CSD 19. Antara Kematian dan Kehidupan°

1767 Words
"Wah, Baba Raj datang!" sorak Thoriq, menghambur ke pangkuan Rajputana. "Baba, aku punya mainan baru!" Rajputana mengamati kelereng- kelereng sebesar biji mata di tangan Thoriq, barang yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Ia mengusap puncak kepala Thoriq. "Hmm, bagus, sayang. Dari mana kau mendapatkannya?" tanyanya. "Dari Tuan Devdas," jawab anak itu. Rajputana kembali menatap Chandni, menuntut penjelasan. "Tuan Devdas makhluk tak kasat mata, sama seperti Tuan Takur, seperti Prapti, hantu yang selalu menemani semenjak saya kecil," Chandni menjelaskan. "Saya tidak tahu pasti makhluk apa dia, karena mereka bisa tampil dalam beragam bentuk. Namun kemunculannya mengobati kerinduan Toru pada ayahnya. Menurut pengamatan Chandni, Tuan Devdas adalah perwujudan energi Tuan Imdad, seperti Prapti, jiwa ibu Chandni yang menjadi malaikat pelindung Chandni." Rajputana merentangkan tangannya, merangkul pundak Chandni, mendekapnya seraya tersenyum menyengir. "Bagaimana penampilannya? Apa ia berwajah rupawan?" "Jika Chandni bilang Tuan Devdas sangat tampan, apa Maharana akan marah?" Rajputana mencibir. "Mungkin saja." "Kalau begitu Chandni akan mengatakan bahwa Tuan Devdas sangat je.lek," putus Chandni. Rajputana mencubit kedua sisi pipi Chandni. "Isshhh, aku malah semakin cemburu," gerutunya lalu tertawa dan mengecup bibir Chandni. Thoriq menyela di antara mereka dan menyodorkan pipinya minta dicium juga. "Cium aku juga, Baba Raj, jangan Amma terus," rengeknya. Rajputana tertawa lepas, memindah tangannya dari Chandni untuk merangkul Thoriq lalu menciumi pipi anak itu. Rajputana kemudian mengangkatnya tinggi- tinggi. "Ayo, sini, main terbang- terbangan bersama Baba Raj." "Yey, horeee!" Rajputana membawa Thoriq berlari kecil, melemparnya ke udara lalu menyambutnya. Keduanya bercanda gembira. Chandni berdiri lalu berujar pada Rajputana. "Yang Mulia, Chandni minta izin menemui Tuan Takur." Rajputana menolehnya sekilas lalu kembali mengambung Thoriq. "Ya, pergilah. Ajak pengawal mendampingimu." "Baik, Yang Mulia." Bersama dua pengawal kepercayaan, Chandni pergi ke taman di mana tumbuh pohon beringin tua tempat kediaman Tuan Takur. Pengawal menunggu agak jauh dari situ. Chandni melihat- lihat kolam dekat pohon sekaligus menyapa Tuan Takur. "Salam, Tuan jin yang terhormat," katanya. Tuan Takur turun dari pohon dan balas menyapanya. "Aah, sang rembulan, kau kembali lagi ke sini. Duka mendalamku atas kehilanganmu. Imdad Hussain akan mendapat tempat yang layak di sisi-Nya." "Terima kasih, Tuan. Kedatanganku kemari untuk menanyakan beberapa hal. Aku telah bertemu dengan jin udara bernama Erion. Apa kau mengenal mereka?" Ia lalu menjelaskan ciri khas penampilan Erion dan anak buahnya. "Tidak secara pribadi, tetapi yang aku tahu Erion sudah berkuasa nyaris 300 tahun. Mereka nyaris abadi dan jika sudah jenuh hidup, mereka bisa memilih tinggal di daratan di tempat yang tidak bisa dihuni manusia seperti puncak gunung merapi atau di dasar lautan. Mereka melepaskan diri dari kehidupan duniawi, bertapa sampai membatu atau mati dengan sendirinya karena proses itu." "Jadi, tidak ada cara mengalahkan mereka?" "Selalu ada cara menaklukkan setiap makhluk. Misalnya mereka kalah dengan kekuatan para malaikat dan senjata dari langit. Mereka juga tidak bisa melawan tenaga dari jin yang dibekahi kekuatan sang matahari. Untuk makhluk daratan, jin jenis itulah yang bisa mengalahkan kekuatan mereka, akan tetapi jumlahnya sangat sedikit dan kebanyakan sudah melebur dengan manusia. Maharana Rajputana adalah salah satu titisannya dan itu pun ia terancam dihabisi golongan manusia sendiri." "Jadi, Maharana memang memiliki kekuatan itu." "Ya, tetapi tubuh manusianya mengekangnya." Chandni menjadi waswas. "Maksud Tuan, untuk menggunakan kekuatannya, Maharana harus keluar dari tubuhnya?" "Ia harus bisa hidup di dua alam; kematian dan kehidupan. Mengalami fase itu akan membuka semua pintu cakranya. Akan tetapi prosesnya tidak semudah diucapkan. Ada dua kemungkinan jika itu terjadi. Jiwanya bisa keluar masuk seperti yang kau lakukan atau malah tidak bisa kembali sama sekali. Ia akan hancur dan mati sungguhan. Adapun itu masih teori, karena aku tidak pernah menemui keturunan jin matahari itu hidup lama setelah jasadnya mati." Chandni tidak bisa berkata-kata. Ia menghela napas dalam. Agaknya, Maharana Rajputana lebih baik berada dalam wujudnya sekarang. Ia akan mencari cara menggunakan kekuatan cakra Maharana, menjadikan pria itu senjatanya. Chandni hendak beranjak pergi, tetapi teringat satu hal lagi. "Oh, ya, Tuan Takur, aku bertemu dengan pemuda bersayap yang mengatakan bahwa ia adalah malaikat kematian. Ia melihatku saat melawan Erion dan mengatakan sangat berbahaya jika Erion berhasil mengambil jiwaku, karena itu ia kerap mengawasiku." Kening Tuan Takur mengernyit dalam. "Seorang malaikat maut mendekati manusia? Itu sangat tidak biasa walaupun memang ada di antara mereka yang mendapat tugas menghubungi manusia tertentu. Hanya saja itu tugas penyampai wahyu, bukan malaikat maut. Malaikat seharusnya tidak boleh terlalu dekat dengan manusia, hal itu bisa mengaburkan penilaian mereka dalam melaksanakan tugas. Manusia adalah godaan terbesar bagi para malaikat. Manusia ... dengan segala keterbatasan dan kecerobohan tingkah mereka, membuat malaikat geregetan dan bisa jadi melakukan sesuatu yang menyalahi aturan. Mereka sangat mendekati kekuatan Tuhan, bayangkan apa yang akan terjadi jika mereka berbuat semaunya. Untungnya mereka dibuat supaya mematuhi aturan. Rasa bersalah mereka sangat besar jika menyalahi aturan." Chandni mengangguk-angguk. Setidaknya ia bisa mempercayai kesungguhan Devdas. "Terima kasih atas penjelasannya, Tuan. Saya pergi dulu. Sampai jumpa." Chandni kembali ke pesanggrahannya. Malam hari, Chandni berduaan saja dengan anaknya. Untuk mengisi waktu, Chandni mengajarinya membaca syair- syair dan nyanyian pemujaan. Untuk hari itu, Chandni mengira Rajputana akan mengabaikan soal Devdas. Ternyata dugaannya meleset. Malamnya, setelah Thoriq tidur, Rajputana memanggil Chandni ke kamarnya dan menyuruh Chandni menari tanpa pakaian, hanya kalung- kalung permata menghiasi leher dan pinggulnya. Pemain musik berada di luar kamar, menabuh tabla dan meniup seruling mereka, mengalunkan nada syahdu. Rajputana setengah berbaring di dipan, menikmati sari buah dan asap sisha. Memandangi selirnya bergerak gemulai di hadapannya seorang. Tarian indah yang disuguhkan sangat menyenangkan dipandang, Rajputana bisa melupakan segala permasalahan di luar sana. Akan tetapi hatinya masih gelisah. Chandni telah menjadi miliknya, walaupun disimpannya dalam tempat privat, tetap saja ada orang lain yang bisa menikmati keindahannya. Agaknya ia tidak akan pernah bisa menjadikan Chandni hak miliknya seorang. Tubuh itu, lekukan indah itu, senyuman itu, bahkan sorot matanya, akan selalu terbagi. Mata Rajputana nanar oleh desiran menggila dalam dirinya. "Kemari, sayang," ucap Rajputana tanpa mengubah posisinya di dipan. Chandni berlutut dari posisi akhir tariannya, lalu merangkak mendatangi sang raja. "Ya, Tuanku, ada apa?" tanya Chandni. Rajputana menyentuh dagunya, menatap lekat ke dalam bola matanya yang berkerlingan terpesona pada cahaya keemasan Rajputana. Mata itu selalu menyiratkan kekaguman, satu hal yang menjadikan ia sukar berpaling dari Chandni. Sorot Rajputana berpindah ke bibir Chandni. Suara yang lepas dari bibir itu sangat lembut dan merdu menjangkau hatinya. Chandni sangat sempurna bagai jelmaan bidadari surga, bahkan makhluk alam lain menginginkannya. Rajputana menjadi sangat takut kehilangan Chandni. "Apa kau sudah menemukan cara agar aku bisa menggunakan cakraku? Selain untuk bercin.ta denganmu," desah Rajputana. "Belum, Yang Mulia. Maaf. Chandni sudah membicarakan hal itu dengan Tuan Takur dan belum menemukan caranya." Chandni tertunduk merasa bersalah, tetapi Rajputana menahan dagunya agar sorot matanya tidak berpindah. "Bagaimana dengan Tuan Devdas- mu?" Suara Rajputana terkesan menuding dan Chandni merasakan kecemburuannya. "Ia punya kesaktian tersendiri, Yang Mulia, saya tidak tahu pasti karena saya baru mengenalnya, tetapi saya yakin ia bisa membantu Chandni." "Kau harus berhati- hati dengannya meskipun ia bersikap baik. Kau mengerti?" "Ya, Tuanku, Chandni mengerti." Rajputana lalu mendekatkan wajah Chandni, melumat bibirnya, dan bergerak menelantangkan badan. Rajputana lalu membiarkan Chandni berlutut di atas tubuhnya. Mata tajam Rajputana menggelap. Chandni tahu apa yang diinginkannya. Gadis itu bergerak membuka pakaian Rajputana, lalu membuka ikatan pinggang celananya. Penyebab gundukan memuncak di sana terlihat jelas. Keperkasaan bersalur urat- urat kencang berdiri tegak dan keras. Kepala sang jantan yang mengilap kemudian melelehkan tetesan bening hangat. "Yang Mulia, ini sangat indah," puji Chandi, lekat menatap tetesan itu. "Ehm, hanya untukmu, sayang," kata Rajputana. Chandni menatapnya balik dengan mata membulat. "Aku tidak menyentuh seorang wanita pun semenjak aku menikahimu. Aku hanya memikirkanmu dan membayangkanmu setiap saat." Chandni terenyuh. Ia membungkuk menjilati keperkasaan Rajputana. Menyesap embun manis di ujungnya. Kemudian melingkupinya dalam rongga mulutnya. Bahasa mereka menjadi sangat sederhana, tetapi menjelaskan semua rasa. Saling menginginkan dan pasrah pada rasa cinta. Rajputana membelai rambut Chandni yang membenamkan kepala di antara kedua kakinya. Embusan napas Chandni hangat, menyapu area pubisnya. Mulut gadis itu penuh oleh batangnya, lalu mengeluarkannya dalam keadaan basah, mengulumnya sekali lagi sampai menyodok tenggorokannya. Rajputana mengerang nyaring akibat siksa kenikmatan emutan mulut gadis itu. Chandni lalu menyasar kantong telurnya. Dikulum- kulum, disapu dengan lidah, diluah, lalu dijilatinya, kemudian dikulum lagi. Rahang Rajputana menggemeletuk, lalu ia menggigit bibir, mengeluarkan desisan dan embusan kelegaan dimanjakan sedemikian rupa. Rajputana bisa saja menyemburkan benih- benih cintanya dalam mulut Chandni, tetapi ia ingin sesuatu yang lebih nikmat. Ia menarik Chandni dari berlutut di kakinya, menjadi merangkak ke dadanya. Lidah piawai gadis itu menjilati dari bawah perutnya hingga ke lekukan lehernya. Ciuman- ciuman kecil membekas di tubuhnya. Rajputana membelai semakin sayang Chandni- nya. Tubuh halus Chandni menindihnya, tangan lembut menyusuri bidang padat Rajputana. Rajputana mendesah parau, mengangkat kepala seraya terpejam. "Chandni ...." Kedua tangan meraup buah da.da gadis itu, lalu melumatnya agar memuaskan dahaganya. "Ah, Yang Mulia," Chandni balas mendesah. Sebelah tangan Rajputana mendekap pinggangnya sehingga kedua gundukan buah pengasihnya menekan wajah pria itu. Bakal janggut Rajputana menggores kasar permukaan kulitnya. "Yang Mulia ...," sebut Chandni lagi. "Jangan panggil aku sebutan itu, Chandni," keluh Rajputana seraya mendorong pinggulnya menyodok lubang surga Chandni. Rasanya luar biasa nikmat bisa menerobos celah sempit itu, terasa remasan kuat di sepanjang batang keperkasaanya. "Aah ...!" Chandni terpejam meringis oleh rasa didobrak dan disumpal benda padat panjang milik Rajputana. "Lalu Chandni harus menyebut apa?" isaknya. "Namaku, Chandni. Panggil namaku ...." Rajputana menghunjamkan pinggulnya, membuat tubuh Chandni terdorong siap berpacu. "Ra- Raj ...?" "Ya, seperti itu, Chandni- ku ...." "Tuanku Rajputana ...." "Iya, sayang, itu lebih baik lagi ...." "Oh, mmh, Tuanku Rajputana ...." Kedua pipi pantatnya diremas Rajputana. Chandni menekan paha pria itu agar tidak bisa bergerak, sebagai gantinya, ia saja yang menggerakkan pinggulnya, putaran yang memelintir keperkasaan Rajputana, lalu menggetarkannya bagai rambatan gempa. Rajputana menggila oleh kenikmatan yang siap menyulut ledakan dalam tubuhnya. "Oh, sayang!" desah cepat Rajputana. Ia bangun, mendoyongkan tubuh Chandni ke belakang. Pinggul Chandni terus saja bergerak membuai keperkasannnya. Ia balas menghunjam menumbuk dalam, menyiapkan lubang penyemaiannya. Cepat dan kuat hingga dipan berderit dan Chandni termangap mencari udara. Gadis itu memohon padanya. "Tuanku Raj, lebih cepat! Ah, Chandni suka ... ahh ...," desak Chandni. Rajputana tertawa kecil. "Aku lega kau suka, Chandni ... karena kita akan lebih sering melakukan ini .... Ah, Chandni ... aku ingin membuatmu hamil. Aku ingin anak darimu, Chandni ...." Benih- benih cintanya menyembur kencang di dalam sana. Rajputana membungkuk mencium bibir Chandni, meredam teriakan kenikmatan mereka. Lepas dari perhatian keduanya, ada Devdas duduk di langit-langit, mengamati proses penyemaian benih itu. Mempelajari gerakan bagaimana membuat raut puas terpancar di wajah Chandni. Kepalanya terteleng melihat cahaya mungil yang terpancar di inti penyatuan tubuh Chandni dan Rajputana. Cahaya dari energi tumbukan sel jantan menerobos sel telur milik sang betina. Energi yang sangat besar tetapi berukuran sangat kecil, membentuk cangkang yang melindungi bakal kehidupan di dalamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD