Isa (2)

1033 Words
"Terus siapa cewek jelek di sebelahnya itu?" tanya Ayana, setelah puas dengan jawaban Anta. Risa memutar kepala ke arah 'cewek jelek' yang dibilang Ayana. Jelas-jelas di sana ada wanita cantik dengan stelan high class dari ujung kepala sampai kaki. Mulai dari anting berlian kecil bundar, kalung perak bentuk kupu-kupu, yang keduanya merupakan keluaran terbaru Tiffany design, kemudian jam tangan merk Piaget, tas selempang biru muda merk Gucci, juga sepatu bertumit warna hitam dari Louboutine. Dengan cerdasnya wanita itu memadukan bersama kemeja batik biru produksi perusahaan Isa dan rok hitam polos di atas lutut. Dia tidak hanya kaya, tetapi juga cantik. Rambut hitamnya terurai rapi di bahu, lehernya jenjang, dan kulitnya putih mulus. Wajahnya lonjong mirip bentuk hati, dengan dagu tajam. Meski melihat dari dekat, pori-pori di wajahnya tidak akan terlihat. Dia wanita yang sempurna. Sementara Ayana malah menyebutnya jelek. Risa bertanya-tanya dalam hati, apa mata kakaknya itu buta? "Dia Zefanya Trisha, putri bungsu keluarga Atmadja yang terkenal di industri rumah makan. Fanya sekretaris Bang Isa, juga teman dekatnya sejak kecil. Aku dengar, mereka saling suka, tapi kedua orangtua Bang Isa terpaksa memilih Kak Rasti karena perjodohan yang telah dibuat oleh kakek kita dan kakek Bang Isa." Ayana tertawa kuat, membuatnya menjadi perhatian orang-orang di depan sana. Iris cokelat terangnya pun bertemu dengan netra gelap nan dingin Isa, yang baru saja keluar dari kamar rawat putranya. Ini ketiga kalinya mereka bertemu. Pertama, pada acara lamaran Rasti, dan kedua, di acara pernikahan. "Ternyata keluarga kita sangat konyol, ya," kata Ayana. Karena khawatir Ayana akan membuat malu keluarga, Bertha mengajak kedua besannya pergi dari sana dengan alasan Isa sudah datang, sementara mereka harus istirahat. Tinggal Isa di sana bersama Fanya. Ayana bersedekap, menyeringai kecil. Dia berdiri, hendak ke kamar rawat kakaknya. Isa menatap gadis yang tingginya bak model tapi penampilan seperti baru terkena angin tornado. Sebenarnya gadis itu sangat cantik kalau saja sedikit rapi. Lalu dia memerhatikan pria di sebelah gadis itu, yang menatapnya dengan acuh. Entah apa yang dikatakan pria itu kepada si gadis, tapi selanjutnya gadis itu tersenyum, berjalan ke arahnya, dan dengan sinis berkata, "Kakakku yang malang. Ckckck... Sungguh sial menjadi istri Anda." Andai Ayana tahu kemalangan berikutnya akan menjadi miliknya, apakah dia akan meralat omongannya hari ini? Ayana menunggu reaksi Isa, tapi pihak lain seolah tak peduli dengan hinaannya. Pria itu malah mengambil sapu tangan dari kantong jas hitamnya, kemudian menarik tengkuk Ayana. Sebelum gadis di depannya berontak, dia sudah mengelap bibir yang belepotan lipstick itu. "Hei, kau!" Ayana menepis kuat tangan Isa, tapi gagal. Dia coba menampar pria itu, tapi tangannya malah ditangkap dengan mudah. "Lepaskan!" geramnya. "Diam!" tegas Isa. Hanya satu kata, tapi efeknya membekukan semua pendengar, termasuk Anta yang ingin membantu Ayana. Ekspresi Isa tidak berubah sampai akhir. Setelah membersihkan lipstik di bibir Ayana, dia melingkarkan sapu tangan ke leher gadis itu untuk menutupi bekas cupang di sana. Tanpa ragu, tanpa memerhatiakn gender, dia kemudian merapikan kemeja putihnya dan mengancingkan pula kancing yang terbuka. Napas Ayana terengah-engah karena kesal diperlakukan seperti anak kecil. Dia menatap tajam Isa sepanjang dirinya dirapikan. "Jangan tampil urakan kalau bertemu istri saya. Anda mengerti, Adik Ipar?" kata Isa, lalu dia membuka pintu kamar rawat istrinya untuk mempersilakan Ayana masuk. Ayana mendengkus, mengepalkan kedua tangan, dan melirik sinis Isa sebelum masuk ke ruang rawat kakaknya. Anta yang telah melihat tingkah Isa dari awal, sebenarnya cukup terhibur juga. Jarang-jarang, kan, Ayana mau nurut sama seseorang. Karena itu, daripada kesal karena kekasihnya telah dirapikan oleh pria lain, dia lebih merasa geli karena gadis itu  dinasehati oleh abang iparnya. "Terima kasih," kata Anta, tersenyum tulus. "Baru ini aku melihatnya patuh.” Anta mengulurkan tangan ke depan Isa. "Saya Anta, pacar Ayana." Isa bukanlah orang yang picik. Ketika orang lain bersikap ramah kepadanya, dia akan membalas dengan keramahan pula. Itu aturan pertama dalam berbisnis, bersikap ramah. "Saya Isa, abang iparnya." Jika di masa depan, kedua pria mengingat pertemuan ini, apakah mereka akan menyesal karena telah bersikap ramah? Isa menepuk bahu Anta, mengajaknya duduk di kursi tunggu. Fanya pun menawari Anta kopi, tapi pria itu menolak dengan sopan. "Saya mendengar cerita negatif tentang Anda dan adik ipar saya." Anta tersenyum kecut. Dia tahu berita itu, tapi masih bertanya, "Cerita yang bagaimana, ya?" "Pembawa masalah. Ayana sampai diusir." Anta tertawa. "Justru saya yang terkena pengaruh negatif karena pacaran sama Ayana." Isa melihat mata Anta yang berkerlip bahagia, tampak benar-benar menyukai Ayana ketika dia berbicara tentang gadis itu. "Ayana hanya nggak suka dikekang. Dia ingin bebas melakukan semua yang dia mau." Isa diam mendengarkan. "Hal yang saya sesalkan hanya latar belakang keluarga saya. Jika saja saya berasal dari kalangan yang sama seperti Ayana, kedua orangtuanya nggak akan menentang hubungan kami, dan dia nggak perlu keluar rumah demi saya." Anta melirik Isa. "Ayana bukan diusir, tapi keluar sendiri dari rumahnya. Kalian tahu sendiri sifat Ayana, semakin dia ditentang, semakin dia berontak. Saya merasa bersalah. Mungkin benar, saya hanya pembawa masalah." Isa menimbang situasinya. Dia pikir Anta cukup dewasa, dan baik. Pemuda itu tidak mengatakan 'andai Ayana terlahir di keluarga seperti dirinya' malah sebaliknya. Itu menandakan, Anta sangat peduli dengan Ayana dan dia ingin yang terbaik untuk gadis itu. Dia bahkan merasa bersalah karena pertengkaran gadis itu dengan keluarganya. Isa sedikit bingung. Yang dia dengar dari kedua mertuanya, kalau pria ini sering mengajak Ayana keluar malam untuk pergi ke klub malam, sehingga gadis itu menjadi liar sejak bersamanya. Bisa dilihat dari penampilan urakan Ayana tadi. Siapa lagi yang membuat tanda cupang itu kalau bukan Anta? Entah sudah berapa kali mereka melakukan hal-hal seperti itu. Bahkan dia bertanya-tanya, apakah Ayana masih perawan? Isa segera mengenyahkan prasangka baiknya terhadap Anta setelah melihat fakta di depan mata. Karena itu, dia tidak lagi berminat mengobrol dengan pacar Ayana ini karena hanya akan membuang waktu. Lagipula dia tidak berminat ikut campur masalah besannya. Dia hanya sedikit penasaran dengan orang ini karena Rasti pernah menyinggung tentangnya. "Saya permisi," kata Isa, dia mengangguk sopan, lalu pergi bersama sekretarisnya. Anta menggaruk kepala. Dia yakin beberapa detik lalu Isa seolah menerimanya, tapi tiba-tiba pria itu terlihat malas menghadapinya. Padahal dia baru mau memintanya membujuk Ayana pulang ke rumah. Apakah suasana hati orang kaya mudah berubah-ubah? Belum dua langkah Isa berjalan, suara Ayana menggema di lorong. "Kak Rasti siuman! Cepat panggilkan dokter!"   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD