YOU STOLE MY FIRST KISS

1633 Words
    Di bawah rintik-rintik air hujan, Hillary menggandeng tangan kakaknya berjalan melewati pekarangan rumah Evan menuju mobil mereka di parkir. Harry masih tampak terpukul dengan kejadian yang baru saja dialamninya. Gadis yang selama ini bersamanya ternyata tidak lebih dari seorang jalang yang hanya menginginkan uangnya. Pantas saja selama ini tagihan kartu kredit Harry selalu bertambah semenjak tiga kartu kreditnya dibawa wanita jalang itu. Betapa bodohnya ia tidak menyadari hal kecil itu. Dan betapa bodohnya ia menganggap wanita itu terlalu sempurna. Wanita jalang. "Kita harus bersyukur karena Tuhan menunjukkan siapa dia yang sebenarnya padamu." Hillary mencoba menenangkan kakaknya. "Ya." Harry enggan membahas apa saja yang menyangkut mantan kekasihnya itu. Ia ingin segera pulang dan melupakan kejadian malam ini. Harry juga berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak lagi berbuat bodoh seperti sekarang. Mungkin bagi Harry kisah cintanya sudah selesai. Namun Hillary justru berpikir sebaliknya. Ia ingin sekali melihat Jullio. Bagaimana pun juga, Jullio yang merencanakan ini semua. Entah apa alasannya. Hillary mencari cara agar ia bisa kembali ke ruang pesta dansa itu dan berharap bertemu Jullio di sana. "Kak, sepertinya aku meninggalkan ponselku di." Ujar Hillary saat sang kakak membuka pintu mobil untuknya. Kening Harry mengkerut. "Oh, ya?" "Aku buru-buru tadi, sampai-sampai aku tidak sadar ponselku tertinggal." "Aku akan mengantarmu," "Tidak," tolak Hillary cepat. "Tidak perlu. Aku bisa ke sana sendiri. Lagipula, aku tidak mau nantinya kau bertemu dengan dia." Kata-kata yang meluncur dari bibir Hillary terlalu cepat untuk diterima manusia normal seperti Harry. Pria itu curiga dengan adiknya, tapi untuk saat ini, sepertinya alasan Hillary cukup masuk akal. Setelah kakaknya masuk ke mobil mereka, Hillary bergegas menuju ruangan di mana ia tadi bertemu dengan Jullio. Hillary berdiri di ambang pintu, menoleh ke sana kemari untuk mencari keberadaan Jullio. Setelah beberapa saat dan Jullio tidak juga kembali, Hillary memutar tubuhnya, berniat kembali ke mobil. "Mencariku, Nona Manis" Hillary tersentak ketika mendengar suara Jullio. Ia berbalik spontan kemudian mendorong Jullio hingga terjatuh. "b******k! Kau mau membuatku jantungan?" Jullio merengut, ia bangkit untuk menatap Hillary. "Kenapa kau begitu kejam padaku?" "Jangan gila! Kau yang memulainya. Aku hampir mati jika karenamu." "Baguslah." Hillary melolot. "Kau mau aku mati?" "Kau sendiri yang memintanya!" "Tidak. Aku tidak berkata demikian." "You did!" Hillary mengepalkan kedua tangannya. Ia ingin sekali meninju wajah menyebalkan Jullio kemudian melemparkannya ke kandang beruang. Tidak ada beruang di sini. "Kau mencariku, bukam?' ujar Jullio ketika Hillary tidak lagi membantahnya. "Jangan marah-marah. Aku tidak mau kau menua lebih dulu setelah kita menikah nanti." Kali ini Hillary tidak bisa menahan emosinya lagi. Ia maju satu langkah dan malayangkan tinjunya untuk Jullio. Hillary tidak tahan dengan kelakuan Jullio yang sangat menyebalkan. Dia ingin melenyapkan pria itu dengan cara apa pun. Sebelum Hillary berhasil meninju atau mendorongnya lagi, Jullio mengangkat tubuh Hillary dan menaruhnya di pundaknya seperti karung beras. Hillary berontak. Jullio tidak peduli, ia ingin memberi gadis nakal itu pelajaran yang setimpal atas perbuatannya. "b******k! Lepaskan aku, bodoh!" "Kau terlalu sering mengumpat padaku." "Kau pantas mendapatkannya." "b******n kau! Bodoh! t***l!" "Kau membuatku bodoh!" sahut Jullio masih terus berjalan dengan membawa Jullio di pundaknya. Ia berjalan semakin cepat agar tidak ada yang curiga dengan mereka. untung saja, penerangan di rumah itu cukup minim. Dan suara musik yang keras sedikit meredam teriakan Hillary. Jullio menurunkan Hillary di sebuah sudut ruangan yang dangat jauh dari pusat pesta dansa berlangsung. Napasnya terengah, bergitu juga dengan Hillary. Hillary lelah meronta dan berteriak. "Apa kau gila?" protes Hillary lagi. "Katakan saja apa kau mencariku atau tidak." "Untuk apa aku mencari pria b******k sepertimu? Aku yakin kau masih menikmati wanita itu diranjangm-.." Jullio mengunci bibir Hillary dengan bibirnya. Ia tidak tahan dengan hinaan demi hinaan yang selama ini Hillary tunjukkan padanya. Jullio bisa merasakan tubuh Hillary menegang. Hillary tidak memberi respon seperti yang ia inginkan. Sebaliknya, Hillary hanya diam ketika Jullio melumat bibirnya. Tak tahan dengan respon Hillary, Jullio memaksa Hillary membalas ciumannya. Ia terus mendesak Hillary dengan merengsek masuk dengan lidahnya. Hillary membuka mulutnya. Hanya itu. Gadis itu masih kaku seperti sebelumnya. "s**t!" Jullio mengumpat. Jullio tidak ingin melepaskan bibir Hillary. Terlalu manis menurutnya. Tapi dia bukan tipe pria yang suka mendominasi wanita. Jullio lebih suka jika wanita yang bersamanya menikmati permainan mereka. bukan hanya dirinya. "Apa kau lakukan? Kenapa kau diam saja! Tidakkah kau-" "Kau mencuri ciuman pertamaku." Potong Hillary dengan napas memburu. Semua ini terlalu cepat baginya. Jullio menganga. Pertama? Berapa usia gadis ini sebenarnya? Jullio yakin gadis ini seusia Bianca. Tujuh belas tahu. Setelah menetralkan napasnya, Jullio menyelinapkan sejumput rambut Hillary di balik telinganya. Tatapannya melembut. Jullio melupakan kekesalannya pada Hillary. "Ikuti aku." Hillary berjuang keras menahan ledakan di dadanya. Sesaat setelah Jullio kembali menyatukan kembali bibir mereka, Hillary berusaha keras memahami bagaimana Jullio bermain lincah dengan bibirnya. Hillary spontan mengalungkan kedua tangannya di tengkuk Jullio. Tiba-tiba juga, lututnya menjadi lemas. Ya Tuhan Hillary, bagaimana bisa kau dengan mudahnya jatuh di tangan pria yang kau anggap b******k itu? Yang kau panggil b******n. Yang kau maki tiap kali kalian bertemu. Bagaimana bisa? Hillary mengabaikan protes yang keluar dari dirinya sendiri. Ia menikmati bibir lembut Jullio yang menyapu biibirnya dengan kehangatan yang sungguh sangat berbeda. Hillary sepenuhnya sadar bahwa ini adalah kesalahan. Namun di sisi lain, atau lebih tepatnya sisi jahat dirinya, Hillary menganggap ciuman pertamanya adalah kesalahan termanis yang pernah ia lakukan dan yang tak akan pernah ia lupakan. Kesalahannya bersama Jullio. ** "Jadi, apa kau mau menjelaskan apa yang terjadi denganmu dan kekasih kakakku?" tanya Hillary ketika ciuman mereka berakhir. "Berhubung kau sudah memberiku ciuman.." "Kau mencurinya dariku, bodoh! Bukan aku yang memberikannya dengan suka rela." Ketus Hillary. "Sekali lagi kau mengumpat, aku akan menciummu sampai kau kehabisan napas!" ancam Jullio. Lakukan saja, toh aku suka. Hillary buru-buru mengenyahkan pikiran jahat itu. Tidak. Dia hanya tidak mau mengakui bahwa memng bibir Jullio terasa sangat memabukkan. "Baik, baik, maaf. Jadi apa sekarang kau mau menjelaskannya padaku?" ucap Hillary demi menutupi kenakalannya sendiri. "Bukankah sudah kubilang padamu, aku akan membuktikan siapa wanita jalang itu. Aku mengenalnya cukup lama..." "Dan tidur dengannya juga..." potong Hillary cepat. "Tidak, tidak. Kau salah paham. Sudahlah, percuma menjelaskan padamu. Kau selalu menganggap aku ini buruk dan kotor." Setitik penyesalan muncul di relung hati terdalam Hillary. Sejahat itukah dirinya selama ini? Apa kata-kata serta hinaannya pada Jullio terlalu kasar? "Lanjutkan," pinta Hillary. "Aku hanya tidak mau melihat kakakmu disakiti. Aku melakukannya demi membuktikan padamu kalau aku memang serius denganmu." "Maaf. Tapi kau tahu aku..." "Ya, aku tahu. Sekarang sebaiknya kau pulang. Kakakmu pasti khawatir dan mungkin mencarimu." Untuk pertama kalinya, Jullio mengabaikan dan mengusir Hillary. Sejak bertemu di club malam sialan itu, Jullio selalu dan selalu mengejar kemana pun Hillary pergi. Entah apa yang membuat Jullio seolah berubah dalam waktu yang sangat singkat. Sikapnya itu membuat Hillary tidak nyaman. "Baiklah." Ucap Hillary mencoba mengenyahkan ketidaknyamanannya karena sikap Jullio. Ketika Hillary melangkah pergi dari sisinya, Jullio sedikit menyesal. Jullio menggamit tangan Hillary lagi kemudian memeluk gadis itu lama. Jullio tidak rela berpisah dengan Hillary. Tapi gadis itu punya kehidupan yang lebih baik. Yang sangat berbeda dengan kehidupan brutalnya. "Hati-hati." Tukas Jullio seraya melepaskan pelukannya. "Ya." Sahut Hillary cepat. Dalam perjalanan kembali ke mobilnya, Hillary terus menerus memikirkan Jullio. Ini kali pertama ia bisa mengenyahkan Angkasa dari benaknya. Hillary sedikit heran dengan dirinya sendiri. Ia tidak hentinya menyangkal perasaan bahagia ketika bersama Jullio meskipun sebenanrnya jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam Hillary mengakui Jullio membawa kebahagiaan tersendiri untuknya. Kebahagiaan yang tidak pernah Angkasa berikan padanya. Hillary mulai membandingkan mereka berdua. "Kenapa lama sekali?" gerutu Harry saat adiknya membuka pintu mobil. "Aku bertemu temanku." Dusta Hillary. "Ayo, sebaiknya kita pulang sekarang. Aku sudah sangat mengantuk." Segera setelah Hillary menutup pintu mobilnya, Harry menghidupkan mobil dan bergerak menjauh dari rumah Evan. Hillary meninggalkan separuh hatinya di rumah Evan. Entah hati itu untuk siapa. Hillary pun tak tahu. Untuk saat ini, dia hanya butuh ranjang empuknya serta guling yang bisa ia peluk sepanjang malam. Terlelap dalam mimpi indahnya hingga kenangan tentang Jullio lenyap begitu saja. Namun yang terjadi sungguh sangat berbeda. Sepanjang malam itu, Hillary sama sekali tidak bisa tidur. Bibir Jullio seolah masih menyatu dengan bibirnya. Perut Hillary bergejolak mengingat bagaimana manisnya sebuah ciuman pertama. Ciuman pertamanya yang sengaja dicuri oleh pria b******k bernama Jullio. Jullio menegak satu gelas lagi whisky yang disuguhkan oleh pemilik rumah yang tak lain adalah Evan. Pandangannya tertuju pada segerombolan anak muda yang tengah berdiri di lantai dansa. Mudah bagi Evan mengubah rumah pribadinya menjado seperti club malam. Evan punya banyak uang. Jadi, tidak heran ia bisa melakukan apa saja yang ia inginkan. "Di mana Bianca?" tanya Jullio pada Martin yang datang tiba-tiba. "Aku menyuruhnya tidur. Besok Bianca ada pemotretan jam sepuluh." "Setelah bercinta?" goda Jullio. "Kau tahu. Sudahlah, jangan ingatkan aku." "Aku tahu kau menyukainya." "Dan dia tidak. Dia menyukaimu." Ketus Martin tidak suka. "Lambat laun Bianca pasti sadar, dia tidak pernah benar-benar menyukaiku. Bianca lebih membutukan kau daripada aku." Martin mengaambil gelas kecil di atas meja lalu mengisinya dengan wine. Setelah menyesapnya, ia kembali berkata. "Kuharap kau benar. Aku tidak bisa membayangkan jauh dari Bianca. Dia... yah, kau tahu. Dia segalanya bagiku." Mendengar Martin mengungkapkan perasaannya yang sangat dalam itu, entah mengapa membuat Jullio iri. Jullio ingin seperti Martin, temannya itu bersedia melakukan apa saja demi gadis yang sangat ia cintai, Bianca. Meskipun semua orang tahu, Bianca tidak pernah menganggap Martin tidak lebih dari sekedar kacung. Namun Martin bahkan rela menyerahkan nyawanya demi kebahagiaan Bianca. Jullio menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Ia ingin sekali berjuang demi Hillary. Andai saja ia bisa. Andai saja Hillary bukan gadis baik-baik, Jullio pasti akan dengan mudah mendapatkan Hiaary. Dia tidak perlu merasa serendah ini. Andai saja ia bisa membeli harga diri Hillary dengan uang. Andai saja... Dengan kesadaran penuh, Jullio menghentian andai-andainya. Ia menginginkan Hillary, tidak peduli seberapa buruk dirinya dan seberapa baik Hillary. Jullio membutuhkan gadis itu untuk dirinya sendiri. Seperti ikan yang membutuhkan air untuk tetap hidup, begitulah kira-kira perasaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD