Aretha menghampiri Athalia selepas makan malam. Ia menggamit lengan Thalia memintanya bicara empat mata. Mengucapkan terima kasih atas bantuan Thalia tempo hari hanya lewat telepon dinilainya kurang etis.
"Umm ... Mbak, aku mau ngucapin makasih banyak atas bantuan Mbak dan Mas. Kalau nggak ada kalian, mungkin aku sudah masuk penjara," katanya tidak enak hati, lalu menunduk menatap lantai. "Tapi maaf, aku belum dapat pekerjaan lagi. Jadi ... aku ... aku belum punya uang untuk mengganti biaya pengobatan Seno, juga biaya jasa Pak Andre."
Thalia ternganga. "Astaga, Ri, kok gitu amat sih? Nggak ada yang minta balikin duitnya sama kamu loh."
"Tapi, Mbak—"
"Sini dengerin aku ya. Mas Costa itu duitnya banyak. Jadi diporotin dikit nggak apa-apalah. Lagian apa-apaan sih hitung-hitungan begitu? Kita ini keluarga. Chill."
Thalia mengakui, dulunya ia sangat perhitungan terhadap uang. Setiap pos pengeluarannya tertata dengan baik. Namun semenjak menikah, status rakyat jelata itu pun berganti. Sumber penghasilannya kini ada tiga, jatah bulanan dari suaminya, profit share dari ayahnya, serta keuntungan bisnis kerajinan kayunya. Setelah mendapatkan gelar doktor nanti, pekerjaan sebagai dosen telah menanti. Empat sumur uang otomatis ia miliki.
Saat memikirkan itu, mendadak ia merasa, ternyata dirinya masih materialistis!
Cara Thalia membicarakan uang dengan ekspresi tanpa beban membuat Aretha meringis. Ia tidak terbiasa memegang banyak uang. Berapa pun jatah yang diberikan oleh ibunya, hanya itulah yang masuk ke dalam tabungannya, sedangkan uang pemberian ayah tirinya tidak pernah ia sentuh sama sekali. Ia memberikannya pada Danisha, tentu saja itu rahasia kecil mereka berdua.
"Santai saja, nggak masalah, kok," pungkas Thalia seraya memeluk bahunya.
"Terima kasih, Mbak."
"Sama-sama. Yuk," ajak Thalia kembali ke ruang tengah. Di sana suaminya tengah bicara santai dengan Yanuar dan juga Attar. Kedua anaknya telah dibawa pergi oleh mertuanya. "Oh, ya, Attar bilang kamu lagi nyari kerja?"
"Iya, Mbak."
"Kebetulan nih, ada Mas Yanuar. Beliau ini udah malang melintang bekerja di bagian HRD beberapa perusahaan asing. Barangkali kamu bisa tanya-tanya tips nyari kerja sama beliau. Boleh kan, Mas Yan?"
Yanuar tersenyum ramah pada Aretha. "Boleh banget. Fresh graduate, ya? Lulusan kapan?"
"Baru beberapa bulan, Mas," jawab Aretha.
"Aku tinggal dulu ya, Ri, mau ngecek anak-anak," kata Thalia sebelum pergi.
"Baik, Mbak. Terima kasih."
"Ada kendala selama nyari kerja? Mungkin saya bisa bantu," kata Yan menawarkan. Tergambar jelas aura hangat dan ramah dari senyumannya. "Sebagai HR, sebenarnya merekrut fresh graduate itu enak loh."
Yanuar menjelaskan ia lebih menyukai fresh grad karena faktor pembentukan karakter. Meskipun membutuhkan effort berlebih, tetapi hasilnya sangat memuaskan. Apalagi kalau para kandidat berada di bawah pemimpin yang tepat, mereka cepat sekali berkembang. Selain itu, mereka merupakan fast learner, cepat belajar mengenai hal baru. Fresh grad juga memiliki motivasi kerja yang tinggi, memiliki loyalitas yang baik terhadap perusahaan, serta enggan resign kecuali skill mereka sudah cukup.
"Umm ... aku nggak pernah dipanggil interview, Mas," kata Aretha dengan suara nyaris tak terdengar. Perutnya melilit, tak percaya diri berada di hadapan orang-orang hebat. Ia merasa seolah-olah hendak dikuliti hidup-hidup.
"Gimana mau dipanggil interview, CV aja isinya zonk," celetuk Attar pelan tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
Tuh, kan? Ingin rasanya Aretha menenggelamkan diri ke dasar lautan.
"Zonk gimana?" balas Yanuar dengan kening berkerut. "Boleh lihat CV-mu?"
Aretha terpaksa mengulurkan ponselnya, memperlihatkan CV tempo hari kepada Yanuar, sang HR yang akan membantainya habis-habisan.
"Mantan mahasiswa madesu, Mas," sambar Attar lagi. "Habis wisuda bengong karena nggak punya apa-apa. Nggak pernah ikut organisasi, nggak magang, sertifikat kompetensi nggak ada, pengalaman kerja part time nggak ada, student exchange juga nggak ada."
"Hush! Kamu itu kenapa, sih?" tegur Costa seraya mendelikkan mata. Ia mengakui sering perang mulut dengan Attar, bukan dalam artian buruk, karena seperti itulah cara mereka mengakrabkan diri layaknya saudara. Namun melihat sikap Attar pada Aretha, ia heran sendiri karena biasanya Attar sopan dan beretika.
Attar membalas dengan cengiran. "Mas lihat saja sendiri."
Costa mengambil ponsel di tangan Yanuar dan melihat CV punya Aretha. Attar benar, gadis itu tak punya apa pun di CV-nya selain profile yang tidak seberapa.
Yanuar menggaruk alisnya. "Saya bingung juga, nih. Kalau isi CV-mu hanya profil dan sedikit opini tentang dirimu sendiri, alasan apa yang membuat kami sebagai recruiter memanggilmu untuk interview? Oh, satu lagi, opini sebaiknya nggak dimasukin ke dalam CV, Retha, karena belum terbukti apakah kamu memang fast learner ataupun pekerja keras."
Aretha hanya diam, menunduk dalam-dalam, tahu kesalahan besarnya membuang waktu selama empat tahun hanya demi selembar ijazah dengan nilai pas-pasan.
"Saya juga nggak berasal dari top three reputable university, Mas," kilahnya beralasan dengan harapan Yanuar memberikan pemakluman. Sudah menjadi rahasia umum, lulusan universitas ternama biasanya lebih mudah mendapatkan pekerjaan.
"Kamu ingin tahu bagaimana posisi lulusan reputable university di mata HR? Kalau saya bilang sih, biasa aja. Saya nggak tahu bagaimana sistem perekrutan kandidat di local company karena sejak lulus kuliah saya kerja selalu di perusahaan multinasional. Kami nggak melihat seberapa baiknya reputasi kampusmu, atau seberapa tinggi IPK-mu. Yang kami lihat adalah skill, kompetensi dan value yang kamu jual. Mungkin berbeda, ya, dengan BUMN yang melihat reputasi universitas dan IPK. Di perusahaanmu gimana, Ta?"
Costa mengangkat bahu. "Perusahaan swasta sama aja sih, Mas. Apa gunanya lulusan universitas ternama tapi nggak punya skill?"
"Kamu dari jurusan apa tadi?"
"Teknologi Informasi, Mas."
"IT ya?" Yanuar mengangguk-angguk. "Kenapa dulu ngambil IT?"
"Bisa dibilang salah jurusan sih, Mas."
Yanuar terkekeh. "Udah nggak ada gunanya lagi kamu bilang salah jurusan. Telat. Mendingan kamu fokus dengan apa yang kamu punya sekarang.
"Kalau saya bilang sih, lulusan IT itu udah over supply. Begitu dunia digital menggeliat, orang berbondong-bondong masuk jurusan informatika. Sementara kamu tahu hukum pasar adalah supply and demand. Nah, yang jadi pertanyaan sekarang, sebagai orang yang punya latar belakang dari jurusan over supply tersebut, skill apa yang bisa kamu jual. Lulusan IT memang terdengar wow, tetapi terms and conditions apply. Bukan berarti nggak ada peluang, ya, peluang itu banyak malahan. Teman saya, HRD di sebuah perusahaan teknologi digital bilang, nggak sedikit lulusan IT yang skill-nya serba nanggung, tidak meets requirements yang dibutuhkan perusahaan."
"Maksud Mas gimana?" Aretha bertanya lagi.
"Maksudnya gini. Banyak mahasiswa yang ketika kuliah hanya belajar untuk memenuhi standar nilai, tidak mau menggali skill lebih dalam. Mereka menguasai pemrograman, tapi sekadarnya saja. Dibilang bisa networking, juga bisa seadanya. Selama kuliah, waktunya dihabisin buat nongkrong, pacaran, dugem, galau nggak jelas, dan kegiatan lain yang sama sekali tidak menambah added value mereka. Saya juga nggak tahu apa penyebabnya, mungkin miskonsepsi bahwa 'katanya' ilmu perkuliahan nggak akan terpakai di dunia kerja, atau mungkin juga banyak yang salah jurusan seperti Aretha. Ada juga yang sok-sokan mengglorifikasi sosok mahasiswa drop out yang sukses seperti Mark Zuckerberg atau Bill Gates."
"Mahasiswa kayak gitu biasanya cuma nyari excuse, Mas," sambar Costa seraya terkekeh kecil. "Padahal Mark dan Bill DO–nya dari Harvard, privileges-nya aja sudah jauh berbeda. Bukan sembarang orang yang bisa masuk ke Harvard."
Costa pun sempat mendaftar ke Harvard ketika hendak menempuh pendidikan masternya, tetapi tidak lolos dan pasrah hanya diterima di UC Berkeley.
"Aku bilang juga apa," kata Attar menyeletuk.
Aretha lagi-lagi menunduk. Attar dan Yanuar sama-sama menguliti kekurangannya, tetapi Attar melakukannya secara blak-blakan tanpa perasaan, dan Yan melakukannya dengan sebaliknya. Mimik wajah Yanuar sama sekali tidak sengak, melainkan ramah dan menyenangkan.
"Jadi, saran Mas Yan bagaimana? Aku udah jelas nggak punya apa-apa," kata Aretha putus asa. Jelas sekali kini ia tidak punya apa pun untuk dibanggakan. Penyesalan menghantamnya habis-habisan.
Selama ini kamu ngapain aja sih, Ri?
"Salah satu saran saya, selagi kamu terus berjuang mencari pekerjaan, kamu ajukan juga post graduate internship ke beberapa perusahaan. Yang kedua, kamu ambil technical course dan sertifikat kompetensi."
"Begitu ya, Mas," Aretha mangut-mangut seraya menghitung uang yang ia miliki demi membayar selembar sertifikat untuk menunjang kompetensinya.
"Sertifikasi di bidang IT ada banyak, tentunya kamu yang lebih paham. Kalau kamu jurusan perpajakan, ada yang namanya sertifikat Tax Brevet. Bila kamu ingin kerja di perusahaan asing, salah satu sertifikat kompetensi yang menunjang adalah sertifikat kemampuan bahasa Inggris, bisa TOEIC, TOEFL atau IELTS. Di waktu luang kamu juga bisa belajar English for Bussiness Communication sebagai nilai tambah. Nggak semua orang lho, bisa bicara atau menulis bahasa Inggris resmi dengan baik. Pokoknya, kejar apa saja yang kamu bisa sebagai nilai tambahmu selain mempertajam skill kamu di bidang IT."
"Apa perusahaan Mas Yan menerima karyawan jalur orang dalam?" kata Attar ikut bergabung dalam pembicaraan. "Soalnya, katanya the power of orang dalam itu ngaruh banget, Mas."
Yanuar tertawa kecil. "Konsep perekrutan di multinational company tetap sama, tidak ada istilah orang dalam. Tim HR menilai secara adil. Mereka punya SOP dalam meng-interview para kandidat sampai menemukan apa yang mereka cari."
Yan menjelaskan, sistem perekrutan di perusahaannya menggunakan standar internasional behavioral interviewing. Perekrutan dengan cara ini memakai metode STAR yaitu situation, task, action, result dalam pelaksanaannya. Mereka menggali potensi kandidatnya dengan cara memberikan atau menanyakan contoh-contoh situasi, lalu menanyakan bagaimana cara kandidat memecahkan masalah tersebut.
"Kalau chance lolos buat yang enggak good looking, gimana, Mas?" celetuk Attar lagi. Banyak rumor beredar, dalam perekrutan tenaga kerja, ada istilah keadilan sosial bagi seluruh rakyat good looking. Mereka yang tidak berpenampilan sesuai standar yang dicari perusahaan, biasanya tersingkir lebih awal.
"Dari lima perusahaan asing yang sudah saya masuki, tidak satu pun yang meminta pas foto sebagai syarat kualifikasi ketika mengumumkan lowongan pekerjaan. Kamu tahu kenapa? Karena foto dapat membuat tim HR menjadi bias. Kami mencari skill set, bukan tampang yang rupawan. Nggak perlu good looking, yang penting good grooming. Berpenampilan rapi, bersih, dan wangi. Kecuali untuk posisi customer service dan front office, kami mensyaratkan penampilan yang menarik dalam daftar kualifikasi.
"Bahkan di perusahaan saya yang sekarang ada beberapa orang penyandang d*********s. Mereka yang berkekurangan dari segi fisik saja mau bekerja keras, masa kita yang lengkap begini ngeluh dan nyari excuse melulu?"
Aretha meringis malu. "Ada tips menghadapi interview nggak, Mas?"
"Ada dong. Pertama, self reflection. Fokus dengan kelebihan dan kekurangan kamu. Dua, role play. Sebelum interview, bikin kira-kira daftar pertanyaan yang mungkin diajukan recruiter, lalu ajak temanmu mengajukan pertanyaan tersebut kepadamu seperti interview sungguhan. Tiga, percaya diri. Empat, punya attitude yang baik, ramah dan nggak pelit senyum. Lima, jangan idealis.
"Fresh grad jangan sampai idealis minta gaji sekian hanya karena lulusan PTN ternama atau punya IPK tinggi, padahal kalian belum punya value, belum punya pengalaman. Kemampuan kalian belum terukur. Itu bunuh diri namanya. Mau lulus dari reputable university dan IPK sempurna pun, kalau nggak punya skill, kompetensi dan value, ya kami tolak. IPK itu cuma nilai on paper. Makanya kamu upgrade skill kamu sembari nyari kerja dengan ikut kursus teknis, webinar dan lain-lain. Jangan ngeluh, jangan pelihara pikiran negatif, nggak ada gunanya. Ingat, law of attraction itu penting sekali."
Aretha berkeringat dingin. Ia tidak tahu dan tidak bisa mengukur sampai di mana kemampuannya. Perkataan Yanuar memukulnya dengan telak.
"Kalian para fresh graduate, jangan santai-santai di rumah, segera buka laptop, tulis resume dan buat portofolio kalian. Buat daftar kelebihan dan kekurangan diri. Mulai buat career path untuk beberapa tahun ke depan. Kerja di mana, di bidang apa, lokasinya di mana, perusahaan apa. Jangan cuma bengong, main games, santai, kongkow di café, kelayapan, pacaran. Fokus buat cari kerja dan dapat duit. Itu aja dulu."
"Career path itu apa, Mas?"
"Career path itu semacam goal demi goal yang kamu tentukan dalam perjalanan karirmu. Misalnya di umur sekian kamu sampai di posisi A, umur sekian posisi B dan sebagainya.
"Contohnya saya, sejak masuk kerja saya selalu menempati bagian human resources, mulai dari management trainee sampai sekarang udah di head of human resources karena sedari kuliah target saya memang di sana."
"Jadi, sejak kuliah Mas Yan sudah tahu mau kerja di mana?"
"Yes, sebelum wisuda saya sudah tahu mau kerja di bagian apa dan perusahaan apa. Bukannya apa-apa, saya selalu menargetkan perusahaan asing, karena kepingin bekerja dalam iklim yang berbeda."
Ia menambahkan, salah satu kelemahan institusi pendidikan di Indonesia adalah tidak mengajarkan anak didiknya tentang literasi karier. Hal itu menyebabkan banyak lulusan sarjana yang kebingungan memikirkan jenis pekerjaan apa yang harus mereka ambil dan skill apa yang lebih dibutuhkan. Lembaga pendidikan lebih banyak mengedepankan IQ tanpa dibarengi dengan EQ, sedangkan dalam dunia kerja, IQ dan EQ harus seimbang.
"Rata-rata orang di level head management, EQ mereka pasti bagus," pungkas Yanuar kemudian.
Beberapa menit kemudian, Yanuar menjelaskan kompetensi serta skill yang harus dimiliki seseorang sebelum terjun ke dunia kerja, contohnya kemampuan problem solving, kreatifitas, kedisiplinan, kemampuan berkomunikasi dengan baik, kemampuan bekerja dengan tim, analitical thinking, dan lain sebagainya.
"Nah, di saat kamu kuliah, kamu mengasah skill di atas dengan cara berorganisasi atau magang atau juga kerja part time. Kamu melatih kedisiplinan, memecahkan masalah, manajemen konflik, tanggung jawab, problem solving serta kemampuan bekerja sama dengan tim."
"Dulu aku mikir organisasi itu cuma buang-buang waktu, Mas."
"Berorganisasi nggak harus di kampus, kok. Saya dulu juga nggak pernah masuk organisasi kampus, tetapi saya ikut volunteer di salah satu NGO. Di sanalah saya banyak belajar terjun langsung ke lapangan. Ikut banyak organisasi pun kalau nggak memberikan nilai tambah terhadap value kamu juga nggak ada gunanya. Pendidikan tinggi adalah kesempatan, tetapi skill adalah kemauan dan kemampuan."
"Aku pusing, Mas," Aretha memijat keningnya. Apa yang disampaikan Yanuar kurang lebih sama dengan apa yang disampaikan Attar beberapa malam yang lalu, hanya saja dalam versi yang lebih detail. Ternyata tantangan untuk memasuki dunia kerja sedemikian berat, sedangkan ia harus menghadapinya tanpa persiapan. Lirikan matanya menyasar Attaruna dan laki-laki itu balas menatapnya dengan raut prihatin.
Ah, menyebalkan!
"Begini aja, Retha. Coba kamu ikuti saran saya tadi, ambil magang post graduate dan technical course. Nanti, kalau misalkan perusahaan saya membuka lowongan management trainee untuk lulusan IT, saya kasih kabar melalui Costa. Tapi jangan kaget, management trainee itu tahapan tesnya banyak."
"Baik, Mas. Terima kasih banyak."
"Semangat ya, Retha, jangan mikirin pacaran atau nikah dulu, deh. Kebut dulu buat upgrade diri kamu sekarang. Kalau kamu smart, independent, banyak duit, kariermu bagus, jangankan Attaruna, hantu pun bakalan naksir sama kamu. Percaya deh, sama saya," kata Yan sambil tertawa lebar.
Attar menyimak dengan kening berkerut. Apakah kastanya lebih rendah dibandingkan hantu?
Tidak lama kemudian, Yanuar pun pamit. Aretha mengucapkan banyak terima kasih sekali lagi. Berkat laki-laki itu, pikirannya mulai terbuka. Management trainee cukup menarik minatnya, tetapi ia ragu apakah IPK-nya bisa masuk kualifikasi awal. Selain itu, ia juga tidak berasal dari daftar universitas terbaik di Indonesia.
"Kalau kamu mau, kamu bisa kerja di kantor saya," Costa menawarkan, tak lama setelah mengantarkan Yanuar keluar.
"The power of orang dalam ya, Mas," sindir Attar kemudian.
"Nggak apa-apa, hitung-hitung Ari belajar dulu dunia kerja itu seperti apa."
Attar nyengir lebar. "Boleh aja sih. Tapi hati-hati ya, Re, di rumah Mas Costa memang ramah, tapi di kantor dia sadis."
"Apa, sih?" Costa mendelik. Ia memang terkenal tegas terhadap bawahannya.
"Mendingan saya membangun skill dulu, Mas," Aretha menolak dengan halus. Tawaran itu cukup menggiurkan, tetapi ia sendiri tidak tahu level kompetensinya. Jangan-jangan nanti ia hanya jadi beban dan makan gaji buta.