SOSOK-SOSOK MISTERIUS

1062 Words
Malam terasa lebih dingin dan mencekam. Satu survivor telah kembali kepada Sang Pemilik Ruh. Di luar kabin, empat orang duduk mengelilingi perapian. Jarot, Kiki, Rusdi dan Endi. Malam ini mereka yang berjaga. Temaram api unggun membiaskan wajah mereka yang semakin kuyu. “Kondisi ini makin tak jelas. Malam ini Bu Anna meninggal. Entah siapa selanjutnya. Sampai kapan kita akan bertahan. Sementara tim penolong yang kita harapkan belum juga muncul.” ucap Jarot memecah keheningan. Semua menatap kuyu ke arahnya. “Aku yakin—pilot sudah mengirim sinyal. ATC pasti telah menginformasikannya ke Tim SAR.” Endi mencoba meyakinkan yang lain. Ia takut orang-orang makin kehilangan harapan mendengar kata-kata Jarot. “Jangan sok yakin. Itu cuma perkiraan Romo. Kalau tak sempat bagaimana? Kalau pun iya—pihak mana yang menerima? Menurutku, saat ini Tim SAR masih sibuk mereka-reka dan meraba. Kasus yang jelas aja lambat ditangani. Apa lagi kita, yang tak jelas ada di mana?!” potong Jarot. Semua bungkam. Pendapat Jarot memang masuk akal. “Apa yang menyebabkan mereka lamban? Kan ada PuskoSAR yang siap diterjunkan. Apa karena kurang peralatan, dana atau apa?” tanya Kiki dengan dahi berkerut. “Meski terbatas mereka punya alat, juga kendaraan. Dana yang dianggarkan juga ada. Keterlambatan itu memang sudah membudaya. Itu masalahnya!” tukas Rusdi. Jarot mengangguk. “Betul. Belum lagi birokrasinya!” tambah Jarot. “Apa lagi peralatannya milik negara, akan semakin pelik!” celetuk Rusdi. Suasana semakin panas. “Birokrasi yang gimana, Bang?” tanya Kiki. “Banyak! Birokrasi perijinan ini dan itu. Pembentukan tim, pengeluaran alat dan pencairan dana. Semua harus melewati pintu birokrasi. Makin ribet, kalau si pemegang wewenang tak berada di tempat. Belum lagi kalau menyangkut dana operasional. Dana yang turun tak akan sesuai dengan nominal di surat. Dipotong dengan alasan tak jelas,” terang Jarot panjang lebar. “Abang banyak tahu, pernah bergabung, ya?” tanya Kiki penasaran. “Tidak. Adik sepupuku dulu anggota PuskoSAR. Katanya, tim lapangan itu ujung tombak, tapi malah sering terlantar. Akhirnya ia keluar. Sekarang ia bergabung dengan NGO asing.” jelas Jarot. “Semua urusan ada birokrasinya. Karena adanya sistem dan aturan. Yang jadi pertanyaan, bisa dibikin lebih efisien atau tidak. Biar urusannya cepat. Sebab makin panjang jalur birokrasi makin memperlambat sistem itu sendiri. Makin besar pula resiko korupsinya,” sela Endi sambil memasukkan kayu kering ke dalam perapian. “Harusnya bisa! Birokrasi itu dibuat agar bisa teratur secara sistematis. Biar jelas dan lancar. Bukannya makin ribet dan lama!” tegas Rusdi berapi-api. Kata-kata mereka memang beralasan. Karena cara penanggulangan bencana atau musibah di negeri ini relatif lambat. Tak hanya alat, tapi adanya birokrasi berbelit. Harusnya lebih fleksibel. Apa lagi kalau menyangkut jiwa manusia. Hal paling nyata adalah ketika sudah berada di lapangan. Mobilitas personil, pembentukan posko, pengumpulan dan pendistribusian logistik, merupakan proses yang tidak sebentar. Belum lagi kendala cuaca dan medan berat yang harus dihadapi. Intinya dengan birokrasi lancar saja, tetap akan banyak kendala. Apa lagi jika proses birokrasi dibikin berbelit. Semakin banyak waktu yang terbuang. Sementara para korban memiliki waktu dan stamina yang terbatas. “Untung masyarakat masih punya empati. Mahasiswa, tentara dan polisi, juga sering terlibat. Kalau tidak, PuskoSAR makin mandul!” tambah Endi. “Betul. Mungkin ini salah satu penyebab PuskoSAR jadi mandul. Terkesan menitipkan tanggung jawab. Padahal sejatinya merekalah yang memimpin, merespon, menanggapi, serta mengurusi bencana atau musibah. Karena mereka itu badan resmi. Sengaja dibentuk, dibina dan didanai. Mereka di beri peralatan, honor dan dana operasional. Sepatutnya mereka di garis depan. Jadi tim pertama yang tiba di lokasi musibah. Jadi ujung tombak pencarian dan penyelamatan. Bukannya mapala, organisasi masyarakat, tentara, polisi atau personil lainnya!” tegas Jarot panjang lebar. “Begitulah negeri ini. Kerumitan birokrasi. Kepincangan sistem, kemandulan hukum, dan korupsi berjamaah. Menyebakan banyak kasus yang tak kunjung usai. Sudah menjadi rahasia umum. Seakan dibiarkan dan dimaklumi. Ditangani secara basa-basi. Hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Hukum berlaku bagi para jelata, tapi tidak bagi orang-orang berpangkat!” ungkap Endi dengan suara perlahan. Semua terdiam sambil memandangi curai api perapian. Hening. Hanya terdengar gemeretak kayu yang terbakar di kubangan api unggun. Selagi mereka asyik mengobrol di perapian, tampak sosok mengendap-endap di keremangan kabin. Melangkah berjingkat dan hati-hati. Melewati tubuh-tubuh yang bergeletakan terlelap. Sosok itu tampak sibuk mencari-cari sesuatu. Tak lama ia membungkuk. Mengambil sesuatu dan menjulurkannya ke retakan kabin tengah. Dari celah itu muncul sepasang tangan yang menyambutnya. Ternyata ia tak sendirian! Ada sosok lain yang menunggu di luar. Kedua sosok itu mengulangi aktivitasnya beberapa kali. Dengan hati-hati dan senyap. Tiba-tiba terdengar suara orang batuk. Mendadak kedua sosok itu diam mematung. Sambil mengamati orang yang terbatuk. Sosok yang berada di luar menatap rekannya dengan tegang. Sosok itu mengangkat tangan, lalu mengembangkan telapaknya. Tak lama ia menyilangkan jari telunjuk ke bibirnya. Menyuruh rekannya diam, jangan bergerak, atau menimbulkan suara. Sosok di kabin mengangguk perlahan. Orang yang tergolek lemah itu menggerakkan kepala. Matanya terbuka dan melihat ada bayangan berdiri di dekatnya. Pandangan mata mereka bertemu. Sosok itu terkesiap. Seketika ia ditanya orang yang baru terjaga itu. “Ss—siapa?” tanyanya lirih. “Sssstt!” Sosok itu menyilangkan jari ke bibirnya. Perlahan mendekat. “Ada apft!—” Kalimat orang yang tergolek itu tak tuntas. Karena sosok yang dipergokinya itu membekap mulutnya. Meski lemah orang itu berusaha berontak. Sosok misterius itu tampak panik. Tergesa tangan kirinya menutup hidung dan mulut, tangan kanannya mencekik leher, lalu lutut kanannya menekan perut orang yang tergolek lemah. Orang malang itu hanya mampu menggelepar lemah. Suaranya tak lebih lenguh kesakitan yang tertahan. Tak akan mampu mengusik yang lain. Karena suara seperti itu sudah sering terdengar dari dalam kabin. Tak berapa lama tubuh malang itu terkulai. Diam tak bergerak. Suasana kembali sunyi. Perlahan sosok misterius melepaskan cengkeraman. Menoleh ke celah dinding. Tampak rekannya sedang memandangnya dengan mata melotot. Terlihat cemas dan panik. Atau malah menyesalkan aksi nekat rekannya tadi. Ia mengangkat dan mengayun-ayunkan tangan. Memberi tanda agar mereka bergegas berlalu dari kabin. Mereka melanjutkan aksi itu dengan terburu-buru. Tak lama, sosok itu kembali mengendap-endap ke luar kabin. Memutari badan pesawat. Sengaja menghindari orang-orang yang berjaga di api unggun. Kedua sosok itu bertemu. Sejenak terdengar bisik-bisik perdebatan. Tapi tak lama segera membenahi benda-benda yang mereka ambil dari dalam kabin. Lalu berjalan menjauhi badan pesawat. Keduanya melangkah ke kegelapan malam. Menuju arah selatan. Sesekali sayup-sayup masih terdengar perdebatan di antara mereka. Sementara orang-orang yang berjaga, masih sibuk mengobrol dan berdebat. Tak menyadari adanya aktivitas pencurian dan penjarahan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD