Part 2

2265 Words
07 : 15 WIB Suasana ibu kota Indonesia selalu seperti biasa dengan keramaiannya. Orang-orang melakukan berbagai macam aktivitas. Kota ini merupakan kota terpadat se-Indonesia, kota yang tidak pernah tidur. Saat berada di kota ini, kita seakan-akan lupa waktu, walaupun tengah larut malam orang-orang masih saja berkeliaran melakukan aktivitas mereka seakan tak kenal waktu untuk tidur. Saat berada di kota ini, ada satu masalah yang seakan selalu menguji kesabaran siapa saja. Kemacetannya, yang sangat terkenal bahkan sampai keluar negeri. Bahkan, untuk mencapai suatu tempat pun menjadi butuh waktu yang lama. Seperti yang tengah dialami oleh seorang pria yang sedari tadi terus mengeluarkan u*****n melihat kemacetan di depannya. Suara klakson yang saling bersahutan menambah keributan daerah itu. Rambu-rambu lalu lintas yang berada di persimpangan jalan itu sudah menunjukkan warna hijau yang menyala, menandakan bahwa para pengguna jalan sudah bisa kembali melanjutkan perjalanan. Namun, tidak dengan pria yang sedari tadi terus mengumpat dan orang-orang di depannya yang juga tengah membunyikan klakson berulang kali. Sesuatu telah terjadi di persimpangan jalan itu. Suara tangis dan jeritan wanita terdengar oleh pendengaran pria tersebut.. "Shiiit!" umpat pria itu sebelum keluar dari mobil mewahnya. Ia bertanya pada salah seorang pengguna jalan yang tidak jauh berdiri dari mobilnya. "Dek, di depan itu kenapa?" tanyanya saat sudah berdiri di dekat seorang anak muda. "Ada kecelakaan, Mas," jawab pemuda itu, yang dibalas dengan anggukan oleh pria itu lalu kembali berjalan memasuki mobilnya. Rencana ku hari gagal total, batinnya, kesal. Sekitar satu jam kemudian, pria itu akhirnya sampai di tujuan. Ia menghembuskan napas kasar sebelum melepas seatbelt dan keluar dari mobil. Saat memasuki gedung yang sudah dua tahun berada di bawah kekuasaan pria itu, para karyawan yang melintas di depannya menyapa pemimpin mereka itu dengan ramah. Terutama para kaum hawa yang rela pura-pura berjalan di hadapan pria itu hanya untuk memberi sapaan. Namun, tak satupun dari mereka yang mendapat balasan. Jangankan dapat balasan, dapat senyum sedikit saja tidak. Tentu saja, hal itu tidak membuat mereka berhenti untuk mencari perhatian atasan mereka tersebut. "Pagi, Sir Elgan," sapa wanita yang merupakan salah satu karyawan pria yang diketahui bernama Elgan. Wanita itu mengerucutkan bibirnya saat tidak mendapat respon dari atasannya tersebut. Elgan memasuki lift yang disediakan khusus untuknya dengan berwibawa. Rahang tegas dan matanya yang tajam membuat siapa saja yang menatap mata itu akan merasa terintimidasi. Siapa yang tidak kenal dengan pria itu? Tidak ada! Elgan Gaulia Lambert merupakan seorang CEO di perusahaan milik keluarganya yang ternama di Indonesia. Putra pertama dari keluarga kaya raya, yang bahkan kekayaan keluarganya tidak akan habis sampai jutuh keturunan. Elgan dikenal sebagai pria dingin dan kejam. Dia tidak akan sungkan untuk menghancurkan siapa saja yang berani melawannya. Musuhnya ada dimana saja dalam dunia bisnis. Begitu pula dengan fansnya yang bertebaran hingga keluar negeri. Entah sampai kapan ia akan terus menyandang predikat sebagai pria kejam yang dingin. Mungkin, dia butuh seseorang yang dapat menghancurkan sikapnya yang seperti itu. "Hai, Bro," sapa Niko yang merupakan sahabat sekaligus sekretaris pribadi Elgan. "Kau sudah sampai? Tumben sekali." Elgan mengabaikan sapaan Niko dan malah menanyakan sesuatu yang sudah tidak perlu lagi Datang lama salah, cepat salah, batin Niko. "Ya iya lah, kan aku sudah ada di sini, sepertinya kau makin tidak sehat. Kau kenapa? Masih galau?" Tidak ada seorangpun yang berani berkata sekasar itu bahkan sampai mengatai Elgan tidak sehat kecuali temannya itu, Niko. Elgan hanya diam tidak menggubris perkataan Niko dan berlalu dari hadapan sekretarisnya itu, lalu duduk di kursi kebesarannya dan mulai mengerjakan tugas yang sudah menumpuk. Terlalu banyak berkas yang harus diperiksa dan ditanda tangani. Baru saja lima belas menit ia berkutat dengan berkasnya. Suara deringan ponsel yang terletak di atas meja kerjanya berdering. "Halo, Ma." Suara Elgan melembut saat bicara dengan mamanya. "Iya, Ma, Elgan baru nyampai 15 menit yang lalu." Suara langkah kaki terdengar memasuki ruangan Elgan membuat pria itu mengalihkan pandangannya kepada asal suara itu. "Mama ada-ada saja, Elgan baru sampai, Ma. Sangat tidak mungkin jika Elgan pulang." Elgan menghembuskan nafas lelah meladeni tingkah mamanya. "Sudah ya, Ma, masalah itu kita bicarakan nanti malam saja." Setelah berujar demikian, Elgan langsung mematikan ponselnya mengabaikan celotehan mamanya di seberang sana. "Huh, tidak tahu waktu saja," gerutu Elgan. "Kau tidak boleh begitu. Mau jadi anak durhaka, hm?" Niko yang sedari tadi memperhatikan sahabatnya dari sofa empuk yang tengah didudukinya mengeluarkan suara. "Kau saja yang jadi anak durhaka. Siapa yang tidak kesal, aku baru saja sampai beberapa menit yang lalu, tapi Mama sudah menyuruhku untuk pulang," papar Elgan, sedikit kesal. "Memangnya ada apa?" tanya Niko, penasaran dan Elgan hanya mengedikan bahunya acuh. "Kenapa?" Elgan sinis, sembari menatap Niko dengan tajam. "Memberimu tugas baru, kau hanya perlu menandatanganinya," jawab Niko, sambil menunjuk lembaran dokumen penting yang sudah ia letakkan di atas meja Elgan. "Oh ya, apa nanti malam kau mau menemani ku ?" tanya Niko, namun matanya menatap layar tab di tangannya. "Kemana?" tanya Elgan, balik. "Temani aku menghadiri acara ulangtahun temanku," kata Niko. "Kapan?" "Nanti malam," beritahu Niko, sambil menatap Elgan. "Oh." " Oh?" Niko menaikkan sebelah alisnya bingung, tanggapan Elgan begitu sulit ia mengerti. "Kau mau tidak? Ku pastikan kau tidak akan kecewa karena di sana kita akan bertemu banyak wanita sexy. Mungkin saja, kita bisa dapat satu untuk dibawa pulang." Niko tersenyum jahil menyindir Elgan yang langsung memutar matanya jengah. "Kau pikir bungkusan nasi yang bisa dibawa pulang, " balas Elgan, sarkas. "Aku belum tahu, lihat nanti malam saja." Final Elgan. Setelah itu, ia kembali melanjutkan tugasnya yang tadi sempat tertunda. Sedangkan Niko yang merasa kehadirannya diabaikan bergegas keluar dari ruangan itu setelah sebelumnya membalas keputusan Elgan dengan ber-oh ria. Tepat pukul 17: 00 WIB, Elgan keluar dari ruangannya dan menghampiri Niko yang sedang berkutat dengan komputer di depannya. "Belum pulang? Aku duluan." Suara Elgan yang tiba-tiba terdengar membuat Niko sedikit tersentak kaget. "Huh, mengagetkan saja. Ya sudah sana pulang, tapi nanti malam jadikan?" "Yoi, jemput ya," balas Elgan yang sudah mengerti maksud dari pertanyaan temannya itu. Niko mengacungkan kedua jempolnya sambil menampakkan deretan gigi putihnya menyetujui perkataan Elgan. Melangkahkan kakinya menuju basement, yang Elgan mulai mengendarai mobilnya dan membelah jalanan kota yang ramai. Beberapa menit kemudian, ia sudah sampai di pelataran mansion keluarganya yang asri dan indah. "Assalamu'alaikum," salam Elgan saat memasuki pintu utama mansion. "Wa'alaikumsalam." Suara mama Elgan, Lira, terdengar dari dalam mansion. Lira menyambut Elgan dengan senyum manisnya. Putra kesayangannya yang baru pulang itu terlihat sangat kusut. Dengan kancing baju paling atas yang sudah terbuka, dasi sudah longgar dan lengan bajunya yang sudah ditarik hingga sebatas siku. Namun, hal itu tidak mengurangi ketampanan Elgan sedikitpun. Lira menyerahkan segelas teh hangat. "Kamu minum dulu," suruhnya. "Sudah berapa kali Mama bilang, kamu tidak perlu bekerja sekeras ini. Atur waktumu dengan baik, jangan gila-gilaan dengan kerjaan seperti ini," ujar Lira, mulai menasihati putra semata wayangnya itu. "Jangan jadikan pekerjaan sebagai pelampiasan amarahmu," sambungnya, lembut namun tegas. Elgan meneguk teh yang dibuatkan mamanya dengan santai. Perkataan Lira membuat Elgan tak dapat berkata-kata. Lira sudah berulang kali menasihati Elgan agar dapat mengatur waktunya. Sudah satu tahun belakangan ini Elgan selalu mengabiskan waktunya di kantor hingga larut malam, seakan tak kenal waktu untuk istirahat. Hal itu membuat Lira sebagai seorang ibu khawatir terhadap anaknya. "Mama, mau bicara apa? Kenapa tadi pagi sampai meminta Elgan pulang?" Elgan mengalihkan topik. Ia sengaja melakukan itu karena tidak ingin membahas hal itu lagi. "Elgan, kamu sudah pulang, Nak?" Suara papa Elgan, Bima, terdengar d ruangan keluarga itu. Lira yang hendak menjawab pertanyaan putranya kembali mengatupkan mulut, lalu menatap suaminya itu. "Sudah, Pa," jawab Elgan, singkat. Bima menghampiri Elgan dan Lira, lalu duduk di samping istrinya itu. Sofa yang mereka duduki hanya terpisahkan oleh meja kaca yang di atasnya terdapat pas bunga. "Pa, mungkin sudah saatnya kita memberitahu Elgan." Lira menatap suaminya, yang dibalas Bima dengan anggukan. "Maksud Mama?" tanya Elgan, penasaran. "Mama akan menikahkan kamu dengan gadis pilihan Mama." Lira menatap putranya serius. "Menikah? Dengan gadis pilihan mama? Tidak, Ma. Elgan tidak bisa," tolak Elgan, to the point. Lira menatap suaminya, meminta pertolongan. Seakan mengerti maksud istrinya itu, Bima langsung mengambil alih pembicaraan dan menatap putranya dengan tegas dan serius. "Harus Elgan, kami tidak bertanya kamu setuju atau tidak. Mama dan Papa sudah membuat keputusan yang tepat untuk hidupmu. Gadis yang akan kami nikahkan denganmu akan dapat membuatmu sadar betapa berharganya waktu, bahkan satu detik sekalipun. Kami tidak mau lagi melihat kehidupanmu yang berantakan seperti ini," papar Bima, menatap putranya serius. "Maksudnya apa sih, Pa? Elgan tidak bisa menerima pernikahan ini begitu saja." Elgan menatap kedua orang tuanya bergantian. "Kamu akan bahagia dengan gadis pilihan Mama, sebenarnya rencana ini sudah lama kami rencanaka. Sangat lama, bahkan sebelum kamu ada di dunia ini. Wanita yang akan dijodohkan denganmu adalah anak dari sahabat kami saat kuliah. Mama harap kamu siap dengan semua ini. Besok kita pergi ke rumah sahabat Mama itu untuk mengenalkan kamu dengan anaknya," tegas Lira, tak terbantah. Elgan bungkam seribu bahasa. Jika mamanya sudah seserius ini, maka apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada, selain menuruti perkataan mamanya itu. Keterdiaman Elgan membuat Lira dan Bima merasa kalau pria itu menyetujui rencana mereka. Keduanya lantas tersenyum simpul melihat Elgan yang bungkam tak melawan. "Ma, Pa, nanti malam Elgan akan bersama Niko ke acara ulang tahun temannya." Elgan mengalihkan pembicaraan. Sungguh, keputusan kedua orangtuanya membuat pikirannya buntu. Bagaimana bisa ia menikah, sementara dirinya masih menunggu kehadiran seseorang. "Ya sudah, tapi pulangnya jangan sampai larut malam." Tepukan Bima di pundak Elgan menyadarkan kembali kasadarannya yang sempat terenggut beberapa detik lalu. "Baik, Pa." Elgan lantas bangkit dan pergi meninggalkan kedua orang tuanya yang sedang bercengkrama. "Siapa gadis itu?" tanyanya, sambil membuka pintu kamar. Aroma maskulin langsung tercium saat Elgan memasuki kamar tersebut. Paduan warna coklat dan putih dapat menyatakan kalau pemilik kamar itu seorang pria. Kamar itu terlihat rapi untuk ukuran pria. Elgan lalu mengambil gitar yang terletak di sudut kamar dan membawanya ke balkon. Suara petikan gitar terdengar indah mengiringi lagu yang sedang dinyanyikannya. Bermain gitar dan bernyanyi selalu ia lakukan jika sedang banyak pikiran yang membuatnya penat. Elgan sudah menyanyikan sekitar tiga lagu dan itu sudah cukup mengurangi rasa penat di kepalanya. Setidaknya, ia tidak akan gila setelah mendengar keputusan kedua orangtuanya. Malam harinya, Elgan dan Niko pergi menuju ke tempat di mana birthday party diadakan. Saat diperjalanan, Elgan lebih banyak melamun. Pikirannya berkecamuk memikirkan segala hal yang terjadi di hidupnya secara tiba-tiba. Mungkin benar kata Niko saat menjemputnya tadi. Party ini mungkin akan bisa menghilangkan rasa penat yang mereka rasakan. Kerjaan yang menumpuk seakan tak ada hentinya membuat dua orang sejoli itu tidak dapat refreshing untuk menjernihkan pikiran mereka di akhir pekan. Jika kebanyakan pria akan menghabiskan waktu pekan mereka dengan refreshing bersama keluarga atau kekasih, hal itu berbeda dengan dua orang bersahabat itu. Mereka akan lebih memilih nge-gym ataupun menghabiskan waktu di rumah. Sesampainya di lokasi party, mereka sudah melihat banyak mobil yang terparkir di basement hotel. Party ini diadakan di salah satu hotel bintang lima di Jakarta. Elgan dan Niko berjalan beriringan menuju keramaian party. Beberapa orang terkagum-kagum melihat mereka. Suara bisikan pujian terdengar oleh dua orang sejoli itu. Niko tersenyum manis membalas senyuman orang yang melemparkan senyuman kepadanya. Sedangkan Elgan, ia hanya santai menampakkan wajah datar dan berwibawa. Tiba dikeramaian party, Niko mencari pemilik party yang hendak ia kenalkan dengan Elgan. Party ini terletak di dekat kolam renang belakang hotel. Tepian kolam sudah dihias sedemikian rupa. Berbagai macam warna balon tergantung dan tergeletak di atas lantai. Cahaya lilin-lilin yang menyala menambah kesan tersendiri di party ini. "Nadin?" Panggil Niko,l saat melihat si pemilik party. "Hai, Niko," sapa Nadin, tersenyum ramah. "Selamat ulang tahun. Ini kado untukmu." Niko menyerahkan kado yang sudah ia siapkan sejak kemarin. Sementara Elgan memperhatikan kedua orang itu tanpa niat menimpali. "Kamu cantik sekali malam ini." Nadin tersipu mendengar pujian Niko. Penampilan gadis itu memang sangat cantik. Nadin bagaikan bidadari dari kayangan. Gaun berwarna peach yang menjuntai hingga ke lantai melekat indah di tubuh rampingnya. "Eh'em." King berdehem kuat, sengaja menarik perhatian Niko agar tidak mengabaikannya. Niko berbalik, menatap Elgan dengan senyum manis miliknya. "Oh ya Nad, kenalkan, ini temanku," ujarnya, memperkenalkan Elgan yang begitu dingin. Nadin lantas mengulurkan tangannya kepada Elgan, hendak berkenalan dengan teman Niko tersebut. "Nadin," serunya. "Elgan," balas pria itu datar, seraya menyambut tangan Nadin yang hangat. "Nadin, temanmu yang kemarin itu di mana? Apa dia di sini?" tanya Niko sembari memperhatikan sekelilingnya setelah melihat kedua orang itu melepaskan tangan mereka. "Kenapa? Kau ingin bertemu dengannya?" Nadin tersenyum mengejek melihat Niko yang tersipu malu. "Kau ini bisa saja." Pria itu terkekeh pelan. Ayolah, Niko sama sekali tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya jika berhubungan dengan gadis cantik. "Dia di sana. Ayo, sekalian kenalkan temanmu dengannya," ajak Nadin, lalu berjalan sambil mengangkat sedikit gaun indahnya. Elgan dan Niko mengikuti langkah gadis itu yang berjalan menuju sebuah kursi yang berada tidak jauh dari kolam. "Cia, aku membawa teman baru untukmu," tukas Nadin kepada temannya yang sedang asik memainkan ponsel. Sang empu yang merasa namanya disebut lantas mendongak, lalu berdiri saat menatap Nadin yang menghampirinya. Gadis itu mengalihkan pandangannya menatap Niko dan seorang pria yang tidak ia kenal, lalu tersenyum simpul membalas senyuman manis Niko. Malam ini, Cia menghadiri party sahabatnya. Ia mengenakan dress selutut berwarna putih gold. Cia terlihat sangat cantik dengan rambut hitam panjangnya diikat rendah yang sengaja diikalkan di bagian bawah. Kecantikan Cia membuat Elgan yang sedari tadi cuek mengalihkan tatapannya. "Hai, Cia," sapa Niko, ramah. "Hai, Niko." Mereka kemudian berjabatan tangan. "Kenalkan, ini temenku." Setelah melepaskan tautan tangan mereka, Niko sedikit menarik lengan Elgan yang berdiri dua langkah di belakangnya agar sedikit maju dan berdiri di hadapan Cia. "Kenalan dong," bisik Nadin, di telinga Cia, yang dibalas gadis itu dengan senyum simpul lalu mengulurkan tangannya. "Cia," serunya. "Elgan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD