Malam Pertama Leia

1037 Words
                                                                                      ~ Dingin dan Sepi.                                       Adalah malam, yang tanpa belas kasihan datang dan menenggelamkan mentari ~ Kaleia Tjahyadi. Salah satu murid terbaik dari sekolah bonavid di Jakarta. Pernah menjuarai lomba cipta puisi tingkat provinsi. Sering tampil sebagai pemeran utama dalam drama sekolah. Seni lakon dan musik, adalah separuh jiwanya. Bugg !! Aryan menutup album bersampul perpaduan antara marun dan hitam, berisikan perjalanan hidup Leia yang diabadikan dalam potret yang rupawan, begitu gadis yang sedari tadi dia tunggu sekarang di pintu masuk. "Tidak sopan masuk ke kamar orang tanpa izin!" Sentak Leia. "Kamarmu adalah kamarku, Lei. Ini kamar kita." "Jangan bicara seolah ini pernikahan yang normal. Karena sedari awal, pernikahan ini telah cacat bahkan sebelum kamu menjabat tangan Papa aku!" Aryan bangkit dari kursi. Berjalan sambil memandangi wajah Leia yang entah kenapa terlihat jauh lebih cantik dari biasanya. Ada sesuatu dari dalam dirinya yang begitu menggebu, membuat jantungnya berdetak tak beraturan setiap kali menatap mata Leia. Bukan tak sadar tengah diperhatikan sedemikian rupa oleh lelaki di hadapan, hanya saja Leia berusaha untuk tetap tenang dan tidak terlihat gugup. Harga dirinya terlalu mahal untuk dikalahkan oleh supir. Meski di balik ketenangan yang ia perlihatkan, jantung Leia berdetak tak kalah kacaunya dari yang Aryan rasakan. "Lei, percaya padaku. Aku suamimu. Harusnya aku  jadi satu-satunya tempat buat kamu bersandar, Lei." Aryan menepuk-nepuk d**a. Kentara sekali kekecewaannya begitu besar terhadap Leia. "Hmm, .. Kamu pikir aku tahu apa yang kamu mau, Yan? Kamu mau hartaku, kan? Murahan sekali jebakanmu !! Menikahiku, lalu kamu mendapatkan semua kekayaanku," Leia berusaha mencari, mencari sesuatu. "Oo ... Jangan-jangan kamu yang menjadi dalang atas meninggalnya Papa! Ngaku!" "Astaghifirullah, Lei, Istigfar! Aku nggak mungkin bertindak senekad itu sama Bapak." Senyuman kecut terulas di wajah cantik Leia. "Bapak, bapak, ... Bapak apa, Yan! Kamu penghianatnya! Di rumah ini, cuma kamu orang asing yang  bebas keluar masuk sembarangan! Aku benci kamu, Yan! Benci!" Tangis Leia pecah. Mau sekuat apapun Leia berusaha tetap tegar, Leia tetaplah wanita yang rapuh dalam kesendiriannya. "Lei, tenang. Aku menunggumu di sini karena mau bicara baik sama kamu, Lei. Tahan emosimu." Melihat gelagat Aryan yang ingin menyentuhnya, Leia sigap menghindar. "Jangan dekat-dekat!" "Lei." Panggilan Aryan tidak ada artinya. Kebencian Leia terlalu besar. Teramat besar hingga tak ada satu katapun dari mulut Aryan yang dapat Leia percaya. Aryan kian menganga. Sehina itukah ia di mata Leia? Tangan lentik dengan cincin berbentuk hati yang melingkar di jari manisnya itu meraba raba mencari gagang pintu. Kewarasannya mengingatkan agar ia segera pergi menjauh dari Aryan sekarang juga. Sayangnya, sebaliknya Aryan lah yang lebih dulu menutup pintu, menarik kunci, dan membuangnya ke sembarang Arah. "Aryan!" Panik, Leia berteriak seraya memukul d**a pria di hadapannya. "Kenapa, Lei? Aku hanya pengen ngobrol sama kamu." Aryan melepaskan dua kancing teratas. Memakai kemeja semakin membuatnya gerah. "Apa para tamu sudah pulang semua? Ah, maaf aku masuk sebelum acara tahlilan, pak Tjandra berakhir. Kepalaku mendadak terasa berat." Seperti bukan pria yang Leia kenal, Aryan yang tengah berdiri di hadapannya kini sama sekali tak memiliki santun santun dalam berbicara. "Tidak perlu sok peduli dengan keluargaku! Muak liat kamu bersandiwara seperti ini, Yan! Kamu cuma supir di sini, jangan berharap lebih!" Napasnya menggebu. Hingga Leia rasa butuh ketenangan. Diraihnya segelas air putih di atas meja. Tak butuh waktu lama, cairan bening itu tandas tak bersisa. Tak menyadari ada campuran dalam gelas. Aryan tersenyum, menatapi gadisnya yang mulai terperangkap dalam jebakannya. Air putih itu sebenarnya opsi kedua. Terpaksa ia akan menggunakan jika Leia terus emosional dan melakukan pemberontakan. Tapi ternyata, mangsa sendiri yang menghampiri jeratan sang pemburu. "Kaleia, ternyata kamu nggak sepintar yang aku bayangin." "Apa maksud kamu!" Alarm tanda bahaya terus menggema dalam otak sederhana Leia, agar gadis itu lebih waspada terhadap pria yang kini ada di hadapannya. "Ayo mendekat, jangan jauh-jauh seolah kita ini musuh." Ayolah, pria itu sebenarnya tidak perlu banyak bicara. Tinggal menghitung waktu saja, maka Leia akan jatuh dalam dekapannya. Hanya saja, Aryan rasa akan lebih mengesankan jika ia sedikit berbasa basi sebelum tindakan gilanya terlaksana. Leia mendesah. Ada desiran aneh dalam dirinya. Bulir-bulir keringat mengalir di pelipis. Seluruh tubuh terasa panas. Ada bagian dalam dirinya yang mendamba belaian Arya. Entah sejak kapan, scraft bermotif bunga yang sedari tadi melekat di kepala Leia kini telah teronggok tak beraturan. Wajahnya sangat kacau dengan tatapan yang sulit diartikan. Tak tega dengan kondisi Leia yang semakin menggila, ditarik tangan kedua Leia dan dijatuhkan ke atas ranjang. Jangan lupa matikan lampu agar semua berjalan sempurna. Seperti yang dia bayangkan. Kegelisahan semakin melanda ketika Aryan justru mendiamkannya. "Ar-yan ... T-tolong." Entah siapa yang bisa menolongnya kini. Hati dan pikirannya saja berkhianat. "Iya, Lei. Sabar sebentar, yah." "Papa...." Suaranya parau. Gadis malang itu benar-benar tak berdaya. Dalam pencahayaan yang terbatas, kian rupawan saja paras Leia. Apalagi bibir merah itu yang terus bergerak, mengundang kumbang untuk segera menyecap manis madunya. Wajahnya begitu polos. Suci layaknya anak kecil yang butuh penjagaan. Penjagaan? Jarak yang tak lebih dari lima inci itu kini mengendur. Arya berpaling. Ada sisi lain dalam dirinya yang memberontak. Ini tidak benar! "Yan ..." Dalam kesekaratannya, Leia memeluk pinggang Aryan. Tak mengizinkan pria itu pergi begitu saja setelah apa yang dilakukannya. Kedua wajah itu kembali mendekat. "Tt-to-long aku, Yan." Semakin kencang, rangkulan Leia semakin mengerat. Tidak ada pergerakan setelah itu. Desau angin yang sedari tadi memainkan tirai pun, seakan tak berani mengusik eheningan yang terjadi. Dilihatnya kembali Mata Leia yang terpejam. Ada genang air mata di sana. Dan seakan air mata itu bagai embun pagi yang menetes tepat di puncak kepala, kejernihannya menghapus segala niat buruk yang semula bersemayam. Aryan mengambil jarak, berpindah dari posisi semula begitu kesadarnya berangsur kembali. Memori pagi tadi kembali terputar. Bagaimana Pak Tjandra mempercayainya menjaga sang putri semata wayang. Kepercayaan beliau terhadapnya begitu besar, hingga pada hembus napas terakhir, pak Tjandra memiih untuk menitipkan Leia padanya. Menjadi suami sah, sebagai penjaga. Menjaga, Bukan merusak impiannya. Menjaganya, bukan menghancurkan masa depannya.  Menjaga Leia, sebagai seorang istri. Bukan sebagai lacur pemuas napsu belaka. Kalimat itu terus terngiang membayang-bayang. Membuat kepala Aryan terasa mau pecah. Rasa sesal memenuhi d**a. Leia wanita yang berharga, ia berhak mendapat penghargaan yang tinggi. "Aargghh !!!" Frustasi, pria itu memutuskan pergi dari ruangan. Kemanapun, asal bukan di kamar itu bersama Leia. Dan akhirnya, ruangan sederhana di dekat taman, menjadi satu-satunya pilihan bagi Aryan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD