Nyesel

1609 Words
Kamar Gendis    Gendis menutup pintu kamarnya, meletakkan tasnya pada tempat yang seharusnya. Bukannya langsung berganti pakaian, Gendis duduk di tepi ranjang. Air mata yang dari tadi dia tahan, akhirnya tumpah juga. Rasanya sakit banget, tiap dia mendengar kata-kata pedas Dewa, dia hanya tiadak ingin Dewa membencinya. Padahal dulu Dewa begitu menyayanginya, selalu melindungi dia. Tapi semenjak usia mereka menginjak remaja,   Dewa terang-terangan menunjukkan sikap tidak sukanya.    Kriett …    Seseorang membuka pintu kamar Gendis, buru-buru Gendis mengelap air matanya.  Mendongak keatas, pura-pura membersihkan kotoran di matanya.    “Nggak usah pura-pura, perlu gue rekam, terus gue kirim ke geng rempong lo!” ucap  Dewa ketus. Bener-bener ‘kan. Coba? sakit hati nggak, denger mulut pedesnya si Dewa Kodok. Itu kata Leon lho!    Gendis menatap kesal Dewa. Bener-bener nggak punya perasaan. “Ngapain gue nangis, nggak ada gunanya, kalau mo nangis dari dulu, nangisin nasib gue yang udah ngenes dari dulu.” Dewa maju, duduk di samping Gendis. Merebahkan tubuh nya diatas kasur empuk yang Gendis duduki.    “Lo kenapa tadi nggak bilang kalau Pak Kirman, pulang kampung.” Dewa menoleh kearah Gendis. Yang akhir-akhir ini bikin hati dia bergetar. Tapi namanya juga Dewa, gengsi lah buat ngakuin hatinya.     “Paling kalau aku bilang, lo juga nyuruh gue buat naik angkot.” Gendis masih duduk di  samping Dewa terbaring.     “Iya juga, sih!” Nih anak jujur banget, sipa yang nggak jengkel deket anak model gini.   Ganteng iya, tapi ngeselinnya juga juara.    “Tuh ‘kan! masa aku harus ngutang naik angkot.” Dewa membalikkan badannya, menopang kepalanya dengan satu tangan, menatap Gendis yang masih duduk di sampingnya.     “Besok lo berangkat bareng gue, pulang juga bareng gue, awas aja kalau ganjen sama   Leon. Dia itu naksir lo!” ucap Dewa sewot.     Gendis membalikkan badannya, tersenyum menatap Dewa yang menghadap kearahnya. “Beneran? Leon naksir gue? ihhh … padahal Leon ganteng banget!” Gendis menangkup wajahnya dengan ke dua tangannya. Dewa jangan di tanya, dia geram banget denger kata-kata Gendis barusan.   Tuk!    Dewa mengetuk kepala Gendis. Dan Sumpah, rasanya lumayan sakit. Gendis mengusap kepalanya yang terasa sakit. Menatap sebal muka Dewa, yang emang tampannya masyaallah.    “Sakit, Wa … lo kenapa kejem banget sama gue, mentang-mentang gue ini anak ya—“ Bfhhffhh …     Gendis menabok-nabok tangan Dewa yang udah membekap mulutnya dengan tangan kekarnya.    Dewa nyengir, melepas tangannya yang ia guankan untuk membekap mulut Gendis.           “Makanya kalau ngomong di jaga, jangan ngomong yang aneh-aneh lagi, lo itu anak gadis kesayangan Mama sama Papa, dan adik nyebelin kesayangan Nando.” Gendis tersenyum.     “Emang aku bukan adik kesayangan lo juga?” Gendis berusaha menggoda Dewa,    “Bukan! lo bukan sodara gue, paham!” Gendis manyun, jahat banget si Dewa, emang pantas di sebut Dewa Kodok.    “Awas, minggir! gue mo ganti baju, lo pergi aja sana!” usir Gendis. Dewa menyunggingkan senyumnya.    “Emang lo pikir, gue pikun?! ganti baju tinggal masuk ke kamar ganti, ribet! udah sana ganti, gue tunggu di sini.” Gendis masih manyun.    “Ihh … ini kamar gue, kalau gue mau lo pergi, ya harus pergi!” ucap Gendis ketus. Dewa nggak peduli, malah sengaja memekamkan matanya.    “Wa! Dewa! ihh … nih orang ngeselin banget sih!” Gendis menggoyang-goyangkan lengan Dewa. Dasar Dewa, pura-pura dah pergi kealam mimpi.    Gendis menghentakkan kakinya ke lantai, berjalan menuju kamar ganti, Dewa membuka sedikit matanya. Tersenyum saat melihat Gendis masuk ke kamar ganti. Menit kemudian, Gendis sudah keluar dari dalam kamar ganti. Berjalan mendekati Dewa yang pura-pura tertidur. Gendis mencubit keras lengan Dewa. “Ayo bangun! Gue lapar …”    Dewa tersenyum, dan sumpah! tuh senyum manis banget! Dewa membuka ke dua matanya, bangkit dari tidurnya, sedikit terpana saat melihat Gendis yang udah berganti dengan pakaian santainya. Cakep banget si Gendis. Dewa segera membuang pikiran seperti itu, berusaha meyakinkan diri, jika Gendis hanyalah adik angkatnya.    “Ayo!” Kembali Gendis menarik lengan Dewa.    “Ayo! Bawel!” Bukannya berjalan, Gendis naik keatas kasurnya. Dan tau apa yang   Gendis lakukan, langsung naik ke punggung Dewa, seperti seorang anak kecil yang minta gendong sama emak dia.    Dewa mendengus kesal. “Turun lo! berat tau …” Gendis tersenyum, dia nggak bakalan nyerah, sebelum Dewa mau menggendongnya ke ruang makan.    “Bohong! tubuh lo gede, mana ada gue berat. Sumpah gue lapar banget, Wa. Gendong gue ya … plisss!” Dewa hanya bisa pasrah, mau nggak mau, dia akhirnya menggendong Gendis.    “Wa! Pegangin kaki gue. Kalau gue jatoh, gimana?!” Gendis mengalungkan tangannya pada leher Dewa.     “Iya, Bawel!” Dewa memegangi kedua kaki Gendis, menggendong Gendis menuju lantai bawah.    “Bawel! lo kenapa tadi nggak minta duit sama gue?” Dewa mulai membuka suaranya, kesel juga sama Gendis yang nggak minta uang ke dia. Benernya dia takut aja, Gendis punya asam lambung sejak kecil, makanya dia sedikit khawatir. Tapi namanya Dewa, dia nggak bakalan nunjukin secara langsung rasa khawatirnya.    “Gue takut, lo marah-marah depan temen-temen gue. Dari kemarin ‘kan galak banget!” ucap Gendis.   “Lain kali minta uang ke gue. Ngomong jujur! Pak Kirman nggak jemput aja lo nggak jujur. Bikin kesel aja!” Gengis menjambak rambut Dewa, kesel banget sama Dewa. Tadi dia udah berusaha ngejelasin, tapi Dewanya yang nggak mau tau.    “Aduh! sakit! Bawel! gue jatuhin, lo nyaho!” ucap Dewa kesal. Sakitlah, rambut dijambak.    “Lo emang ngeselin! jangan marah-marah nggak jelas lagi. Gue jadi mellow!” Dewa menyunggingkan senyumnya, inilah yang Dewa inginkan, membuang perasaan anehnya, karena dia menyayangi Gendis seperti ini, sebagai saudara, ya … hanya saudara, titik!    Gendis semakin mengeratkan rangkulan tangannya, tapi aneh, tangan Gendis melemah, bahkan terjulur lemas ke samping. Dewa panik!   “Mama! Ma! tolongin! Gendis pingsan!” teriak Dewa.    Dewa berjalan kembali ke kamar Gendis, meletakkan tubuh Gendis yang sudah tidak sadarkan diri, dia terlihat sangat khawatir, berusaha menggoyang-goyangkan tubuh lemah Gendis. Ini yang dia khawatirkan, pasti asam lambung Gendis kumat lagi.    Menit kemudian, Mama, Nando dan juga Papa memasuki kamar Gendis, mereka terlihat khawatir sama seperti Dewa.    Si Mama jangan di tanya, dia udah nangis, papa dan Nando yang baru aja pulang ikut khawatir juga, tapi nggak sehisteris Mama. “Sayang … kamu kenapa? jangan bikin Mama khawatir. Nando! Cepat hubungi dokter, mungkin asam lambung Gendis kumat!” Papa dan Nando terkejut.    Nando cepat mengambil ponselnya. Dewa masih saja megangin tangan Gendis, dia hampir menangis lihat Gendis yang seperti itu. “Kenapa Dokternya lama banget …”     Mama yang kesal, menepis tangan Dewa yang megangin tangan Gendis dari tadi. Papa tambah heran, Dewa menunduk, dia ngerasa bersalah banget, wajar mama kek gitu. Tapi demi apapun, Dewa nggak akan pernah marah jika di gituin. Mama emang berhak marah, dia juga kelewatan tadi. Papa berusaha nenangin Mama. “Ma … udah, jangan kayak gitu, biarkan Dewa …”     “Kamu itu keterlaluan, Wa! gimana kalu tadi Gendis merasa dia cuman anak angkat.    Dia ini seorang yatim piatu, jangan kamu bentak-bentak dia terus, kalau ada masalah, katakan … Mam sayang kalian, nggak pernah Mama bedain kalian, kalian sangat berarti dalam hidup Mama …” Mama terus mencium dalam kening Gendis. Wajah cantik Gendis selalu mengingatkan dia dengan almarhum sahabatnya, sahabat yang selalu ada untuknya.    Dewa menangis, memeluk erat sang Mama. “Maafin Dewa, Ma. Dewa nggak pernah berpikir buruk tentang Gendis, Dewa sayang sama Gendis … Dewa sayang sama Mama.    Dewa juga tau, Mama nggak pernah bedain kita.” Dewa masih memeluk sang Mama.     Papa mengusap punggung Dewa. “Papa nggak tau apa yang terjadi, tapi sudahlah … itu urusan nanti, sekarang fokus sama keadaan Gendis.” Papa emang orang yang bijak, sebagai kepala rumah tangga, dia tidak ingin ada pertengkaran diantara seluruh anggota keluarga.     Mama membalikan badanya, membalas pelukan Dewa. “Jangan ulangi lagi ya … Gendis itu adik kamu … kamu harus sayangi dia juga.” Dewa mengangguk. Menghapus air mata   Mama, dia tidak ingin wanita yang sangat berarti dalam hidupnya, sampai menitikkan air mata karena ulahnya.     ‘Gendis adik kamu’ rasanya sakit, mendengar kata-kata itu. Tapi lebih menyakitkan lagi, jika dia berusaha membuang perasaan anehnya. Itu artinya, dia akan berusaha membenci Gendis.    “Permisi …” Semua menoleh ke sumber suara itu.    Di sana, Dokter pribadi mereka sudah datang, semua menyingkir, memberi ruang untuk sang Dokter segera memeriksa keadaad Gendis.    Dokter berjalan menghampiri Gendis. Mulai memeriksa Gendis yang belum siuman juga. Mama masih terlihat sangat khawatir. “Dok, gimana keadaan putri saya?” tanya Mama khawatir.    Dokter yang sudah selesai memeriksa Gendis, menoleh kearah Mama yang terlihat sangat khawatir. “Tenang Nyonya Laila, ini asam lambung Gendis naik, mungkin karena dari pagi perut dia kosong.” Papa dan Nando terkejut, menatap Mama dan Dewa.    “Kok, bisa.” Nando protes.     Tadi Gendis berangkat buru-buru, nggak sempet sarapan, terus uang jajan sama dompet dia ketinggalan,” terang Mama.    “Lah! lo kemana aja, Wa! ngapain nggak lo kasih uang ke Gendis.” Nando mulai kesal, pasti gara-gara sikap Dewa akhir-akhir ini.    “Lah! kalau gue tau, uda gue kasih uang. Gendis aja yang nggak bilang.” Papa menggeleng. Sifat egois Dewa emang masih dominan.    “Udah … yang penting sekarang Gendis udah tertolong, dan kamu Dewa, jangan bersikap sesuka hati kamu. Itu nggak baik, tau!” Dewa menunduk, meskipun papa jarang marah, tapi Dewa dan Nando begitu menghormati Papa mereka. Bahkan kata-kata sang Papa, seperti sebuah ultimatum.     Dokter memberikan beberapa obat ke Mama, menyuruh Mama untuk memberikan obat itu, setelah Gendis siuman. Tidak selang beberapa lama, Dokter berpamitan untuk   pulang.     “Biar aku jagain Gendis di sini,” ucap Dewa. Dia masih terlihat khawatir banget.     “Baiklah … cepet panggil Mama kalau perlu sesuatau.”     Setelah mengucapkan kalimat itu, Mama, Nando, dan juga Papa pergi dari kamar   Gendis, menyisakan Dewa dan Gendis di kamar itu berdua.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD