CSD 17. Arti Kehadirannya°

1907 Words
Kereta dari keluarga Hussain tiba di halaman Sanggar Mohabbatein. Chandni, Rajputana, Sarasvati, Akash, dan Ibu Kepala menyambut kedatangan Thoriq. Putra angkat Rajputana itu datang didampingi Maimoona, sangat gembira mengetahui ibunya kembali. Begitu turun dari kereta, Thoriq berlari mendatangi Chandni sambil berseru gembira. "Amma ...!" "Sayang Toru ...." Chandni menyambut anak itu ke dalam dekapannya. Air mata haru terpancar di sudut matanya. "Maafkan Amma baru kembali, sayang." Thoriq segera menanyai Chandni dengan suara lucunya. "Apa Amma bertemu Baba? Apa Amma membawa Baba pulang?" Chandni berusaha tersenyum, sekaligus menahan perih. Lidahnya kelu, sukar mengutarakan hal yang akan mengecewakan anaknya. Maimoona juga menatap lekat menunggu jawaban darinya. "Bagaimana kalau Toru ikut Amma dulu, kita bermain di dalam," kata Chandni, lalu membawa Thoriq ke paviliunnya. Sementara Maimoona diajak Rajputana berbicara di ruangan lain, bersama Sarasvati, Akash dan Ibu Kepala. Ia akan menjelaskan bahwa Chandni akan ikut dengannya ke istana, memulai tugas sebagai selir sekaligus prajurit khususnya. Di kamar di paviliun, Chandni mendudukkan putranya di ranjang. Ia sendiri berdiri, memainkan ujung sarinya karena gugup. "Maaf, sayang, Amma tidak bisa membawa ayahmu pulang." Wajah Thoriq langsung sendu. Chandni segera menambahkan, "Tetapi Amma bertemu seseorang yang bisa menyampaikan pesanmu pada Baba." Tatapan Thoriq penuh tanya pada ibunya. Chandni mengangguk-angguk meyakinkan Thoriq. Muncullah pemuda bersayap putih yang gagah perkasa di sisi Chandni. Mata Thoriq membesar melihat wujud makhluk agung itu. "Ini Tuan Devdas. Dia petugas rahasia yang bisa menemui Baba-mu di surga." "Benarkah?" lirih Thoriq, terkesima pada wujud Devdas. Sayapnya yang besar, serta pakaiannya yang mewah berhias ornamen emas dan perak, meyakinkan Thoriq bahwa orang itu bukan manusia sembarangan. Devdas merasakan hangat dalam dadanya. Secara naluriah, sorot matanya melembut, berjongkok mengelus rambut dan wajah bocah cilik itu. "Iya, Toru. Allah sangat menyayangi Baba-mu dan Ia butuh bantuannya di atas sana karena itu ia tidak bisa pulang. Sebagai gantinya, aku akan meneruskan pesan kalian, tetapi keberadaanku tidak boleh diketahui orang lain atau aku akan ditangkap dan dilarang menyampaikan pesan lagi." Thoriq menangis haru, tiba-tiba merangkul Devdas. Malaikat maut itu tercenung. Tidak berani bergerak karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Thoriq bahkan mengecup kedua belah pipi Devdas. Anak itu kemudian berujar lirih, "Sampaikan pelukan dan ciumanku untuk Baba. Toru sangat sayang Baba dan Toru sangat rindu Baba." Chandni menutupi wajahnya dengan selendang sari untuk menyembunyikan tangisnya. Devdas mengikuti gertak hatinya. Ia mengecup kening Thoriq seraya mengusap rambutnya. "Itu ciuman dari ayahmu. Ayahmu sayang dan rindu juga padamu. Ia bilang jaga dan patuhi ibumu. Ia selalu berdoa agar kau menjadi pemuda yang lebih tangkas dan pandai darinya." Kedua tangan Devdas dan Thoriq bergenggaman. Tangis Thoriq sudah berhenti. "Terima kasih, Paman Devdas," ucap Thoriq. "Bisakah aku minta gendong dan ayun seperti yang biasa Baba lakukan?" "Tentu!" Devdas mengangkat Thoriq, menggendong lalu melemparnya ke udara dan menyambutnya. Thoriq tertawa gelak, serasa bercanda dan bermain bersama ayahnya. Chandni duduk memandangi dengan rasa tenang melihat pemandangan itu. Untuk sesaat, hawa kehadiran Imdad sangat kuat dirasakannya. Ia memejakan mata meresapi hawa itu. Air mata bahagia menetes dari sudut matanya. Dalam kegelapan, sangat jelas terasa hawa Imdad. Hawa cinta dan perhatiannya. Untuk sesaat kehampaan itu hilang, terisi suara tawa canda ayah dan anak. "Amma!" panggil Thoriq, membuat Chandni membuka mata. Anak itu seorang diri berdiri di tengah kamar. Tidak tampak lagi sang malaikat maut yang bermain dengannya. Chandni terkesiap merasakan hawa Rajputana. Rajputana datang, membuka pintu kamar dan menyapa mereka. "Di sini kalian rupanya." Ia mendekap Thoriq dan menggendong anak itu. Sebelah tangan Rajputana menjangkau Chandni. Chandni menyambut uluran tangannya dan berdiri ke sisi Rajputana. Pria itu semringah, lalu mengatakan sesuatu padanya. "Aku sudah bicara dengan paman dan bibimu, serta neneknya Toru. Kalian berdua akan tinggal di istana mulai besok. Bagaimana menurutmu? Apa kau sudah siap Chandni?" Chandni lekas mengangguk. "Ya, tentu, Yang Mulia. Chandni siap." "Bagus." Thoriq menangkup rahang Rajputana sehingga bertatapan. "Baba Raj, Toru sungguhan tinggal di istana Baba Raj? Berarti Toru jadi pangeran sungguhan?" Rajputana tersenyum dan mencubit pipi bocah itu. "Kau memang pangeran sungguhan, Toru! Kau adalah putraku meskipun bukan aku yang membuahimu. Kau hidup dengan aliran cakra dariku." "Aliran cakra?" "Kekuatanku." Chandni menyela mereka dengan wajah merona malu. "Ah, sudahlah. Susah menjelaskannya pada anak kecil, Yang Mulia. Belum saatnya ia memahami soal itu ...." Chandni ingin memindah Thoriq ke gendongannya, tetapi Rajputana tetap memegangi anak itu. Ia menghalangi Chandni mengambil Thoriq, seraya mengecupi pipi Chandni dan mengejeknya. "Ehm, tidak mau ketahuan rahasia kehamilanmu saat mengandung Toru?" "Ishhh, Yang Mulia!" Wajah Chandni merah padam teringat ia kelaparan ciuman Rajputana setiap hari. "Ah, rahasia!" celetuk Thoriq. "Toru juga punya rahasia." Rajputana dan Chandni menatapnya lekat. Rajputana keheranan, sedangkan Chandni memelototinya. "Apa rahasiamu, Toru? Ayo, katakan pada Baba Raj," bujuk Rajputana. Thoriq takut ibunya marah sehingga berusaha mengeles. Ia mengecup pipi Rajputana dan berujar tulus. "Toru sayang Baba Raj." Rajputana seketika terpukau. Itu ucapan sederhana, tetapi menyentuh hatinya dan serasa beban berat di pundaknya terangkat. Rajputana mengecup dahi Thoriq. "Baba Raj juga menyayangi Toru. Berbahagialah, Nak. Baba Raj menyayangimu lebih dari nyawa Baba sendiri." Suasana itu membawa perasaan emosional. Chandni rasanya ingin menangis lagi. Ia buru-buru berujar mengalihkan perhatian. "Makanan pasti sudah siap. Sebaiknya kita segera ke balairung untuk makan bersama seluruh warga sanggar. Ini bukan hari terbaik kita, tetapi kita harus tetap memanjatkan puji syukur." "Ya, kau benar, sayang," sahut Rajputana. Menggendong Thoriq sambil berpegangan tangan dengan Chandni, mereka menuju balairung utama sanggar. Di sana, makanan lezat melimpah ruah, dibagikan kepada hadirin yang berbaris duduk teratur. Doa- doa selamat dirapalkan dan santapan itu berlangsung dalam suasana gembira. Selesai makan bersama, Chandni membantu membereskan bekas jamuan, sedangkan Rajputana bermain panahan bersama Thoriq di halaman. Maimoona mendekati Chandni, memegang tangan gadis itu agar melepaskan piring- piring yang disusunnya. "Amma?" ujar Chandni keheranan. Maimoona tertunduk menahan tangisnya. Ia meraih kedua belah tangan Chandni. "Maafkan aku, Chandni, sebelumnya sikapku pasti menambah beban luka hatimu, karena kegagalanku memahami caramu berduka. Aku tidak menyalahkanmu, Anakku. Kau masih muda dan kau sudah menjalankan kewajibanmu sebagai istri bagi anakku di saat ia hidup. Sudah cukup bagiku kau membahagiakan anakku dan setelah ia tiada kau pun berhak mencari kebahagiaanmu sendiri. Hanya kuminta satu hal. Jangan lupakan Imdad. Selalu kenanglah dia dan kirimkan doa untuknya. Maharana juga tidak akan keberatan karena Imdad adalah belahan jiwanya." Chandni mengatup bibirnya menahan tangis. Ia mengangguk kecil, lalu menghapus air mata di sudut matanya dengan bahu. "Terima kasih, Amma," ucapnya cepat. Chandni lalu terenyuh Maimoona membuka kedua telapak tangannya dan menaruh sepasang gelang kaki bertuah miliknya. "Ini. Pakailah selalu jimat ini. Kau pasti tahu gunanya. Gelang ini ada sepasang di tangan Imdad menakdirkan bahwa kalian memang pasangan jiwa. Walaupun sekarang berbeda alam, ikatan jiwa itu akan tetap terjaga melampaui batas ruang dan waktu." "Ya, Amma. Semoga ucapan Amma adalah doa bagi Chandni dan Tuan Imdad." Maimoona mendaratkan kecupan di kening Chandni. "Semoga ridho Tuhan selalu bersamamu dan melindungimu, Anakku." Setelah mengungkapkan isi hati tulusnya kepada Chandni, Maimoona pulang ke kediamannya. Thoriq tinggal di sanggar bersama ibunya. Mereka melepas kepergian Maimoona di halaman sanggar. Maimoona menyempatkan memeluk dan menciumi cucunya. "Jadi anak pintar, ya, Toru. Patuhi Amma dan Baba Raj seperti orang tuamu sendiri." "Ya, Nenek," sahut Thoriq. Ia melambaikan tangan ketika kereta neneknya menjauh. Chandni, Rajputana, dan Thoriq ke paviliun mereka. Hari sudah malam, bocah cilik itu dimandikan lalu bersiap tidur. Rajputana sedang beribadah. Ketika ia selesai, Thoriq sudah tidur lelap di kamar anak sambil menyusu pada ibunya. Rajputana mendatangi Chandni, berhati- hati menaiki ranjang dan memeluk Chandni dari belakang. Sebelah tangannya merogoh sebelah buah kasih Chandni yang menganggur. "Maharana ...," desah Chandni. Wajahnya sontak memanas. Rajputana menghidu cuping telinga Chandni dan membisikinya sambil terus meremas- remas. "Kenapa? Apa karena kita sudah di rumah, aku tidak boleh mencicipi sari tubuhmu lagi?" Rajputana menggigit daun telinga Chandni. "Ah, Maharana!" rengek manja Chandni. Ia merasa sungkan karena tanpa bisa dilihat Rajputana, di sebelah Thoriq ada Devdas berbaring miring memandangi mereka. Ia khawatir jika menyaksikan ulah Rajputana, Devdas bisa mengajukan permintaan yang sama. "Bukan begitu, Maharana," tolak halus Chandni. "Maharana sudah sehat. Tidak perlu cakra atau nutrisi lagi." Rajputana merengut, memanyunkan bibirnya dan berujar merajuk. "Uuh, terlepas aku butuh cakra atau tidak, sebagai laki-laki aku perlu menyalurkan hasratku, Chandni." "Oh, hmm, soal itu ... ehmm, bagaimana jika kita pindah ke kamar kita saja." Chandni bergerak melepaskan sebelah buah da.danya dari mulut Thoriq. Ia menaikkan choli menutupi gundukan itu. Ia menelentangkan tubuh untuk bangun, tetapi Rajputana mengungkungnya dan menciumnya di bibir, sangat kuat menyesap agar ia tidak protes. Memang, melakukan itu di sisi anak mereka menambah ketegangan, tetapi untuk lebih puas dan leluasa, tetap lebih baik melakukannya di kamar tersendiri. Devdas memperhatikan kekakuan gerakan respons tubuh Chandni terhadap sentuhan Rajputana dan ia merasa heran kenapa Chandni tidak leluasa sewaktu mereka bermain syahwat di gua ataupun alam terbuka. Rajputana mencumbui leher Chandni sehingga gadis itu bisa bertatapan dengan Devdas. Makhluk tak kasat mata itu terpesona pada wajah bersemu Chandni dan sorot matanya yang nanar terbuai cinta. "Apa kau khawatir meninggalkan Toru sendirian di kamar?" tanya Devdas, yang tidak bisa didengar Rajputana. Chandni menggigit bibir dan mengangguk cepat. Ceruk kecil manis terbentuk di kedua belah pipinya. Mata Chandni terpejam lalu meringis putus asa. Rajputana tidak berhenti menggerayangi tubuhnya, malah menyingkap bawahan gaunnya dan cholinya. "Maharana ...," desah Chandni, ingin minta berhenti, tetapi tidak terucap. "Susah untuk berhenti, Chandni .... Kau sudah membuatku kecanduan," suara parau Rajputana. Devdas berujar pada Chandni. "Pergilah dari sini. Aku yang akan menjaga Toru." "Ah? Sungguh?" sahut Chandni. "Iya," jawab Devdas. "Iya," jawab Rajputana juga. Chandni mendorong Rajputana agar ia bisa beringsut turun dari ranjang. Rajputana tertelentang, akan tetapi segera tersenyum melihat kerlingan mata penuh arti Chandni. Gadis itu berjalan ke arah pintu sambil memainkan selendangnya, lalu jemari mengubit Rajputana agar mengikutinya. Pria itu bergegas bangun, berjalan cepat mendatangi Chandni, akan tetapi Chandni malah berlari kecil mendahului menuju kamar mereka. Rajputana mengejarnya. Ia menangkap Chandni sebelum gadis itu sempat berkelit. Chandni terpekik kecil, segera diredam Rajputana dengan ciuman memburunya. Menggunakan sebelah kakinya, Rajputana menutup pintu. Ia mendekap Chandni sambil mencum.bunya, membawa melangkah hingga tiba di ranjang. Gadis itu terbaring pasrah. Rajputana melucuti perhiasannya dengan gesit, lalu membuka lilitan kain sari dan simpul- simpul choli Chandni. Ia lalu berdiri tegap memandangi Chandni untuk beberapa saat. Telanjang bulat, gadis itu malah merapatkan kakinya, tergagap bertanya, "Tuanku ... kenapa memandangi Chandni seperti itu?" Rajputana tersenyum tipis, sorot mata penuh nafsunya melembut penuh kasih. "Dalam setiap percintaan kita, aku selalu merasakan kehadiran Imdad. Entah karena kenangannya atau energinya selalu ada bersamamu, bersama kita ... karena alasan apa pun, aku menyukai hal itu. Jadi, jikalau kau melihat Imdad pada diriku atau perwujudannya yang tidak dapat dilihat mataku, aku tidak keberatan, Chandni. Hanya saja perlu kau ingat, jangan tertipu dengan penampakan serupa Imdad seperti yang dibuat makhluk jahat itu. Itu bisa jadi jebakan." Chandni mengangguk kecil. "Ya, Maharana, Chandni mengerti." "Bagus," ucap Rajputana lalu mulai membuka pakaiannya sendiri. Sebentar saja sudah melepaskan semua kain di tubuhnya. Otot- otot kekar terlatih, bergerak berkontraksi. Luka di bawah tulang selangkanya mengecil dan ditutup perban kecil. Keperkasaannya menjulang siap menggapai puncak cawan Chandni dan memenuhinya dengan madu- madu manis percintaan. Rajputana merangkak menaiki ranjang, melengkungi tubuh Chandni dan menemukan sarang setara surga untuk jantannya. Batang perkasa yang menerobos batas- batas kenikmatan, menghunjam kuat seiring nyanyian desahan dan erangan siksa candu cinta. Tubuh keduanya berguncang di atas peraduan itu, percikan-percikan ledakan kenikmatan menguras tenaga, tetapi ada raut puas dan bahagia di wajah mereka. Devdas melayang di langit-langit, memandanginya dan semakin kuat desakan dalam dirinya ingin jawaban pertanyaan: bagaimana jika ia yang membuat wajah Chandni berseri seindah itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD