunduk, malu telah mengecewakan ayahnya.
Melihat perubahan Aretha yang menjadi makhluk pesimis membuat Leo sejenak merasa geram dan menyesal membiarkan mantan istrinya membesarkan anak mereka. Rahangnya tiba-tiba mengeras, sejenak kemudian sorot matanya berubah sendu. "Papi yang minta maaf, Ri. Gara-gara Papi, masa depanmu ... ah, andai saja—"
"Sudahlah, Pi. Papi nggak salah." Aretha meremas tangan ayahnya sembari tersenyum lebar. "You're still my Superman. Aku yang minta maaf belum mampu membuat Papi bangga."
"Ck! It's okay, Honey. It's okay." Leo merengkuh putri satu-satunya itu dalam pelukannya. "Tungguin Papi, ya, Nak. Suatu hari nanti, Ari mau kan, tinggal bersama Papi lagi?"
"Mau dong, Pi, mau sekali!"
"Janji?"
"Janji." Aretha mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingking ayahnya. Laki-laki bermata hangat itu mengecup keningnya. Aretha menggumam bibirnya kuat-kuat menahan sesak yang menghimpit d**a.
"Kamu masih latihan dengan Sati?"
"Udah enggak lagi, Pi. Beliau bilang udah cukup."
"Tapi masih rutin diulang-ulang?"
"Masih."
"Good."
Aretha tertawa lebar, enggan menampakkan kesedihannya di hadapan sang ayah.
"Hmm ... Ri ...."
"Ya, Pi?"
"Bagaimana kabar Mami?"
"Untuk apa Papi bertanya?" Aretha menatap ayahnya lekat. "Do you still love her anyway?"
"Fool as f**k, huh?" Leo mendesah.
Aretha mendelik. "Pi, your words!"
"Ups, sorry!" Leo mengangkat kedua tangannya setengah hati.
"Lagipula, bila cinta sanggup mempersatukan dua orang manusia, kenapa cinta tak sanggup mencegah keduanya berpisah?"
Leo terdiam. Yang tidak anaknya tahu, penyesalan terbesarnya bukanlah segala sesuatu terkait mantan istrinya, tetapi segala yang berkaitan dengan Aretha.
Melihat sang ayah terdiam, Aretha menyesal telah bertanya. Luka dan kepedihan membayang di kedua bola mata ayahnya, begitu dalam dan menyakitkan. "Maaf, Pi. Aku hanya nggak mengerti bagaimana caranya cinta bekerja."
"Kamu masih sangat muda, Nak. Ada banyak waktu untuk belajar dan merasakan gejolak naik turun di dalam hidupmu. Nikmatilah dan ambil pelajarannya. Cinta itu bukan hanya mampu membahagiakan, tetapi terkadang juga menyakitkan."
Dahi Aretha langsung berkerut. "Bila cinta juga mampu menyakiti, sepertinya aku nggak akan mengambil resiko sebesar itu. Aku nggak mau jatuh cinta."
Leo tersenyum kecil. "Bukankah kamu sudah pernah jatuh cinta?"
"Pi, come on!" Aretha mendelik. Pipinya bersemu. "Itu bukan cinta. It was just ... I don't ... know." Ia melambaikan tangannya.
Kenangan itu membuatnya tersenyum kecil. Diremasnya ponsel pemberian Attaruna yang menampakkan fotonya berdua dengan sang ayah pada wallpaper-nya. Sungguh, dadanya sesak setengah mati menahan sebak.
Pada umur delapan tahun, dunianya jungkir balik. Ia larut dalam pusaran badai kekacauan, bingung hendak memilih dan ke mana menentukan arah.
Kedua orang tuanya tiba-tiba bercerai setelah melalui pertengkaran demi pertengkaran sengit. Ari kecil hanya bisa meringkuk di dalam lemari sambil menutup kupingnya rapat-rapat saat suara menggelegar ayah dan ibunya menusuk gendang telinganya.
Perpisahan dengan ayahnya membuatnya gamang luar biasa. Ia terperenyak menghadapi kenyataan bahwa lelaki bersuara merdu ketika menyanyikan lagu pengantar tidur itu tak lagi bersamanya. Ditambah lagi berita-berita santer tentang sang ayah menjadikan kepercayaan dirinya hancur tak bersisa.
Sosoknya perlahan-lahan berubah jadi pendiam, lalu apatis dan acuh tak acuh. Hubungannya dengan ibunya tidak mesra. Dan setelah perceraian itu, ia yang awalnya berharap hubungan dengan ibunya membaik, tak kunjung menemui harapannya.
Ketika ibunya memilih menikah lagi, dunianya berubah kelabu. Suram. Ia semakin kehilangan ibunya. Ia tahu ibunya menyayanginya, tetapi tidak menunjukkan kasihnya seperti yang seharusnya terjadi antara ibu dan anak perempuannya. Lama kelamaan, Aretha seperti sebuah sosok tak diinginkan yang kehadirannya hanyalah menjadi batu sandungan.
Tak hanya itu, ia juga harus berbagi kasih yang tersisa secuil itu dengan Danisha, saudara tirinya. Ibunya seakan ingin menghapus stigma ibu tiri jahat dengan mengasihi Danisha secara berlebihan. Ibunya berhasil. Hubungan mereka bagaikan ibu dan anak kandung. Danisha mendapatkan pengganti ibunya yang telah tiada. Sementara Aretha tersisih, pelan-pelan mundur ke pojokan, kehilangan, tersembunyi, tak dihiraukan. Ia menyimpan perasaan sedih itu untuk dirinya sendiri. Katakan saja ia rela mengorbankan diri agar tidak menyulitkan posisi ibunya dalam keluarga barunya.
Aretha menarik diri, tak terlihat, biasa saja, sangat biasa. Seseorang yang tak diperhitungkan dalam kerumunan, berusaha agar tidak menonjol, berada di balik bayangan Danisha. Dan ibunya menuduhnya gagal move on dari ayahnya. Hey, siapa yang bisa move on saat kasih seseorang yang kaucintai direnggut secara paksa?
Jurang itu semakin hari menganga semakin lebar. Aretha tenggelam dalam dunia yang ia ciptakan sendiri. Hidupnya hanya berkutat antara sekolah, lalu kampus, latihan bersama Sati, rumah, kamar dan komputernya. Belakangan ia sadar, memilih bertahan bersama ibunya adalah keputusan yang salah. Banyak hal yang ia sesali, tetapi nasi sudah jadi bubur, jadi tak ada gunanya dipikirkan lagi.
"Putri Papi dulunya pintar, tapi, kenapa sekarang nilaimu berantakan begini?"
Hah, pintar taik kucing?! Aretha mendengkus masam. Attar saja tega sekali menghina IPK-nya yang mentok di angka tiga tanpa bilangan di belakang koma.
"Kamu nggak apa-apa, Ri?"
"Eh?" Aretha terperanjat. Pipinya merona kala menatap Bima, malu ketahuan melamun. "Ya, Om?"
"Kamu nggak apa-apa?" ulang Bima memastikan.
"Aku baik, Om."
"Demam?"
"Enggak, Om. Aku sehat."
Bima kembali berkonsentrasi dengan roda kemudinya. "Betah di Jakarta?"
Aretha mengangguk. "Betah, Om."
"Attar baik sama kamu?"
"Baik, Om."
"Syukurlah. Kalau dia marah-marah, jangan diambil hati. Orangnya memang begitu." Bima merasa perlu memberi Aretha peringatan tentang tabiat putra sulungnya. Jangan sampai Aretha sakit hati. Hidup gadis itu sudah cukup sulit.
"Kenapa? Maksudku, kenapa Mas Attar suka marah-marah?" selidik Aretha.
"Entahlah. Dari lahirnya memang begitu. Mungkin dulu mamanya salah ngidam."
Aretha nyengir, sedangkan Bima memasang wajah datar tanpa ekspresi, seolah-olah tak sadar telah melemparkan candaan garing.
"Apa Mas Attar juga pemarah pada pasiennya, Om?"
"Tidak. Dia memperlakukan pasiennya dengan baik dan penuh kesabaran. Aneh, kan?"
"Aneh." Aretha mengangguk. Tiba-tiba saja ia berpikir, mungkin Attar mengidap kepribadian ganda. Ataukah sifat pemarahnya adalah sebentuk pelampiasan atas kejenuhannya bersikap baik kepada pasiennya?
"Aku turun di sini saja, Om." Aretha membuka seat belt-nya sebelum Bima menghentikan kendaraannya. Beberapa meter di depan mereka sudah sampai di gerbang menuju gedung kantornya.
"Kenapa turun di sini? Om bisa mengantarmu ke dalam."
"Nggak usah, Om. Di sini saja," sahut Aretha beralasan. "Kebetulan aku nunggu teman dulu."
"Nggak apa-apa memangnya?"
"Nggak apa-apa, Om. Terima kasih ya, Om." Aretha meraih tangan Bima dan menempelkannya di keningnya. Setelah itu, ia buru-buru turun dari mobil.
Bukannya menolak diantarkan sampai ke depan lobi. Ia hanya tidak ingin rekan-rekan kerjanya curiga. Seorang cleaning service diantar ke kantor dengan mobil mengkilap yang Aretha yakin harganya tidaklah murah sudah pasti bukan hal yang lumrah.
***
"Kenapa kamu harus ganti baju segala, sih? Malu kerja jadi OB?" tegur Rika, seorang OB senior di tempat itu dengan nada sinis.
"Enggak, kok, Mbak," sahut Aretha sambil lalu. Ia memang sengaja datang lebih awal agar sempat berganti pakaian terlebih dahulu dengan seragam kerjanya. Bisa gawat kalau ia ketahuan bekerja sebagai OB, meskipun baginya itu bukan masalah besar.
Rika mendengus lalu beranjak pergi. Aretha mengembuskan napas dari mulutnya kuat-kuat. Perempuan itu sinis sekali.
Hampir tiga minggu berada di Jakarta, atmosfir kota itu masih membuatnya tercekik. Rasa asing sebagai pendatang tak kunjung lepas. Setiap kali keluar dari kamar, perutnya seperti disodok dari berbagai sisi.
Belum lagi rasa khawatir ditemukan oleh orang-orang yang mencarinya. Bukan tidak mungkin Darka atau ibunya mengerahkan orang untuk mencarinya. Darka punya banyak uang. Pesan terakhir berisi ancaman dari pria itu cukup membuatnya gentar.
Orang-orang di rumah Bima memperlakukannya dengan ramah, bahkan lebih ramah dari orang-orang di rumah ibunya. Ia juga bersyukur bisa jauh dari Danisha. Ia tidak begitu khawatir dengan keselamatan dirinya secara fisik, tetapi tetap saja rasanya ia seperti seekor siput yang dipaksa lepas dari cangkang tempatnya berlindung. Rapuh. Lunak. Rentan.
Mungkin satu-satunya yang menarik adalah kepulangan Attar dua minggu sekali. Laki-laki itu anehnya seperti magnet yang terkadang ingin ia jauhi, tetapi sekaligus menarik untuk ditatap berlama-lama. Ia percaya ada kelembutan di balik sifat pemarah Attar dan ia penasaran kapan Attar akan menampakkan wujudnya langkanya itu.
Ia tak ubahnya seperti penguntit gila setiap kali Attar pulang ke rumah. Aretha berharap semoga pohon mangga tempatnya bernaung—belakangan dahan mangga itu seperti rumah kedua setelah kamarnya—tidak ditebang.
"Kamu dipanggil Pak Seno, tuh!"
Aretha terperanjat dari lamunan. Rika mendekatinya dengan tampang merengut masam. Sejak pertama kali bertemu, ekspresi perempuan itu tak pernah berubah. Sorot matanya menyiratkan permusuhan dan seolah-olah mengatakan 'hey, I'm watching' kepada Aretha.
"Baik, Mbak." Aretha sedikit membungkuk tanda kepatuhan.
"Jangan lama-lama."
"Baik."
Aretha bergerak pergi, sedangkan rekannya yang lain, Ratmi dan Nita, pura-pura sibuk membersihkan meja.
***
"Bapak memanggil saya?" Aretha melongokkan kepala setelah dari dalam sana sang manajer menyuruhnya masuk.
"Ya, tutup pintunya."
Aretha menutup pintu di belakangnya dan mendekat ke meja lelaki itu. Seluruh tirai yang membatasi dengan bagian luar kantor dalam posisi menutup. Kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya. Isi pesan di aplikasi w******p tempo hari membuatnya waspada. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Laki-laki itu menyeringai. "Jadi, bagaimana tawaran saya kemarin? Kamu pasang harga berapa?"
"Maaf, Pak. Saya nggak open BO," kata Aretha sambil menunduk. Seringaian di wajah lelaki itu mengingatkannya kepada Darka, dan ia tidak menyukainya.
"Saya bisa bayar mahal, lho. Kamu butuh uang, kan?"
"Saya memang butuh uang, tapi tidak dengan cara open BO."
"Ck! Jual mahal sekali!" Laki-laki itu mendengus. Ia butuh cara lain untuk menjalankan akal bulusnya. "Begini saja, kamu bisa mengetik?"
"Bisa, Pak."
Seno bangkit dari tempat duduknya. "Duduk di sini. Saya mau kamu membantu saya mengetik surat ini."
Aretha melangkah ragu-ragu. Ia duduk di kursi kerja laki-laki itu sambil memasang sikap awas yang tidak kentara.
Seno memberikan sehelai kertas konsep surat kepada Aretha. "Saya keluar sebentar."
"Baik, Pak."
Tidak sampai lima menit, surat tersebut sudah selesai Aretha kerjakan. Pekerjaan gampang. Jemarinya sudah terlatih lincah mengetik aneka bahasa pemograman.
Ia beranjak dari kursi bertepatan dengan Seno menutup pintu di belakangnya. Laki-laki itu membawa sebotol air mineral.
"Sudah selesai, Pak. Saya permisi."
"Tunggu!" kata laki-laki itu sebelum Aretha meraih gagang pintu. "Kamu nggak minum dulu?"
"Nggak usah, Pak. Makasih." Ia kembali membalikkan badan.
Tiba-tiba saja, tengkuknya meremang. Seno memeluk leher dan perutnya dari belakang.
Aretha terkesiap. Ia reflek menarik tangan kiri Seno yang memagut lehernya. Karena terkejut, pelukan Seno di perutnya melemah.
Tanpa buang waktu, Aretha memegang kepalan tangan kanannya dengan kirinya. Dalam waktu kurang dari satu detik, ujung sikunya menghantam tulang iga laki-laki itu.
Laki-laki itu mengerang lirih. Pelukannya terlepas. Aretha buru-buru pergi tanpa satu kali pun menoleh ke belakang.
***
"Kamu iku, lho, cantik, napa mau jadi tukang bersih-bersih? Heran aku."
"Siapa bilang aku cantik, Mbak? Mirip keset kaki begini," Aretha terkekeh. Cantik? Yang benar saja!
"Weleh, keset kaki! Meskipun jidatmu itu ada jerawatnya, kamu itu tetap cantik. Aura kamu itu, lho, beda. Kalau orang bilang, aura bangsawan. Apalagi kalau senyum, wih, tak jamin cowok bucin abis sama kamu," sambung Ratmi bersemangat.
"Apa itu bucin?" Aretha mengerutkan dahinya.
"b***k cinta, Ri, alias cinta berat," sambar Nita gemas. "Masa itu aja nggak tahu?"
Ari nyengir lebar. Banyak kosakata baru yang didengarnya di Jakarta dan itu membuatnya terheran-heran. Atau mungkin, dirinya saja yang kurang bergaul. "Memangnya kalau cantik nggak boleh kerja di sini, Mbak?"
"Yo, boleh. Tapi biasanya yang cantik-cantik itu gampang keterima kerjaan yang lebih bermartabat."
"Ah, nggak juga, Mbak. Kerja seperti ini juga nggak masalah, yang penting halal." Aretha meringis. Mencari pekerjaan sesuai keinginan dan latar belakang pendidikannya tak semudah angan-angannya.
"Ish! Udah, nikah aja kamu sana. Cari suami kaya."
"Memangnya kalau menikah, semua masalah hidup terselesaikan?"
"Lha, iyo."
"Ajaran sesat, tuh. Jangan didengerin. Iya kalau suamimu baik, kamu bahagia. Kalau suamimu kayak setan, tiap hari seperti di neraka," sambar Nita gemas.
Aretha hanya geleng-geleng kepala melihat dua rekan kerjanya itu bersiteru di hadapannya.
Suasana di tempat kerjanya tak lebih baik. Ketika jam kerja usai, ingin ia cepat-cepat pulang dan kembali ke tempat ternyamannya, menyibukkan diri di kamar. Mungkin Ratmi benar, ia lebih cocok menjadi kaum rebahan seperti yang ia baca sepintas lalu di portal berita online daripada bekerja sebagai bawahan.
Entahlah. Apakah sebaiknya ia mencari suami saja? Mungkinkah Attar mau menjadi suaminya?
Kau gila! Memangnya dia mau? Dasar keset kaki!
Tiba-tiba ...
"Itu dia orangnya, Pak!" Pintu terbuka. Rika mengacungkan jari telunjuknya lurus ke arah Aretha. "Itu yang namanya Aretha."
"A–ada apa, Mbak?" Tergagap Aretha bertanya. Ekspresinya bingung sekaligus ciut tanpa tahu apa kesalahannya begitu melihat tiga orang laki-laki berseragam cokelat di belakang Rika. Ratmi dan Nita ikut memasang tampang bingung.
"Nona Aretha, silakan ikut kami ke kantor polisi."