CSD 14. Gua dan Sungai°

1923 Words
(Jika ingin tahu visual Erion dan Avram, silakan cek di you.tube channel ARTHUR FENIX, judul Thranduil - Remember me) Pengejaran Devdas ke negeri para jin udara mendapat perlawanan dari Erion dan pasukannya. Pertempuran mereka menimbulkan hujan badai disertai petir dan guntur. Chandni yang tersadar saat tetesan air hujan mengenai wajahnya, membuka mata perlahan- lahan. Ia terbaring telentang dan langsung menatap langit mendung pekat bergulung- gulung. Ia teringat terakhir kali melawan jin udara, ia kehilangan kesadaran dan cakranya diserap. Jika ia mendapatkan kesadarannya kembali berarti ada yang membantunya. Chandni terkesiap, bergegas bangun dan terhenyak mendapati Rajputana terkapar di sisinya, bertelanjang da.da dan lukanya banyak mengeluarkan darah. Ia tidak merasakan pancaran energi Rajputana, ia bahkan tidak melihat cahaya keemasan di tubuh pria itu. "Tidak ... tidak ...," lirih Chandni. Seketika seluruh tubuhnya gemetaran. Ia telah kehilangan Tuan Imdad, lalu sekarang Maharana Rajputana? Ia yakin Rajputana telah menyalurkan energi terakhirnya demi menyelamatkannya. Chandni menangis sesenggukan, merangkak memeriksa tubuh Rajputana. Tubuh pria itu sedingin es, pucat tanpa darah. Namun Chandni yakin masih ada percikan energi dalam tubuh Rajputana. Chandni menutup aliran darah lukanya, menekan da.da Rajputana seraya mengalirkan energinya. "Yang Mulia, saya mohon, sadarlah ...," isak Chandni, tetapi Rajputana tidak bereaksi. Hujan semakin lebat. Chandni basah kuyup, mengusap air mata bersamaan air hujan. Chandni memejamkan mata, menarik napas dalam, membulatkan tekadnya. Ia akan mengerahkan segala kemampuannya untuk menyalakan cahaya kehidupan Rajputana. Ia mencium bibir Rajputana, melumatnya, mendesak pria itu menanggapinya. Sadarlah, Chandni mohon .... Chandni merasakan denyutan aliran darah Rajputana. Dilihatnya tubuh sang raja mulai bercahaya keemasan lagi. "Ah, Yang Mulia ...." Chandni mendesah bersemangat lalu kembali mencium Rajputana. Debaran jantungnya semakin kuat dan juga aliran darahnya. Tangan Rajputana menangkup rahangnya, bibir Rajputana membalas ciumannya. Chandni menangis bahagia dalam cum.buan lemah itu. "Chandni ...," bisik Rajputana. "Syukurlah kau selamat, sayang ...." Tangis Chandni pecah bagai anak kecil. "Kenapa Yang Mulia menyusul Chandni? Yang Mulia seharusnya diam saja di gua. Yang Mulia terluka parah. Bagaimana jika Yang Mulia tidak tertolong lagi?" Rajputana tidak menjawab. Ia memejamkan mata, ia masih terlalu lemah, bahkan bicara saja menguras tenaganya. Chandni juga belum pulih seutuhnya. Ia berusaha keras memapah Rajputana. Mereka berjalan terseok- seok menerobos hujan dan rimbun dedaunan. Chandni tidak ingin berhenti di tempat terbuka karena kondisi lemah akan membuat mereka rentan diserang penghuni hutan. Mereka sampai di gua saat hari sudah malam. Chandni membaringkan Rajputana lalu lekas menyalakan api untuk mengusir dingin. Namun, tidak ada persediaan kayu. Chandni terpaksa menghemat kayu yang ada dan nyala api cukup untuk penerangan saja. Ada jubah kering dan baju Rajputana yang tertinggal di gua, digunakan Chandni untuk menyelimuti Rajputana. Pria itu setengah sadar, tubuhnya menggigil hebat dan demam. Chandni yang kedinginan basah kuyup, duduk mendempet Rajputana dan terisak. "Ini adalah kebodohan Chandni, Yang Mulia. Chandni malah mencelakakan Yang Mulia. Maafkan Chandni ...." Chandni tertelungkup di da.da Rajputana, menangis sejadi- jadinya. Ia sadar, ia tidak akan menang melawan para jin udara itu. Sesungguhnya, ia tidak akan menemukan jiwa Tuan Imdad. Ia hanya ingin rasa kehilangan ini teratasi, karena rasanya sangat menyakitkan. Tangan Rajputana gemetaran mengusap punggung Chandni. "Tidak ada apa- apa, Chandni. Asalkan kau selamat, aku tidak mempermasalahkan apa pun yang terjadi. Melindungimu adalah sumpahku, Chandni. Jika aku mati maka tunailah janjiku. Aku akan mati dengan bahagia." Karena dengan demikian ia akan bertemu Imdad. Rajputana kembali terpejam dan tangannya terkulai lemas, jatuh dari punggung Chandni. Chandni tergegau. Ia mengangkat kepalanya untuk menatap Rajputana. "Yang Mulia ... Yang Mulia ...," panggilnya sambil berderai air mata. Cahaya Rajputana meredup. Chandni tidak membuang- buang waktunya. Ia menciumi Rajputana. Semakin mendesak, semakin menggebu. Menggesekkan tubuh menciptakan kehangatan bagai menyalakan percikan api. Tubuh yang basah mempersulit kondisi itu. Chandni bergegas melepas seluruh kain di tubuhnya, menjadikan dirinya badan penghangat. Gadis itu telanjang bulat menyibak kain selimut Rajputana. Ia merebahkan diri di da.da Rajputana, sekaligus menciuminya penuh harap. "Yang Mulia, ini Chandni, Yang Mulia. Sadarlah, kembalilah pada Chandni ...." Seperti sebelumnya, jiwa mereka ditakdirkan saling terikat. Apabila raga mereka berpagut, maka ikatan itu semakin kuat. Rajputana mendapatkan kembali cahaya kehidupannya walaupun redup. Chandni tidak ingin Rajputana kembali melemah. Ia memutus ciumannya. Sebagai gantinya ia menyorong puncak buah da.danya ke mulut Rajputana. Ada air sarat nutrisi di sana yang akan cepat diserap tubuh rajanya. Rajputana yang setengah sadar melakukan sesuai naluri alamiahnya sebagai anak manusia. Pria itu mengisap memberangus karena sangat kelaparan dan kehausan. "Ah, Yang Mulia ...," ringis Chandni. Putik tubuhnya terasa nyeri meradang oleh keganasan mulut Rajputana, tetapi ia memasrahkan diri, asalkan Rajputana pulih seperti sedia kala. Beruntung kedua buah da.danya masih menghasilkan nutrisi melimpah ruah. Tubuhnya menghangat laksana di sisi bara api. Tidak lagi terasa dingin. Rajputana menenggak air su.su dua bejana penuh, tanpa menyia-nyiakan setetes pun. Ia bisa membuka mata lebar- lebar, tersadar penuh. Rasanya sangat lezat, menyegarkan tubuhnya dan meningkatkan gairahnya. Chandni- nya menatap nanar dalam dekapannya. "Chandni ...," bisik Rajputana sambil mengusap tepi wajah Chandni. "Yang Mulia ...," lirih Chandni, lalu memejamkan mata dan mengecup lembut bibirnya. Rajputana ingin mengganti tenaga Chandni yang terkuras. Ia memeluknya erat, berguling memindah Chandni agar berbaring di sisinya. Ia membisikkan ucapan tegas. "Aku harus bercin.ta denganmu, Chandni, merasukimu seutuhnya." Agaknya Maharana Rajputana sudah berenergi penuh. Rasanya sangat mendebarkan. Chandni tidak bisa menolak permintaannya. Ia mengangguk kecil dan itu saja cukup bagi Rajputana memelorotkan celananya sendiri lalu membuka kaki Chandni, mempersilakan jantannya menempuh rute ke surga yang sudah dikuasainya, tetapi tetap saja setiap kalinya terasa bagai pertama kali. Selalu nikmat tak terkira, mencanduinya tanpa ampun. "Chandni-ku ...," engah Rajputana saat mengayuh perahu cintanya. "Ehmm, ya, Tuanku Raj," desah Chandni menyahutinya. "Aku mencintaimu." Luapan energi percintaan yang selalu dinantikannya. Sangat dahsyat mengisi tubuhnya. Chandni memagut erat tubuh Rajputana oleh guncangan yang dibuat pria itu. Teriakan kenikmatan mereka menggema di dinding gua, mengusir segala kesuraman yang ingin mendekat. Mereka bercin.ta hingga hujan reda keesokan paginya. Rajputana dan Chandni tertidur pulas saling berpelukan dan kaki bertaut. Tidak ada penutup tubuh mereka, karena hawa sedingin apa pun tidak mengganggu. Chandni terbangun dan telinganya langsung menangkap suara riang cuitan burung serta desau air terjun dekat gua. Dalam gua terang oleh cahaya dari luar. Api sudah habis menyisakan abu dingin. Pelukan Rajputana menahan tubuhnya. Chandni pelan- pelan memindah tangan Rajputana. Pria itu bergerak sendiri menelentangkan tubuh. Chandni menyempatkan memeriksa luka Rajputana, tidak berdarah lagi hanya perlu dibersihkan dan diganti perban baru. Rajputana juga tidak demam lagi. Bahkan wajahnya terpancar rona damai dan bibir seolah tersenyum tipis. Chandni beringsut menjauh dari sisi Rajputana. Ia duduk, meraih kain sarinya yang kotor dan basah. Selain setelan itu, ia tidak punya baju lagi. Chandni pun bangkit dan membawa bajunya ke sungai untuk dicuci sekalian mandi. Di luar gua, setelah badai reda, hari sangat cerah. Chandni bertubuh polos berjalan menuju air terjun, mencuci kainnya di aliran sungai lalu membentangkan kain itu di permukaan batu besar agar cepat kering. Setelahnya ia berendam mandi sekalian bermain air, mengepakkan kaki agar air terpercik- percik. Tidak menyadari di sana, di dahan sebuah pohon tidak jauh dari tepi sungai, ada makhluk tak kasat mata memperhatikannya penuh rasa takjub. *** Devdas terombang- ambing di awan badai saat berhadapan dengan Erion dan pasukannya. Erion terluka sehingga menarik diri beserta anak buahnya. Devdas sudah cukup mengusir mereka, sehingga memutuskan kembali ke daratan untuk melihat keadaan 2 orang yang ditinggalkannya. Namun, tiba di tempat itu, mereka sudah tidak ada. Devdas menyusuri hutan dan akhirnya tiba di sebuah gua. Ia melihat ke dalam gua dan mendengarkan percakapan antara Chandni dan Rajputana lalu ia mengamati semua yang mereka lakukan. Percintaan mereka dan energi mereka, gerakan mereka, desahan mereka, embusan napas, bahkan kemilau keringat mereka, semuanya sangat indah. Sangat syahdu dan membuat sesuatu dalam dadanya bergetar. Devdas menjauh karena bingung dengan perasaannya. Akan tetapi ia tidak bisa pergi jauh dari situ. Ia seliweran seakan ada sesuatu yang diinginkannya di sana. Ya, dia ingin gadis itu. Hanya ingin melihatnya, bukan mencabut nyawanya. Siang itu, penantiannya tidak sia- sia. Gadis itu keluar dari gua, menikmati alam bebas, tanpa pengekang di tubuhnya. Devdas yakin tidak ada seorang pun bisa melihatnya. Ia terbang semakin mendekat untuk melihat gadis itu lebih lekat. Gadis itu berendam, setengah berbaring di sungai kecil dan sinar matahari menerpa membuat seluruh tubuhnya yang basah berkilauan. Rambut panjangnya basah, ujungnya terendam air dan bergerak mengikuti arus sungai. Lututnya menyembul dari permukaan air, begitu juga separuh da.danya. Dan ketika gadis itu menatap balik tepat ke matanya, Devdas terkesiap. "Siapa kau di sana dan kenapa kau mengintipku mandi, dasar manusia burung ca.bul!!" hardik Chandni yang merasa asing dengan penampilan serta aura makhluk bersayap itu. Devdas yang bertengger di batang pohon yang menjorok ke sungai terjatuh ke air. Pemuda berpakaian putih dilengkapi ornamen emas dan perak serta sayap putih besar di pundaknya terlalu terkejut sehingga ia lupa terbang dan melawan gaya gravitasi bumi. "K-k-kau ... bisa melihatku?" tanya Devdas terheran-heran. Ia bertumpu dengan satu lutut di air. Ia tidak tahu apakah ia pernah menginjakkan kaki di tanah sebelumnya. Seingatnya itu yang pertama, karena untuk pertama kalinya ia beradu pandang dengan mata cokelat indah itu. Pertama kalinya mata manusia menatap balik matanya. Pertama kalinya ia melihat manusia yang bisa melihatnya. "Tentu saja, aku bisa melihatmu," kata Chandni. "Aku memiliki mata yang sangat unik." Devdas terlalu takjub. Pertama kalinya seorang gadis bicara padanya. Gadis itu merangkak mendatanginya dan tangan terjulur meraih wajahnya, penuh kekaguman meneliti rupa sang malaikat. "Kau sangat tampan dan bercahaya," gumam Chandni. Itu pertama kalinya seorang manusia menyentuhnya sedemikian rupa dan manusia itu seorang wanita, ujung jari yang lembut menelusuri wajahnya membuat tubuh Devdas merasakan sensasi yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Sebagaimana juga ia tidak pernah memperhatikan ia punya jantung atau tidak, kali ini ia bisa merasakan debaran kuat dari dalam dadanya. Tatapan Chandni berpindah ke sayap di punggungnya. "Kau bukan berasal dari dunia ini. Dari mana asalmu?" Sinar matahari menambah cerah mata beriris cokelat itu. Air sungai yang jernih memantulkan cahaya matahari, membuat permukaan sungai gemerlapan bak berlian. Sesaat Devdas merasa terhipnotis. Ia perlu waktu mencerna segala rasa baru dalam benaknya. "Sangat jauh dari sini," jawab Devdas. Sayap putih di pundaknya mendorong udara sekitarnya dan memercikkan air sungai ketika ia bergerak untuk berdiri tegak dan sayapnya terkembang. "Kyaah!" Chandni terpekik kecil dan melindungi wajahnya dengan punggung tangan ketika air terpercik. Chandni tertawa geli dan suara tawanya membuat sesuatu dalam d**a Devdas berdesir hangat. Selama ia menjalankan tugas untuk mencabut nyawa makhluk hidup, ia tak pernah mendengar suara tawa. Tidak pernah mendengar suara seindah itu. "Aku tahu ada dunia lain selain dunia Tuanku, meskipun aku tak pernah ke sana," kata Chandni. Ia menelentangkan tubuhnya dan memainkan kakinya di air, menimbulkan suara gemericik dan percikan-percikan air berkilauan. Ia membiarkan makhluk bersayap itu memandangi tubuhnya, selama yang diketahuinya makhluk itu bukan manusia, dia tidak merasa keberatan. Lagi pula, hanya ia sendiri yang bisa melihat makhluk itu. "Apakah kau tidak takut denganku?" tanya Devdas dengan angkuh. Matanya menggelap dan dagunya terangkat. "Kau tampaknya orang baik-baik. Kenapa aku harus takut?" "Aku adalah Kematian. Semua orang takut padaku." Ah, Tuan Imdad! sebut Chandni dalam hati. "Kematian? Apa kau hendak membawaku?" tanyanya dengan mata berbinar riang gembira. "Tidak" jawab Devdas. "Ini bukan saatmu, lagi pula bukan aku petugasnya." "Jadi, kamu bukan satu-satunya?" Chandni bergegas berdiri, kakinya terendam dalam air hingga lutut. Devdas sering melihat makhluk tanpa busana, akan tetapi berjarak hanya sejengkal dengan gadis itu, membuat wajahnya memanas dan merah sampai ke daun telinga. "Ya, ampun, wajahmu memerah, hahaha, lucu sekali, kau seperti bayi yang baru lahir," ledek Chandni. Devdas mendecak dan mengalihkan pandangan. Namun Chandni mendekatkan wajahnya dan berjingkat karena perbedaan tinggi tubuh mereka untuk meneliti dengan saksama wajah pemuda bersayap itu. "Karena kau bukan satu-satunya, kalau begitu ...," mata mereka bertaut, "Kematian, siapa namamu?" Devdas agak sungkan memperkenalkan dirinya. "Namaku Devdas."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD