2

1282 Words
Jana sadar bahwa dirinya bukan Bunda yang wajahnya dikenal oleh hampir semua orang. Alasan kenapa dia menutupi wajahnya begitu topinya dirampas oleh pria yang ia yakin seratus persen adalah cucunya adalah karena Abang sepupunya adalah seorang pilot. Bukan sekedar pilot saja, tapi pilot yang matanya tajam sekali. Lengah sedikit, dan jika dirinya ditakdirkan sial hari ini, Jana akan kembali ke Padang sebelum hari berganti. Dan dia tidak kabur untuk kembali lagi hanya dalam dua puluh empat jam. Hanya saja bunyi tamparan barusan begitu keras sampai dia melupakan wajahnya yang tidak boleh sampai ketahuan oleh pilot bernama Ammar. Wajah pria itu eh- maksud Jana wajah cucunya merah sebelah. Jana tidak bisa membayangkan sesakit apa rasanya karena belum pernah ditampar seumur hidup. “Kak! Cucu kita ditampar!” ucap Jana heboh sambil menyentuh lengan atas wanita yang sudah pasti Kakaknya. “Bilal,” tegur seorang Nenek yang melihat bagaimana cucu kesayangannya di tampar. “Ga sopan anak ini, Ma. Main serobot topi Neneknya saja. Kayak ga pernah diajar sopan santun!” ucap Bilal. Pria itu merasa perlu untuk mengatakan kata Nenek, sekalian menunjukkan bahwa ini lah Neneknya yang dia telantarkan dari berjam-jam yang lalu. Menarik topinya kembali, Jana ragu-ragu berujar, “A-aku, aku ga kenapa-napa, Om. Aku cuma.. kaget.” Begitu ucapnya sambil menatap langsung pada pria yang menampar cucu pertamanya ini. Benar bukan? Dia yang entah siapa namanya ini adalah cucu pertama Jana yang tidak lahir dari anak kandungnya. Alangkah enaknya jadi orang Minang. Tidak perlu melar dulu perutmu baru bisa punya cucu. “Sudah-sudah. Kita mulai jadi pusat perhatian. Ayo pulang,” ucap Nenek-nenek yang tidak terlalu Jana pedulikan keberadaannya dari tadi. Nenek-nenek? ulangnya membatin kemudian otaknya memutar percakapan di telfon tadi. “Tante bukan Kakak? Ne- maksudku.. Kakak?” tanya nya yang tampak sangat syok. Tampak lebih tidak terima punya Kakak yang sudah keriput dan layu seperti wanita di depannya ini daripada punya cucu yang muda dan tampak sebaya dengannya. Nenek tersebut tertawa geli kemudian menghela Jana menjauh. Tiga orang lainnya mengikuti mereka tapi tetap dengan menjaga jarak. Bilal, nama pria yang menampar anaknya sendiri tadi lah yang membuat dua orang lainnya berjalan pelan. Untuk memberikan para orang tua privasi. Anak gadis yang dipeluk erat seolah Mama sudah lama tidak bertemu dengannya itu, walau bagaimanapun adalah “Etek*” jalannya bagi Bilal. *Etek = Bibi atau Tante. >>> Perjalanan pulang terasa sangat canggung sekali bagi Jana karena dia dan Kakaknya yang keriput berada dalam suasana ceria sedangkan tiga orang lainnya justru seperti sedang menghadiri pemakaman. Hening sekali. Yang membuat Kak Siti tertawa bahagia adalah karena beliau menceritakan pengalaman masa kecilnya di Ranah Minang. “Kenapa Kakak ga pernah pulang?” “Menantuku,” ucap Siti sambil menunjuk wanita yang duduk di samping kemudi kemudian menceritakan bagaimana menantu kesayangannya menjadi begitu cengeng tiap kali Siti berkata ingin pulang ke kampung. “Bisa mogok makan padahal udah bukan anak-anak lagi.” “Siapa yang tega biarin Mama pulang ke kampung sendiri, mana ga ada yang jagain,” bela menantu Kak Siti yang sepertinya juga akan Jana panggil menantunya mulai dari sekarang. “Nama menantu kita siapa?” bisik Jana pada Kakaknya. “Rizka, Tek. Nama saya Bilal dan nama anak yang ga becus jemput Etek hari ini..” Bilal sengaja menjeda kalimatnya demi melirik tajam pada putranya yang duduk di samping Tek Jana melalui spion depan mobil. “Nama gue Khaleef Akarsana Syahzad, tapi orang yang tadi lo liat nampar anaknya sendiri, justru ngasih gue nama kecil yang kekanakan.” Kalo gue beneran Raja, udah ga tau gimana nasib anak kesayangan Nenek sekarang, ucap Raja membatin. “Kamu lupa kalo kamu bicara sama Nenekmu?!” “Iya, Lupa. Ga kaya Nenek-Nenek soalnya.” “Aku, ‘kan, memang ga kelihatan kaya Neneknya,” bisik Jana yang bisa didengar dengan baik oleh Raja dan juga Neneknya Raja. >>> Sampai di rumah yang tidak bisa dikatakan sederhana itu, Jana melihat bagaimana cucu barunya keluar kemudian menghempaskan pintu mobil dengan sengaja. “Raja!” pekik Om Bilal menggelegar, membuat Jana ketakutan padahal yang sedang mendapat masalah adalah pria yang namanya cukup bagus tadi. “Apa Papa harus panggil nama kamu dua kali?” Dengan ajaib, Jana melihat bagaimana pria yang jeals-jelas sedang sangat marah itu berbalik kemudian kembali mendekat pada mereka berempat yang masih di dalam mobil. “Bawa barang-barang Nenekmu, antarkan dia ke kamarnya biar bisa istirahat dan minta maaf! Papa tau kamu malu kalau harus dipaksa minta maaf di depan kita semua.” Jana melihat Raja memejamkan kedua matanya kemudian mendengus kesal. Apakah Om Bilal tidak senang Jana menumpang di rumahnya? Sampai membuat anaknya sendiri memusuhi Jana di hari pertama mereka bertemu? Jana otomatis meringkuk ke arah Kak Siti saat Raja membuka pintu mobil dan memasukkan kepalanya. “Mau digendong, Nek?” tanya Raja sambil menarik ransel Jana. “Eh- engga! Enggaa... Nenek kuat begini kok,” ucap Jana yang dalam hati mengumpat. Tidak rela sekali menyebut dirinya Nenek. Jana mengikuti Raja keluar. Tapi baru anaknya Fateh itu keluar dari mobil, Raja sudah berada di depan pintu rumah. Tidak heran juga sih, Raja punya sepasang kaki panjang yang mungkin turun dari Jana. Kamu salah kalau kamu berpikir Jana adalah gadis pendek yang butuh laki-laki tinggi untuk membantunya menjangkau benda yang dia inginkan. “Aku harus langsung istirahat?” tanya Jana pada Om Bilal. Tidak butuh waktu lama untuk mengetahui siapa penguasa rumah ini, bukan? “Iya. Etek pasti capek.” Jana mengangguk lemah dan membenarkan bahwa dirinya lelah. Tapi bukan karena perjalanan Padang-Jakarta melainkan karena dirinya sendiri yang membawa dirinya masuk ke rumah Om Bilal. Sepeninggal anak-anak, Bilal menoleh pada sang Mama. Saat ini, selain memberikan tempat untuk Bibinya, Bilal juga menyediakan tempat sembunyi untuk seorang anak gadis yang kabur dari rumah. Dengan keluarga mereka yang tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. “Anak ini, ga kelihatan hamil, ‘kan, Ma?” “Sembarangan kamu!” “Terus apa yang bikin Putri Sumatera jilid dua ini kabur dari istananya?” “Jana janji cerita tapi kamu, sebagai anak yang berbakti langsung nyuruh dia istirahat. Kamu tahanlah rasa penasaranmu itu sampai makan malam nanti,” kekeh Siti pada putranya kemudian meninggalkan anak dan menantunya itu. Tentu saja setelah memperingatkan putranya untuk tidak terlalu keras pada Raja. “Kamu yang main tangan begini jangan menyesal kalau nanti dia juga memukul menantu dan cucumu,” begitu ucapnya. >>> “Raja!” panggil Jana karena setelah membukakan pintu kamar yang diperuntukkan padanya, pria itu langsung keluar begitu saja. “Ada perlu lagi, Nek?” tanya pria itu dengan mata yang tidak ada ramah-ramahnya sama sekali. “Syahzad artinya anak Raja. Anak raja pada akhirnya bakal jadi Raja jadi ga ada salahnya kalo Om Bilal manggil kamu Ra-” Semakin tiap kata barusan terucap semakin Jana merasa Raja benci namanya sendiri. “Maksudku. Aku sebagai Nenekmu.. bisa kok bantu jodohin kamu sama salah satu putri kerajaan Brunei kalo ada yang kamu suka. Biar nama kamu ga sekedar nama.” “Satu selalu komplen sama kelakuan gue dan sibuk memperbaiki yang dia pikir harus diperbaiki, datang lagi satu yang baru ketemu udah mau jodohin gue. Lo tau banget kalo lo punya hak untuk ngatur idup gue, sama kaya seseorang. Ga heran kalo lo memang Nenek gue.” Jana meneguk ludahnya kasar. “Aku kesini ga cari musuh. Aku-” “Sayang sekali lo udah punya satu karena bikin gue digampar bokap gue sendiri.” “Aku yang salah? Aku yang gampar kamu? Salah siapa yang-” kalimatnya tidak pernah sampai karena pintu kamar barunya dihempaskan tepat di depan muka Jana. Untung hidung mancungnya tidak apa-apa. “Sialan!” “Sialan!” ucap keduanya. Namun kata tersebut tidak ditujukan untuk satu sama lain melainkan pada situasi yang selanjutnya akan mereka hadapi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD